SEJARAH PARTAI PARTAI ISLAM DI INDONESIA

2 Mei 2009

SEJARAH PARTAI PARTAI ISLAM
DI INDONESIA
Mhd. Saleh Umarella
Pendahuluan
Membincangkan tentang Islam di Indonesia tidak akan habis dengan tulisan beberapa halaman saja. Islam di Indonesia memang sangat komplek. Hal ini karena umat Islam di negeri ini adalah umat yang mayoritas, sehingga tidak mungkin tidak melibatkan umat Islam dalam setiap hal dan peristiwa yang terjadi di negeri ini. Tak terkecuali dalam hal-hal yang terkait dengan permasalahan politik, atau hubungan antara umat Islam dengan negara.
Sejak lama para pemimpin Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar umatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Sesudah lama terkunkung oleh kebijaksanaan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memang memberi peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun sampai lebih dari lima puluh tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, citra tentang kemisknan dan keterbelakangan itu masih juga belum terhapus. Sebagian besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal: pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materil kurang menguntungkan, skor kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial ekonomi yang juga rendah.
Sejak awal, para pemimpin dan aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu. memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya memperoleh kekuasaan. Sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tindakan dan pikiran orang lain dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik, kekuasaan sangat penting. Apa pun tujuan ahir yang hendak diperjuangkan, setiap aktivis harus mencapai tujuan antara, memperoleh kemampuan mempengaruhi orang dan proses kebijakan. Dengan kata lain, harus memperoleh kekuasaan. Tujuan akhir seperti mengurangi kemiskinan rakyat pasti memerlukan kemampuan mempengaruhi proses kebijakan publik.
Sejarah Partai-partai Islam
a. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia berhadapan bukan saja dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang Cina. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam, SI tahun 1912) mulanya diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya ke segenap penjuru tanah air pada waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan penduduk dari bawah sampai atas, lebih karena didorong oleh perasaan seagama.
Akan tetapi dalam lapangan politik, kalangan Islam tidak berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam ke dalam dua kelompok, tradisionalis dan modernis mulai berkembang pada masa ini. Dan dalam bidang politik kalangan tradisionalis belum menjadi penting sehingga kalangan pembaharulah yang lebih banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu, perbedaan dalam politik di zaman Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis sendiri dengan kalangan tradisionalis, melainkan antara kalangan modernis sendiri. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama.
Dalam bidang sosial, partai-partai Islam dapat bekerja sama sesamanya dan dengan organisasi sosial Islam dalam fedrasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1935, tetapi dalam bidang politik, masing-masing kelihatan bergerak sendiri-sendiri. Ketika Gabungan Politik Indonesia (Gapi) didirikan pada tahun 1939, PSII (partai Syarekat Islam Indonesia) hanya bersedia masuk di dalamnya setelah mendapat jaminan bahwa kelompok Salim (Anggota yang sudah dipecat) tidak akan diajak. Sedangkan Komite Kebenaran dari Kartosuwirya berada di luar Gapi dan MIAI.
Pada masa pendudukan Jepang, MIAI kembali didirikan di Jakarta tanggal 5 September 1942, federasi ini kemudian diubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi) pada akhir tahun 1943. namun baik MIAI maupun Masjumi pada zaman jepang ini tidak meliputi organisasi-organisasi di Luar Jawa karena pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu. Anggota anggota MIAI di Jawa pun terbatas pada organisasi-organisasi Islam yang diakui.
Satu perkembangan menarik pada masa ini adalah peluang yang diberikan Jepang terhadap ulama untuk berkiprah dalam bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi agama yang berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama mulai tertarik untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat negatifnya adalah berkurangnya jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada usaha menjaga keperluan rohani umat karena pindah ke kota-kota.
b. Kelahiran Partai Politik Islam
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada sejak zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut organisasi-organisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu tepat, sebab kala itu negara Indonesia belum merdeka.
Sesaat setelah kemerdekaan, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan partai. Meskipun pada awalnya, kalangan Islam menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah persatuan rakyat lahir batin seteguh-teguhnya, dan pendirian partai-partai dapat memecah belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat menerima alasan pemerintah bahwa dengan berdirinya partai-partai maka berbagai aliran dalam masyarakat mendapat penyaluran dan dapat dipinpin ke jalan yang teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik.
1. Masjumi
Atas dasar itu, diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7 – 8 November 1945 yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan untuk mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia, Masjumi, yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya, hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Muhammadiyah termasuk pembaru (modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya bersifat tradisional dalam sosal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam soal-soal dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun 1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatu an Umat Islam Indonesia.
Organisasi-organisasi Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan kembali. Di Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah dan al-Ittihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara Yogyakarta dan Sumatera Utara secara politis pulih.
Keanggotaan dalam Masjumi ada dua macam: perorangan dan organisasi. Anggota perorangan minimun berumur 18 tahun atau sudah kawin; ia tidak dibenarkan merangkap keanggotaan partai lain, dan mereka mempunyai hak suara, sedangkan anggota organisasi (disebut anggota istimewa) mempunyai hak untuk memberikan nasehat atau saran. Suatu organisasi dapat menjadi anggota Masjumi jika disetujui oleh lebih dari separuh anggota istimewa yang sudah ada.
Betapapun inginnya orang bergabung, tetapi akhirnya semua anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan partai. Ini terjadi pada puncak perpecahan antara Soekarno dan Masjumi. Sekurang-kurangnya pada saat ketidak percayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya ketidak percayaan Masjumi atas Soekarno, meningkat. Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi Partai Komunis Indonesia.
Pimpinan partai, setelah bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa, melepaskan ikatan antara anggota istrimewa dan Masjumi (8 September 1959). Kebijaksanaan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasibersangkutan sekiranya Masjumi sendiri mendapat hambatan dalam geraknya. Memang, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa bubar oleh perintah Soekarno.
2. Perti.
Partai Politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirika di suatu Pesantren di Candung, dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng pertahanan golongan tradisionalis terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran dan gerakan modern.
Pada masa pendudukan Jepang, Perti banyak terlibat dalam bidang pendidikan dan sosial. Pada tahun 1944, Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam di seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Sehubungan dengan pengumuman pemerintah agar rakyat mendirikan partai politik, pimpinan Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka suatu partai politik tersendiri. Keputusan ini diamil pada tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22 – 24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan sendiri adalah : pertama, kelihatannya mereka tidak cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk menjadi partai politik) dan kemudian dengan Masjumi (sebagai transformasi dari MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para pemimpin Perti cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan ini menurut mereka lebih pula mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi partai daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.
Dalam perkembangannya, Perti memperlihatkan kegigihan dalam hubungan dengan mazhab Syafii. Anggaran Dasar Partai tahun 1953 menekankan kelanjutan hidup partai. Partai “tidak boleh dibubarkan”; partai “harus hidup dari abad ke abad sebagai Benteng pertahanan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bermazhab Syafii”.
3. Partai Syarikat Islam Indonesia.
Partai Syarikat Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia, karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat Islam (SI, 1912). Tetapi sebab langsung partai tersebut didirikan kembali padahal sebelumnya telah ada kebiulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagai satu-satunya partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin membentuk kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi ditolak oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin; mereka bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.
Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak mempunyai perikatan dengan Masjumi. PSII masuk kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara yang sedang menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga partai merasa perlu menanggulanginya. Suatu konperensi mewajibkan pimpinan partai menghubungi Masjumi guna mencari penyelesaian dalam kelangsungan hidup bernegara, persatuan Islam dan umumnya orang Indonesia. Tetapi sampai Masjumi dibubarkan pada tahun 1960 hubungan seperti itu tidak pernah dilakukan.
