Demokrasi dan Stabilitas Nasional dalam Dinamika Perubahan

23 Mei 2009

Demokrasi dan Stabilitas Nasional

dalam Dinamika Perubahan

Zainal Abidin R. *

Pendahuluan

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini? Kesemuanya berpangkal pada perumusan UUD pada pertengahan 1945 di jalan Imam Bonjol