4. Nahdatul Ulama
Organisasi ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air, serta uaha mempertahankan ajaran tradisional dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul Aziz ibn Saud.
Perhatian NU dalam bidang politik terlihat kentara pada masa revolusi. Organisasi ini mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kekurangserasiannya dalam Masjumi. Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU, Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan sebagai badan legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja. Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil pedoman agama.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU (tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak disetujui oleh pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan partai politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada kongresnya di Palembang akhir April 1952.
Pada Pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai Nasional Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%). Partai-partai Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara.
Dekrit presiden 5 Juli 1959 menandai berakhirnya era demokrasi parlementer dan dimulainya suatu tatanan politik yang disebut era Demokrasi terpimpin. Dekrit ini pada gilirannyamemberikan peluang terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soekarno.
Menyikapi sistem demokrasi terpimpin ini, kekuatan politik Islam terpilah ke dalam dua kelompok; kelompok pertama, Masjumi, menilai bahwa sistem demokrasi terpimpin otoriter, sitem demikian merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, NU, PSII dan Perti yang tergabung dalam Liga Muslimin menilai dukungan terhadap sistem ini sebagai sikap yang realistik dan pragmatik.
Pada periode antara tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang sengit dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih agresif dalam mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.
c. Masa Orde Baru.
Pada periode awal pemerintahan orde Baru, kekuatan partai Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969 partai-partai Islam mensponsori program-program “hari peringatan Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan Masyumi), yang kedudukannya sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional dan midernis yang sebelumnya mengalami keretakan.
Namun, keinginan para pemimpin partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai mengambang setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai usaha dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi partai Islam. Namun mereka mulai merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Keadaan itu tentu saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan aktifis politik Islam, karena berbagai tekanan dan larangan itu justru berasal dari pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah mereka bantu dalam masa penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan kenyataan yang mereka hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi kekuatan politik Islam dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.
Sebagai bagian dari desain restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu meneruskan pengendalian partai politik melalui penyederhanaan jumlah partai politik yang ada. Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok sritual-material; kedua, kelompok material spritual; dan ketiga adalah kelompok karya.
Setelah sempat mendapat ganjalan karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk dalam kelompok sprituil, akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua koalisi di DPR. Pertama, kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik, dan kedua, kelompok sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Setelah melalui serangkaian perundingan dan musyawarah, pada tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta berhasil disepakati pendirian partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam “konfederasi” partai-partai Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi maksimal dari unsur-unsur yang berfusi yang ditandai dengan upaya pengalokasian kekuasaan partai berdasarkan perolehan suara pada pemilu 1971.
Pada awal dekade 1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama kalinya mengemukakan gagasannya untuk menerappkan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.
Muncul reaksi yang beragam dari berbagai kalangan umat Islam atas rencana tersebut. PB HMI pada awalnya melakukan penolakan, namun akhirnya akhirnya melunak setelah KAHMI yang kontrol oleh Nurkholis Majid dkk mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan dengan masyarakat dan pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU Parpol dan Ormas disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa “Pancasila bukan Agama dan Agama tidak diPancasilakan”. Sementara reaksi penolakan muncul dari pemimpin-peminpin masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Tragedi Tanjung Priok yang hingga kini belum dapat diselesaikan secara penuh merupakan ekses dari penolakan ini.
Di tengah meluasnya keragua-raguan dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan dengan menerima azas tunggalpaling dahulu. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan ini. Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah merembet ke tubuh NU hingga masing-masing faksi yang bertikai saling memperebutkan dukungan pemerintah. Kedua, munculnya tantangan yang luas di masyarakat terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan kelompok mana yang lebih dulu menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti merupakan kesempatan gerakan “pemikiran baru” di NU untuk memperoleh kepercayaan kembali negara terhadap NU.
Akhirnya, munas NU di Situbondo berhasil mengambil keputusan strategis menyangkut kembalinya NU sebagai organisasi sosial secara penuh yang berarti melepaskan dirinya secara organisatosri dengan PPP. Langkah ini kemudian dikenal sebagai kembali ke Khittah 1926. Dengan diterimanya Pancasila sebagai azas tunggal oleh partai-partai politik Islam, maka dapat dikatakan parta-partai Islam sudah tidak ada lagi sejak saat itu.
Penutup
Salah satu isu menarik dalam perkembangan Islam di Indonesia di masa modern adalah kembali berkiprahnya partai-partai politik Islam dalam pemilihan umum. Ada dua macam partai yang dapat disebut sebagai partai Islam, yaitu; pertama, partai yang berazaskan Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah (PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia, PPNUI), kedua, partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.
Fenomena munculnya kembali partai-partai politik Islam ini menarik sebab hampir selama masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi oleh pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan dan partai politik muslim.
Fenomena munculnya kembali partai-partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi justru menjadi pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam dua kali pemilihan umum terakhir, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu menjadi milik partai-partai Islam, pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh partai-partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah partai-partai ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di negeri ini, ataukah partai-partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di kancah perpolitikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Andree Fielard, Islam et Armee Dans L Indonesie Contemporaine de La Tradition, diterjemahkan oleh Aminuddin dengan judul Nu-Vis a Vis Negara, Yogayakarta : LKiS, 1999
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafiri Pers, 1987.
Ira M. Lopudus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Mohtar Masoed, dalam Aminuddin, Kekuatan islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah RuntuhnyaRezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Sahar L. Hassan, Kuat Sukardiono, Dadi M. H. Basri, Memilih Partai Islam, Visi, Misi, dan persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998


PENANTIAN MASYARAKAT AMBON TERHADAP KEHADIRAN PERBANKAN SYARI’AH

2 Mei 2009

PENANTIAN MASYARAKAT AMBON TERHADAP
KEHADIRAN PERBANKAN SYARI’AH
Aisa Manilet
Pendahuluan
Keberadaan sistem perbankan syari’ah di Indonesia yang beroperasi berdasarkan syari’at Islam, merupakan konsep yang relatif masih baru. Upaya para ulama maupun cendekiawan muslim untuk mendirikan bank berprinsip Mudharabah di Indonesia menjadi semakin meningkat, pada saat pemerintah mengeluarkan kebijakan liberalisasi perbankan Oktober 1988.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai hasil Revisi atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1997, maka aturan-aturan perbankan berdasarkan syari’ah telah mendapat legitimasi yuridis secara tegas, bahkan memiliki kemungkinan-kemungkinan untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini menunjukkan bukti nyata kesungguhan pemerintah dalam upaya memberdayakan sistem perbankan berprinsip syari’ah, tetapi belum ada upaya secara intensif dari pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk mensosialisasikan manfaat bank ini serta menjadikannya sebagai satu upaya alternatif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi yang sangat memprihatinkan saat ini. Begitu pula masyarakat secara umum belum menyadari akan pentingnya bank yang berprinsip Mudharabah.
Meskipun demikian, hingga kini di Pulau Ambon yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah dan memiliki tingkat perputaran ekonomi dan perdagangan cukup cepat dan maju yang dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah pedagang di kota ini. Di antara mereka ada pedagang-pedagang kaki lima atau asongan begitu cepat berubah, dalam waktu singkat usaha mereka meningkat menjadi besar dan dapat meraih keuntungan tinggi. Di lain pihak para pedagang kelas menengah dan besar, juga semakin mapan dalam usaha mereka, Kelompok ini semakin mempertegas eksistensinya dan bertambah besar usahanya serta dapat menggeser posisi para pedagang yang sebelum kerusuhan dikuasai oleh non pribumi. Bahkan permintaan stok sembako dan bahan pangan sangat tinggi di daerah ini.
Hal ini tentu saja merupakan lahan yang subur dan peluang usaha bagi pemilik-pemilik modal untuk berusaha di kota Ambon, terutama perbankan. Jika pada masa kerusuhan yang lalu banyak perbankan yang melarikan modalnya ke luar kota Ambon dan hanya menyisakan bank-bank pemerintah saja yang beroperasi, maka saat ini perbankan tersebut telah melirik dan menata kembali usahanya di kota ini, terutama perbankan konvensional. Lalu bagaimana dengan perbankan Syariah. Mungkinkah bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil menurut ajaran Islam ini hadir di Maluku, khususnya di kota Ambon? Bagaimana persepsi masyarakat Muslim kota ini terhadap Sistem Perbankan Syari’ah ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu dilakukan penelitian lapangan. Tulisan ini berusaha mendeskripsikan hasil penelitian penulis tentang persepsi Masyarakat Muslim terhadap pendirian Bank Syariah di kota Ambon, dengan tujuan Untuk Mengetahui pandangan atau alasan-alasan masyarakat serta mengetahui berapa banyak masyarakat yang menganggap sistem perbankan syari’ah itu positif yakni sebagai lembaga pemberdayaan ekonomi umat di Kota Ambon, maupun anggapan yang negatif terhadap lembaga ini
Semoga penelitian dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah setempat dan tokoh masyarakat untuk mendirikan bank dengan prinsip syari’ah sebagai lembaga pemberdayaan ekonomi umat dalam mengatasi dampak krisis ekonomi bagi seluruh masyarakat, khususnya para pengusaha dan kaum lemah di Kota Ambon.
Sistem Perbankan Syari’ah
Bank syariah, yakni lembaga keuangan yang usahanya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut Syahdaini, Bank Syari’ah adalah bank yang berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi, yaitu mengerahkan dana dari masyarakat, dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan, fungsi Bank Syari’ah seperti ini layaknya juga yang dilakukan oleh bank konvensional, tetapi terdapat perbedaan prinsipil, bahwa bank syari’ah dalam melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest free), tetapi berdasarkan prinsip syari’ah, yakni pembagian keuntungan/mudharabah (profit loss sharing principle atau PLS principle).
Adapun jasa-jasa pembagian yang diberikan oleh bank syari’ah jauh lebih beragam, dibandingkan dengan jasa-jasa pembiayaan yang diberikan oleh bank konvensional. Jasa pembiayaan yang diberikan oleh lembaga pembiayaan (multi finance company), seperti leasing, lire purchase. Dengan demikian bank syari’ah bukan saja dapat memberikan jasa-jasa seperti bank konvensional, tetapi dapat juga memberikan jasa-jasa yang tidak dapat diberikan oleh bank konvensional, karena jasa-jasa tersebut biasanya diberikan oleh suatu lembaga non bank.
Berdirinya sistem perbankan Syari’ah di Indonesia, selain didasarkan pada ketentuan syaria’at Islam yakni Al-Qur’an dan Hadist, juga pada perundang-undangan Nasional, seperti misalnya :
a. Policy pemerintah di bidang ekonomi khususnya perbankan sangat mendukung bagi beroperasinya bank tanpa bunga di Indonesia. Kebijaksanaan ini misalnya deregulasi perbankan pada 1 Juli 1983 yang membebaskan bank-bank untuk menetapkan sendiri tingkat bunganya bahkan sampai tingkat 0%. Fakto 27 Oktober 1988 juga telah membuka peluang bagi berdirinya bank-bank swasta baru.
b. Penjelasan lisan pemerintah pada rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI tanggal 5 Juli 1990, yang berisi tentang penegasan bahwa tidak ada halangan untuk mengoperasikan bank-bank yang sesuai dengan prinsip syari’ah, sepanjang operasionalisasinya dapat memenuhi kriteria kesehatan bank di Indonesia.
c. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12 yang memberi peluang beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil keuntungan. Peluang ini ditindaklanjuti dengan keluarnya PP No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah).
Selain itu dasar pendirian Bank Syariah juga memperhatikan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sebagai berikut :
a. mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam sebagian besar masih meragukan hukumnya bunga pada bank-bank konvensional, sehingga berakibat pada sikap mereka untuk memanfaatkan jasa-jasa perbankan yang ada secara tidak maksimal.
b. Praktek perbankan yang menerapkan bunga, akan menimbulkan laju inflasi yang semakin tinggi, karena ada kecenderungan dari bank-bank untuk memberikan kredit secara berlebih-lebihan. Penyebabnya adalah cara penciptaan uang baru tersebut dalam suatu sistem berdasarkan bunga tergantung pada operasi-operasi peminjaman bank-bank komersial.
c. Karena sistem perbankan yang ada sekarang memiliki kecenderungan terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan kelompok elit, para bankir dan pemilik modal. Distribusi kekayaan yang tidak seimbang ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial, yang pada akhirnya dikhwatirkan akan mengakibatkan kerawanan benturan-benturan, bahkan konflik-konflik sosial yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
d. Bank-bank konvensional yang telah beroperasi di Indonesia saat ini, dirasakan kurang berperan secara optimal di dalam membantu memerangi kemiskinan dan pemerataan pendapatan, karena operasi bank dengan perangkat bunganya kurang memberi peluang kepada orang-orang miskin untuk mengembangkan usahanya lebih produktif. Selain itu pranata pembayaran bunga akan semakin memberatkan nasabah khususnya yang berekonomi lemah dan memberi peluang menaglirnya arus sumber pendapatan dari debitur yang pada umumnya miskin ke kreditur yang pada umumnya lebih mampu secara ekonomi daripada debitur.
Sistem perbankan syari’ah Indonesia dalam menjalankan usahanya mempunyai lima konsep dasar operasional yang terdiri dari :
1. Sistem simpanan murni (al-Wadiah), yaitu fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam kepada pihak yang berkelebihan dana untuk menyimpan dananya di bank, dengan tujuan keamanan dan pemindahbukuan serta bukan untuk tujuan investasi.
2. Sistem bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), yaitu suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana, yang terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana.
3. Sistem jual beli dan marjin keuntungan (Mudharabah dan al-Ba’in Bithaman Afil), yaitu sistem yang menetapkan sistem jual beli, dimana pihak bank akan membeli terlebih dahulu barang yang akan dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank dalam melakukan pembelian-pembelian barang atas nama bank. Kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah, dengan harga beli ditambah keuntungan (margin/mark up).
4. Sistem sewa (al-Ijarah/al-Ta’jiri), dibagi dalam dua jenis yaitu :
a. al-Ijarah, yakni perjanjian sewa yang memberi kesempatan kepada penyewa, untuk memanfaatkan barang yang disewa, dengan imbalan uang sewa yang telah disepakati. Setelah masa sewa berakhir, barang-barang dikembalikan kepada pemilik.
b. al-Ta’jiri, sama dengan al-Ijarah, namun setelah masa sewa berakhir, pemilik barang menjual barang yang disewa kepada penyewa dengan harga yang disepakati.
5. Sistem fee (jasa), yaitu sistem kegiatan yang meliputi seluruh layanan non pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk jasa ini antara lain,, bank garansi, kliring, inkaso, jasa transfer dan lain-lain.
Adapun kegiatan operasional perbankan syariah meliputi dua hal, yaitu penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat. Bentuk penghimpunan dana meliputi :
1. Giro Wadi’ah, yaitu simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya, dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan chek.
2. Tabungan Mudharabah, yaitu dana yang disimpan nasabah di kelola bank, untuk memperoleh keuntungan.
3. Deposito Investasi Mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, menurut perjanjian penyimpanan bank dengan sistem bagi hasil.
4. Tabungan Haji Mudharabah, yaitu simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan haji. Simpanan ini menerapkan imbalan dengan bagi hasil al-Mudharabah.
5. Tabungan Qurban, yaitu simpanan pihak ketiga yang dikumpulkan untuk ibadah qurban dengan penarikan yang dilakukan pada saat nasabah akan melaksanakan qurban. Imbalannya dengan sistem bagi hasil.
Sedangkan bentuk kegiatan operasional di bidang penyaluran dana kepada masyarakat meliputi :
1. Pembiayaan ¬al-Mudharabah, yaitu suatu perjanjian pembiayaan antara bank dengan nasabah, bank menyediakan 100% pembiayaan bagi usaha kegiatan tertentu dari nasabah. Sedangkan nasabah mengelola usaha tersebut tanpa campur tangan bank.
2. Pembiayaan Musyarakah, suatu perjanjian dimana bank menyediakan sebagian dari pembiayaan bagi usaha atau kegiatan tertentu, sebagian yang lain disediakan oleh mitra usaha.
3. Pembiayaan al-Murabakah, suatu perjanjian, dimana bank membiayai pembelian barang yang diperlukan naabah dengan sistem pembiayaan ditangguhkan.
4. Pembiayaan al-Ba’iu Bithaman Ajil, suatu perjanjian dimana bank mempunyai pembelian suatu barang dengan sistem pembayaran angsuran atau cicilan.
5. Pembiayaan ¬al-Qardhul Hasan, suatu perjanjian antara bank sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai penerima pinjam, baik berupa uang maupun barang tanpa persyaratan adanya tambahan atau biaya apapun.
6. Pembiayaan al-Ijarah dan al-Ba’iu al-Ta’jiri, pembagian sewa menyewa yang biasanya digunakan dalam usaha leasing baik secara murni (oprating lease) maupun secara sewa beli (finance lease).
Dalam pendirian sistem perbankan syari’ah, selain harus memiliki dasar yuridis, juga harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
1. Dasar hukum, UU No. 10 Tahun 1999 dan SK DIR BI No. 32/34/KEP/ DIR tetang Bank umum berdasarkan prinsip-prinsip syaria;at tanggal 12 Mei 1999.
2. Bentuk hukum, sebagaimana yang tertera pada pasal 2 SK DIR BI No. 32/34/1999.
3. Izin pendirian, pemberian izin pendirian adalah wewenang Direksi Bank Indonesia yang telah ditentukan pada pasal 3 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 dan sesuai ketentuan pasal 11 ayat (1) dari SK Direktur Bank Indonesia, Bank Umum Syari’ah yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan usaha selambat-lambatnya 60 hari, terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan.
4. Pendiri, menurut pasal 3 ayat (2) SK DIR No. 32/34/1999, yang dapat mendirikan Bank Umum Syari’ah hanyalah :
a. WNI dan atau Badan Hukum Indonesia
b. WNI dan atau Badan Hukum Indonesia dengan WNA dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
5. Modal, besarnya modal Bank Umum Syari’ah sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000.000,- (Tiga trilyun rupiah), ditentukan dalam pasal 4 ayat (1) SK DIR BI No. 32/34/1999.
6. Pengurus
Pengurus pada struktur Bank Umum Syari’ah terdiri :
a. Struktur kepengurusan, sesuai pasal 19 SK DIR BI No. 32/34/1999, kepengurusan Bank Umum Syari’ah terdiri dari Komisaris dan Direksi, dan juga wajib memiliki Dewan Pengawas Syari’ah.
b. Jumlah anggota Dewan Komisaris, menurut pasal 23 ayat (1), juga anggota Dewan Komisaris harus sekurang-kurangnya dua orang.
c. Jumlah anggota Direksi, menurut pasal 24 ayat (1) anggota Direksi Bank Umum Syari’ah sekurang-kurangnya harus berjumlah tiga orang.
d. Syarat-syarat menjadi anggota pengurus, sesuai pasal 21 ayat (1) dan (2), bahwa yang menjadi anggota Dewan Komisaris dan Direksi Bank Umum Syari’ah wajib memiliki persyaratan sebagaimana dalam kedua pasal tersebut.
e. Larangan memiliki hubungan kekeluargaan, tertera pada pasal 23 ayat (4) dan pasal 25 ayat (1).
f. Larangan memiliki saham perusahaan, sebagaimana ditentukan dalam SK DIR BI No. 32/34/1999, yang telah ditentukan oleh pasal 25 ayat (3).
g. Pembatasan perangkapan jabatan, sesuai SK DIR BI No. 32/34/1999, yang membatasi perangkapan jabatan oleh anggota Dewan Komisaris, sesuai pasal 23 ayat (3).
h. Persetujuan BI, dapat dilihat pada pasal 26 ayat (1).
i. Dewan Pengurus Syari’ah (DPS), menurut pasal 19 ayat (3), persyaratan bagi anggota DPS diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syari’ah Nasional.
j. Warga Negara Asing sebagai pengurus, dalam pasal 22 ayat (1) menentukan bagi Bank Umum Syari’ah yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat menempatkan WNA sebagai anggota Dewan Komisaris dan Direksi.
7. Kegiatan usaha, tertera dalam pasal 28 dan 29 SK DIR BI No. 32/34/1999 dan DIR BI No. 32/34/1999.
8. Fatwa dan persetujuan Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Dalam aktifitas usaha harus mengacu pada pasal 28 dan 29 SK DIR BI No. 32/34/1999, Bank Umum Syari’ah melakukan kegiatan dengan memperhatikan fatwa Dewan Syari’ah Nasional.
9. Larangan melakukan kegiatan bank konvensional, telah ditegaskan dalam pasal 32 ayat (1) SK DIR RI No. 32/34/1999, ketentuan ini merupakan penegasan dari ketentuan UU No. 10 tahun 1998.
10. Kegiatan perbankan syari’ah oleh bank konvensional
Bank umum konvensional boleh melakukan kegiatan bank berdasarkan prinsip syari’ah, asalan kegiatan itu dilakukan melalui cabang khusus yang hanya melakukan kegiatan perbankan syari’ah saja. Dengan kata lain cabang khusus itu tidak boleh melakukan juga kegiatan perbankan konvensional.

Persepsi Masyarakat tentang sistem Perbankan Syariah
Sebelum kerusuhan bernuansa SARA melanda Kota Ambon, kota ini dikenal sebagai Ambon Manise. Selain karena kotanya memang indah dan bersih, juga karena kota ini aman dalam banyak hal. Aman dalam beraktifitas ekonomi, aman dalam beragama, dan sebagainya, meskipun kota ini dihuni oleh penduduk yang berbeda-beda baik dalam asal-usul suku, agama, ras dan perbedaan lainnya. Karena itu juga, Ambon pernah dijadikan sebagai kota percontohan toleransi umat beragama.
Pada tahun 2000 jumlah penduduk Kota Ambon sebanyak 209.303 orang. Menurut data dari Kanwil Departemen Agama Maluku, dari jumlah tersebut 33.35 % (82.348 orang) di antaranya adalah pemeluk agama Islam. Sedangkan lainnya, 50.35 % (112.881 orang) beragama Kristen Protestan, 8.49 % (13.588 orang) Katolik, 0.14 % (298 orang) beragama Hindu dan 0.08 % (198 orang) beragama Budha.
Kini, setelah Ambon berangsur-angsur mulai pulih, prosentase tersebut boleh jadi telah mengalami perubahan, terutama jumlah umat Islam, karena banyak orang-orang muslim yang di masa kerusuhan keluar dari Ambon, kini telah kembali lagi.
Adapun data Kanwil Perdagangan Propinsi Maluku tahun 2000 menunjukkan jumlah pedagang kecil sebanyak 8.974 orang, sedangkan pedagang besar 841 orang. Sedangkan jumlah pasar besar 2 buah yaitu pasar Mardika dan pasar Lama. Setelah terjadi kerusuhan banyak pasar alternatif yang tumbuh di berbagai lokasi baik di pemukiman Islam maupun Kristen + 15 buah, yang dinamakan dengan pasar kaget, pasar yang bisa mempertemukan dua komunitas (pasar berantai) satu buah.
Berikut disajikan hasil angket dan wawancara penulis terhadap 90 orang responden yang merupakan sampel dari 44.487 populasi penelitian yang beraal dari tiga desa di dua kecamatan di Kota Ambon. Penentuan besarnya sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik proportionate stratified proposive sampling, yaitu suatu tehnik yang digunakan berdasarkan jumlah sampel yang bila populasi berstrata dan dalam jumlah yang besar.
Oleh sebab itu sampel yang digunakan diambil dari tiga desa di dua kecamatan tersebut di atas karena ke tiga desa ini dianggap representatif dengan penelitian ini. Sebaran responden pada dua kecamatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.
Kategori 3 Desa yang Dijadikan Sebagai Sampel Penelitian

Desa Lk Pr Pengusaha Tetap Pekerjaan Tetap
atas Menengah bawah atas Menengah bawah
1 Bt. Merah 25 18 7 5 9 8 8 6
2 Silale 13 7 3 2 4 4 3 3
3 Waihaong 18 9 6 4 5 5 4 4
Jumlah 56 34 16 11 18 17 15 13
Total Jumlah 90 45 45
Sumber Data : Data Primer (Hasil Pengolahan Data)
Dari tabel di atas, selain tergambar tentang sebaran responden, juga dapat diketahui bahwa responten terbagi dalam dua kategori, yaitu kategori pengusaha sebesar 45 orang (50%) dan kategori berpenghasilan tetap sebanyak 45 orang (50%).
Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui instrumen angket, ketika responden ditanya tentang pengetahuan mereka terhadap sistem perbankan syari’ah, maka jawaban yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 90 responden 29 diantaranya atau 32,22 persen menyatakan mengetahui sistem perbankan syari’ah (BMT, BPR syari’ah dan Bank Muamalat) karena “sering mendengar” melalui media cetak/media massa (radio, televisi, koran dan lain-lain), 60 responden atau 66,67 persen menyatakan mengetahui sistem perbankan syari’ah karena “pernah mendengar”, sedangkan hanya 1 responden atau 1,11 persen yang menyatakan “tidak pernah mendengar” tentang sistem perbankan syari’ah.
Dengan melihat besar pencapaian persentase responden yang hanya “pernah mendengar” menunjukkan bahwa pengenalan responden terhadap bank syari’ah masih terbatas. Hal ini tampknya disebabkan oleh karena belum tersebarnya atau populernya sistem perbankan syari’ah itu sendiri di berbagai wilayah Indonesia utamanya seperti di kalangan masyarakat kota Ambon, sehingga perlu disosialisasikan manfaat, keunggulan-keunggulan dan pentingnya sistem perbankan syari’ah secara intensif, baik melalui media cetak dan lain sebagainya di berbagai kalangan masyarakat, khususnya di tengah para pelaku ekonomi secara kontinyu.
Salah seorang tokoh masyarakat sekaligus Ketua BIMM (Badan Immarat Muslim Maluku), yang diwawncarai pada tanggal 5 September 2002 mengatakan :
Kita seharusnya mulai menyadari untuk hidup dengan pola-pola hidup Islami, mulai dari masuk ke WC sampai dengan soal-soal yang besar seperti politik, keamanan, sosial bidang ekonomi, dan bidang perdagangan. Kita bersyukur sekali kalau seandainya ada yang mau mensponsori praktek dan berdirinya sistem perbankan syari’ah di kota Ambon. Sebab dengan begitu kita mulai mempraktekkan cara-cara ekonomi yang benar-benar Islami. Hanya saja kita perlu lebih memperkenalkan sistem perbankan syari’ah ini ditengah-tengah komunitas muslim dan masyarakat luas, sehingga mereka lebih memahami betul tentang pentingnya kehadiran sistem perbankan syari’ah tersebut sebagai penggerak ekonomi umat sebab masyarakat Ambon secara umum tidak tahu akan sistem perbankan syari’ah dan selama ini mereka hanya terbiasa dengan perbankan konvensional yang sudah jelas meminta bunga yang cukup tinggi dari pihak kreditur/peminjam dan hal ini sangat merugikan pihak perminjam dan hanya inipun dilarang oleh berbagai agama, utamanya Islam.
Kenyataan di atas didukung oleh hasil angket yang menunjukkan bahwa hanya 7 orang responden saja atau 7,78 persen dan 83 responden atau 92,22 persen lainnya tidak pernah menjadi nasabah bank syari’ah. Hal ini menunjukkan bahwa dari 90 responden ternyata sebagian besar belum memiliki pengalaman menjadi nasabah bank syari’ah.
Padahal minat mereka untuk menjadi nasabah bank syariah sebenarnya sangat besar. Terbukti dari hasil angket yang menunjukkan bahwa bahwa 33 responden atau 36,67 persen sangat bersedia menjadi nasabah bank syari’ah, 50 responden atau 55,55 persen menyatakan bersedia nasabah, 7 responden atau 7,78 persen menyatakan ragu-ragu menjadi nasabah bank syari’ah dan dari 90 responden tidak ada yang menyatakan tidak bersedia menjadi nasabah pada sistem perbankan syari’ah. Salah seorang pengusaha menengah di Kota Ambon yang diwawancarai tanggal 12 Setember 2002 mengatakan :
Kami bersedia menjadi nasabah bank syari’ah karena kami menyadari bahwa bank syari’ah tidak menerapkan bunga seperti bank-bank konvensional. Selain itu tidak ada unsur saling mengdhalimi antara bank dengn nasabahnya.
Salah seorang yang pernah menjadi nasabah bank syari’ah yang diwawancara tanggal 11 September 2002 mengatakan :
Seperti pengalaman yang pernah kami rasakan sewaktu menjadi nasabah bank syari’ah, kebetulan waktu itu kami memohon pinjaman, yakni untuk membeli motor ojek, dimana seluruh biaya pembelian ditanggung oleh pihak bank. Kemudian pembayaran kepada bank dilakukan secara angsuran selama waktu yang diperjanjikan tanpa membebani dengan yang namanya bunga sehingga dalam waktu singkat kami sudah dapat memiliki motor untuk kebutuhan kami sehari-hari dan ini benar-benar sangat membantu kami.
Kesediaan masyarakat untuk menjadi nasabah pada sistem perbankan syari’ah yang akan didirikan di Ambon, juga menunjukkan bahwa selain motivasi oleh kesadaran beragama, tetapi juga karena mereka ingin tahu dan mempraktekkan sistem perbankan syari’ah yang selama ini didengar lewat media dan sosialisasi dengan cara bagi hasil bersama.
Ketika responden ditanya tentang tanggapan mereka mengenai sistem mudharabah atau bagi hasil yang diterapkan oleh perbankan syariah, maka jawaban yang dipeoleh menunjukkan bahwa dari 90 responden, 39 responden atau 43,33 persen mengatakan sangat senang dengan prinsip bagi hasil bersama pada sistem perbankan syari’ah, 45 responden atau 50 persen menyatakan senang, 4 responden atau 4,44 persen menyatakan ragu-ragu, dan 2 responden atau 2,22 menyatakan tidak senang.
Prinsip bagi hasil bersama merupakan salah satu ciri sistem perbankan syari’ah yang sekaligus membedakan bank syari’ah dengan bank konvensional. Selain itu, bila bank konvensional sistem operasinya didasarkan kepada “bunga” dan orang yang menanamkan uangnya pada bank motivasinya antara lain untuk mendapatkan bunga, maka pada bank syari’ah nasabah yang menyimpan uangnya dengan tujuan mendapat keuntungan dengan jalan “bagi hasil”.
Dengan demikian, apakah dibutuhkan kehadiran bank yang beroperasi secara syar’i di kota Ambon? Dari hasil angket yang diberikan kepada responden menunjukkan bahwa dari 90 responden, 28 responden atau 31,11 persen memberi pernyataan sangat dibutuhkan, 58 responden atau 64,44 persen menyatakan dibutuhkan, 4 responden atau 4,44 persen menyatakan kurang dibutuhkan dan tidak ada responden memberi pernyataan tidak dibutuhkan.
Berdasarkan pengamatan penulis, banyaknya responden yang memilih kategori jawaban dibutuhkan kehadiran sistem perbankan syari’ah di Ambon karena didorong oleh suatu pengamatan bahwa kota Ambon cukup potensial untuk meningkatkan pendapatan usaha ekonomi masyarakat karena arus perputaran uang, distribusi barang dari luar Ambon dan daya beli konsumen cukup tinggi. Di samping itu para pedangang kecil dalam waktu relatif dapat berubah menjadi pedagang besar. Sehingga kondisi ini apabila dapat difasilitasi oleh sistem perbankan syari’ah, maka tentunya akan dapat meningkatkan usaha ekonomi lemah yang lebih banyak lagi untuk menjadi pedagang-pedagang besar yang sukses.
Penutup
Dari pemaparan hasil angket di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1. Pendirian sistem perbankan Syari’ah dirasa penting dan pantas bahkan wajar untuk wilayah kota Ambon, hal ini merupakan salah satu langkah maju bagi masyarakat yang harus disambut dengan baik oleh pihak pemerintah dan pihak perbankan Syari’ah maupun perbankan Muamalat untuk memfasilitasinya, sebab selama puluhan tahun masyarakat tenggelam dalam kancah sistem ekonomi sekuler (bank konvensional) yang semata-mata mementingkan keuntungan bunga, yang pada sisi lain merugikan masyarakat dan tidak diperbolehkan dalam Islam bahkan oleh berbagai agama.
2. Pendirian sistem perbankan Syari’ah merupakan suatu kebutuhan, karena potensi alam, perputaran ekonomi, maupun kondisi pasar di kota Ambon sangat baik dan memungkinkan bila sistem bagi hasil tersebut dipraktekkan di kota ini, karena akan memiliki prospek yang sangat cerah. Untuk itu diperlukan agar wadah formal seperti perbankan dengan cara bagi hasil didirikan di daerah ini.
3. Dengan tanggapan positif ini maka menunjukkan bahwa sistem perbankan Syari’ah ini sangat diharapkan kehadirannya di daerah yang potensial ini. Selain itu mereka merasa bahwa Islam adalah agama yang ajarannya universal dan lengkap yang mengatur hubungan dengan Allah dan sesama manusia untuk itu perlu disosialisasikan

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Muhammad.Islamic Banking Vol. 2, Asia, Facific Ekonomic Literature, 1998
Mansor, Mahsin H.J.S. Konsep Syari’ah dalam Bank Islam Jakarta: Risalah Masa, 1992
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam Cet. II; Yogyakarta: UII Press, 2000
al-Naisabury, Abu al-Husain Muslim Ibnu al-Hajjal al-Qusyairy. Shahih Muslim Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Prawiranegara, Syafruddin. Sistem Ekonomi Islam Jakarta: Publicita, t.th.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Libanon: Dar ar al-Fikr, 1981
Purwaadmadja, K. dan M. Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Jakarta: Risalah Masa, 1992
Soemitro, Warkum. Azas-azas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan TAKAFUL) di Indonesia Cet. II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Surat Keputusan Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah tanggal 12 Mei 1999.
Syahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indinesia Cet. I; Jakart: PT. Pustaka Utama Graffiti, 1999
Wawancara :
Aly Fauzy, Ketua BIMM (Badan Imarat Muslim maluku), “Wawancara” tanggal 5 September di Ambon
Hendra Anwar Suat, Nasabah Bank Syari’ah “Wawancara”, tanggal 11 September 2002 di Ambon
Olivia Ch. Latuconsina, Pengusaha Menengah, “Wawancara”, tanggal 12 September 2002 di Ambon
Therik, Y. Laporan Pendapatan dan Posisi Stok Semabako di Kotamadya Ambon, Kakanwil Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Maluku, Januari-April 2002


PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM (Suatu Kerangka Analisis Epistemologis)

2 Mei 2009

PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM
(Suatu Kerangka Analisis Epistemologis)
Abd. Khalik Latuconsina
Pendahuluan
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak seorang pun yang dapat hidup menyendiri. Karena pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dan bermasyarakat. Bahkan manusia disebut Zoon Politicon oleh Aristoteles. Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial yang selalu mengandalkan hubungan dengan sesamanya atau dengan lingkungan sekitarnya, maka perlu adanya hukum yang senantiasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupannya untuk mengatur dan memberi petunjuk bagaimana ia harus bertindak dan mengatur masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan dan memenuhi kebutuhannya. Dalam tatanan ini, hukum adalah tata tertib atau peraturan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang telah mendapat legitimasi dari parlemen tanpa memandang strata sosial, tanpa mengenal batas-batas agama, batas-batas lokal kecuali atas kehendak kelompok itu sendiri. Tidak ada perbedaan antara hukum sipil, hukum adat dan hukum Islam. Dalam sistem hukum Indonesia, ketiganya merupakan sumber pembentukan hukum, yang oengelompokanya dimulai semenjak kedatangan penjajah Belandah hingga saat ini.
Istilah Hukum Islam yang sumbernya dari norma agama sudah menjadi istilah yang populer di Indonesia. Nmun iamenampakkan diri sebagai suatu konsep yang baku di kalangan para ahli. Terkadang ia dikategorikan sama dengan ‘syari’at Islam”, tetapi tidak jarang dianggap sama dengan “fiqhi Islam’, bahkan “hukum pidana Islam”. Padahal di sisi lain hukum Islam terkadang pula dikategorikan sebagai displin ilmu.
Selain itu hukum Islam terkadang datang sebagai alat justifikasi terhadap persoalan-persoalan yang telah terjadi. Hukum Islam yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia tumbuh dan berkembang dengan segala pasang surutnya menghadapi berbagai tantangan eksternal dan internal dari pemeluknya untuk menempati posisi sebagai hukum nasional
Permasalahan yang muncul dari uraian ini bagaimana Bagaimana proses yang memungkinkan hukum Islam itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembinaan hukum nasional. Uraian ini dimaksudkan mengokohkan posisi hukum Islam dalam percaturan hukum sipil dan para penentangnya dalam memberi khazanah pemikiran terhadap pembagian hukum di Indonesia. Selain itu berupaya mengungkapkan kaitan antara hukum Islam sebagai sistem ilmu hukum dan hukum pada umumnya dengan pendekatan epistemologis.
Pengertian-pengertian
Sebelum megkaji topik ini lebih lanjut, ada baiknya kita bersepakat, apakah yang dimaksud dengan hukum Islam dalam tulisan ini. dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah satu dengan yang lain terdapat persamaan dan perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud adalah syari’at, fiqhi dan hukum Islam.
a. Syari’at
Islam terdiri dari dua aspek yaitu aqidah dan syari’at. Secara harfiah kata syari’at dalam bahasa Arab berarti jalan yang lurus. Menurut istilah, perkataan syari’at pada mulanya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fiqhi dan hukum, tetapi mencakup pula aqidah dan segala yang diperintahkan Allah. Pendeknya, syari’at mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi muslim. Dalam pada itu Abbas Husni Muhammad menegaskan bahwa syari’at adalah identik dengan kandungan al-Qur’an dan sunnah.
Dalam perkembangan selanjutnya pengertian syari’at dipersempit dan secara tegas dipisahkan antara aqidah dan syari’at. Misalnya pengertian yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut , syari’ah adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan bagi hambaNya untuk diikuti dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya dan dengan kehidupannya. Ini menunjukkan bahwa syari’at telah diberi arti sempit yang menyangkut hukum di luar aqidah. Dengan demikian istilah syari’at tidak lagi dipahami oleh kebanyakan orang dalam arti luas bahkan sudah menjadi istilah yang identik dengan fiqhi atau hukum Islam yang sifatnya berbeda dari aqidah Islam. Meskipun kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan.
b. Fiqhi
Fiqhi dari segi semantik berasal dari akar kata ف, ق dan ه (فقه) yang berarti paham atau pengetahuan tentang sesuatu. Sedangkan secara termilogi fiqhi menurut ulama fiqhi adalah mengetahui hukum-hukum syarah yang bersifat amaliyah yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci.
Dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa fiqhi itu bukanlah hukum syara’ itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syara’ atau dengan kata lain substansi fiqhi itu sendiri adalah ijtihad ulama, sehingga merupakan produk nalar atau pikiran.
Karena fiqhi merupakan hasil penalaran para mujtahid maka tidak diherankan jika dalam memahami suatu objek hukum, hasil pemahaman yang dihasilkan oleh seorang mujtahid berbeda atau bertentangan dengan pemahaman yang diperoleh mujtahid lainnya. Di sini terasa jelas perbedaan esensi fiqhi dengan syari’at. Syari’at dalam arti nash-nash yang mengandung hukum berasal dari Allah, sedangkan fiqhi sebagai upaya memahami hukum syari’at berasal dari mujtahid. Jika syari’at bersifat universial, maka fiqhi tidak mesti demikian, fiqhi harus sesuai keadaan tempat dan zaman.
c. Hukum Islam
Kata hukum Islam sebagai term yang populer di Indonesia tidak ditemukan dalam kepustakaan hukum dalam Islam, yang biasa digunakan adalah syari’at Islam, hukum syara’ dan fiqhi. Perkataan hukum dari segi bahasa dari akar kata ح, ك, م (حكم), yang berarti “mencegah” atau “menolak”, mencegah ketidakadilan, kezaliman dan penganiayaan disebut hukum. Sedangkan pengertian hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atau meniadakannya. Apabila kata hukum dihubungkan dengan kata Islam, maka hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia untuk mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Dalam pada itu, hukum Islam dimaksudkan di sini yaitu hukum perdata Islam tertentu yang menjadi hukum positif bagi umat Islam, yang sekaligus merupakan hukum terapan bagi pengadilan agama. Dengan demikian hukum Islam mencakup hukum syari’at dan juga hukum fiqhi, karena arti syari’at dan fiqhi terkandung didalamnya. M. Rasyidi tampaknya menamakan hukum Islam sebagai hukum yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah dan akal. Menurut Abdul Wahab Khallaf hukum adalah khitab syari’iy yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir).
Menurut LJ Van Apel Doorn adalah sangat sulit untuk mengadakan sesuai dengan kenyataan. Sehingga definisi yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda dari segi redaksi dan unsur-unsurnya. Sebagai pegangan bagi orang yang sementara belajar hukum, maka pengertian hukum itu adalah :
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan-tindakan yaitu dengan hukum tertentu.
Dari pengertian ini dapatlah disimpulkan bahwa hukum itu harus mempunyai unsur-unsur seperti berikut :
a. Peraturan tentang tingakh laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu dilakukan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan itu bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Adapun pengertian sistem ada dua macam. Menurut Shorde dan Voich yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, yaitu : Pertama, sistem sebagai jenis satuan yang mempunyai tatanan tertentu yang menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagai rencana atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.
Menurut Suroyo Wingnyodipuro sebagaimana ia mengutip pendapat dari Bellefroid bahwa sistem hukum adalah suatu rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya. Seluruh peraturan-peraturan hukum dalam suatu negara dapat dipandang sebagai suatu sistem hukum. Dengan demikian hukum perdata, pidana, hukum tatanegara dan sebagainya merupakan suatu sistem hukum sendiri-sendiri. Sedang menurut Satjipto Rahardjo sistem hukum meliputi unsur-unsur seperti struktur, kategori dan konsep. Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai. Ada dua sistem hukum yang dipakai yaitu “civil law system” yaitu sistem hukum Eropa dan “common law system” yaitu sistem hukum Inggris. Namun David dan Burly yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo juga mengakui adanya sistem hukum lain yaitu “sistem hukum sosialis” dan “sistem hukum Islam” yang didasarkan pada kitab suci al-Qur’an.
Analisis Epistemologis
Sebagai bagian dari sistem hukum maka ilmu hukum dibicarakan sebagai penjabaran, pemujian dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan penjabaran dan perkembangan itu berkaitan erat dengan dimensi-dimensi utama ilmu hukum yaitu dimensi epistemologi dan akisologinya.
Dalam topik ini lebih difokuskan pada analisis epistemologis, namun dalam setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri spesifik mengenal apa (ontologi) bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka ia harus dikaitkan dengan ontologi ilmu dan aksiologi ilmu.
Antara hukum Islam dan ilmu hukum memiliki orientasi dan objek kajian yang sama yaitu tentang tingkah laku manusia. Selain itu, hukum Islam mengatur hubungan sepihak dengan Tuhan dalam bentuk perintah dan larangan. Hukum Islam sebagai sistem hukum memiliki komponen-komponen sebagaimana komponen sistem hukum yang terdiri atas masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, pendidikan hukum, konsep hukum, pembentukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum, evaluasi hukum dan masyarakat hukum.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam memenuhi syarat untuk penerapan hukum Islam. Dari segi budaya hukum, masyarakat Indonesia telah memiliki hukum tertulis walaupun sifatnya masih terbatas, seperti berlakunya Undang-Undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, INPRES no. 1 tahun 19081 tentang Kompilasi Hukum Islam, PP no. 28 tahun 1977 tentang Wakaf Tanah Milik dan sebagainya.
Pada sisi filsafat hukumnya, hukum Islam adalah filsafat hukum yang bersifat subjektif dan berasal dan dianut oleh masyarakat Islam yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam konsep-konsep hukum Islam. Dari segi konsep, hukum Islam memilki sumber ajaran yaitu al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’ yang diformulasikan dalam bentuk fiqhi, fatwa ulama, keputusan pengadilan dan Undang-Undang. Dari segi pembentukan hukum, hukum Islam memilki tradisi-tardisi atau kebiasaan keagamaan yang telah mendarah daging dalam masyarakat yang dapat diterapkan oleh hakim dalam memutuskan perkara-perkara hukum sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Selain itu konsep-konsep hukum dapat terbentuk melalui badan legislatif sebagai terbentuknya Undang-Undang no. 7 Tahun 1989. Dalam bidang evaluasi hukum baik buruknya pelaksanaan hukum Islam tergantung dari kualitas hukum Islam. Perbedaan pendapat memang ada dalam masalah hukum, tetapi sebatas pada konsep. Sedangkan pada penerapannya melalui perundang-undangan telah nampak sejalan.
Pembentukan hukum Islam di Indonesia erat kaitannya dengan faktor historis yang diwariskan kerajaan Islam di nusantara sebelum datangnya VOC dengan munculnya dua teori perkembangan hukum Islam, yaitu penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif yakni hukum Islam al-Qur’an dan al-Sunnah. Penerimaan itu tertuang dalam Piagam Jakarta yang ditanda tangani tanggal 22 Juni 1945 yang berlangsung sampai tanggal 5 Juli 1959. Penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritif yakni sumber hukum yang telah dianut oleh semua imam mazhab. Hukum Islam menyatakan bahwa siapa pun yang telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslim dengan mengucapkan kalimat syahadat, ia terikat untuk patuh dan taat kepada hukum ajaran Islam. Penerimaan itu tertuang dalam dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi.
Dalam perkembangan selanjutnya, munculnya teori “receptio in complexu” oleh L.W.C. Van Der Berg yaitu orang-orang muslim Indonesia menerima syri’at secara keseluruhan. Teori ini mendapat tantangan dari C. Van Vollenhopen dan C. Snouck Hurgronye dengan teori “receptio” yaitu hukum Islam berlaku setelah diresepsi oleh hukum adat. Kemudian Hazairin menantangnya dengan teori “receptio exit”. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan teori ”receptio a contrario” yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya yang berarti hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama.
Dari segi psikologis bangsa Indonesia penganut agama Islam mayoritas sehingga aturan yang ditetapkan tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam. Dari segi yuridis hukum Islam di Indonesia sangat kuat dan legal kedudukannya, walaupun materi hukum Islam masih terbatas pada masalah al-Ahk±m al-Ahw±l al-Syakhsiyah. Pembatasan materi tersebut sangat terkait dengan faktor historis yang dimainkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut hingga sekarang yang tidak menghendaki diberlakukannya hukum Islam di Indonesia.
Lembaga-lembaga Islam yang diatur secara yuridis memilki kekuatan hukum berlaku di Indonesia, antara lain lahirnya Departemen Agama tanggal 3 Januari 1946, lahirnya Peradilan Agama bulan maret 1946 dengan nama Mahkamah Islam Tinggi dan kemandiriannya berdasarkan Undang-Undang no. 7 tahun 1989, terbentuknya Majelis Ulama Indonesia tanggal 26 Juli 1971. Negara Indonesia mengenal dua hukum dasar, yaitu yang tertulis dan yang tidak tertulis dimana yang pertama lebih utama dari yang kedua.
Untuk mengukur apakah ada hukum Islam sebagai sistem hukum, Lon L. Fuller mengemukakan delapan asas yang dinamakan principle of legality yaitu :
a. Suatu sistem hukum harus mengadung peraturan yang tidak bersifat ad hoc. Dari landasan yuridis yang telah dikemukakan seluruh aturan-aturan hukum Islam tidak bersifat sementara.
b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
c. Tidak boleh ada peraturan berlaku surut tetapi ditujukan berlakunya waktu yang akan datang.
d. Peraturan-peraturan hukum disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan sama lain.
f. Peraturan tidak mengandung tuntunan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
g. Tidak boleh ada kebiasaan mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
h. Harus ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
Kriteria-kriteria tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hukum Islam.
Dari sisi aksiologinya, Hukum Islam sebagai hukum yang bersumber dari ajaran agama, tentu saja tujuan penerapannya agar memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at dapat diurut sebagai berikut :
a. Memelihara agama
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal
d. Memelihara keturunan
e. Memelihara harta benda
Dalam pada itu, maksud penerapan hukum Islam diarahkan sebagai :
a. Sebagai sarana kontrol sosial, yakni mencegah umat manusia untuk melakukan pelanggaran hukum, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat umum.
b. Sebagai pembinaan moral masyarakat. Olehnya dalam masyarakat Islam, hukum bukan hanya faktor utama tapi juga faktor pokok, sehingga masyarakat Islam secara ideal harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas Islam.
c. Sebagai benteng pertahanan untuk menagkal identitas keislaman dari pengaruh non muslim dan terutama yang bersifat sekuler. Gambaran-gambaran seperti ini sering terlihat pada sidang DPR dalam membahas rancangan berbagai peraturan yang mengatur nilai-nilai Islam.
d. Mewujudkan ketentraman masyarakat sebagai individu ataupun kelompok.
Penutup
Dari uraian di atas daoat ditarik poin-poin kesimpulan sebagai berikut :
a. Hukum Islam secara teoritis telah memenuhi syarat menurut pandangan korelasi sistem hukum sesuai komponen-komponen sistem hukum.
b. Dilihat dari segi historisnya, hukum Islam telah melalui proses sejarah yang panjang dengan segala pasang surutnya yang dipotong oleh teori syahadat, teori receptio in comlexu, teori receptio, teori receptio exit dan teori receptio a contrario.
c. Secara yuridis telah memenuhi syarat sebagai sistem hukum karena telah memilki berbagai peraturan perundang-undangan, meskipun terbatas pada al-Ahkām al-Ahwāl al-Syakh¡iyah.
d. Dari segi psikologis bahwa umat Islam Indonesia yang mayoritas senantiasa menjadi pertimbangan utama dalam penerapan hukum di Indonesia.
e. Hukum Islam merupakan bagian dari pada hukum nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Amrullah. SF dkk., Dimensi hukum Islam dalam Sistem hukum Nasional, Mengenang 65 tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH., Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996
al-Sais, Muhammad Ali. Nasy’at al-Fiqhi al-Ijtih±diy wa Athwaruh, t.tp: Majma’al-Buhust al-Islamiyah, 1970
Arifin Bustanul, Perkembangan hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Djamil, H. Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Cet. VIII; Jakarta; Balai Pustaka, 1989
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqhi, diterjemahkan oleh Moh. Noer Iskandar al-Barrsaniy dkk. Dengan judul Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqhi, Cet. II; Jakarta: Rajawali Perss, 1991
Majelis Ulama Indonesia, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
Mansoer, Toclhah, Ilmu Fiqhi I, Jakarta: t.p, 1986
Muhammad, Abbas Husni, al-Fiqhi al-Isl±m³, ²f±quh wa Tatawwuruh, Makkah: Rabitah al-±lam³ al-Isl±m³, 1402
Praja, Juhaya. S. dan Eddi Rudiana Arif, At. Al, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Pratek, Bandung; PT. Raja Rosdakarya, 1994
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986
Rasyidi, M., Keutamaan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Rasyidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993
Sa’d. Sa’ud Ibn, Ali durayb, al-Tanzhim al-Qad±³ f³ al-Mamlakat al-Arabiyah, Riyadh: Matabi’ Hanifah li al-Ubset, 1973
Suriasumantri. Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
Syaltut, Mahmud, al-Isl±m Aqidah wa Syari’ah, t.tp: Dar al-Qalam, t.h
Syarifuddin, Amir, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, Jakarta: Ardee Jaya, 1987
Wingnyodipuro, Suroyo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1993
Zahrah Muhammad Abu, Usul al-Fiqhi, Misri: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th
Ibn Zakariyah, Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Maq±yis al-Lugah, IV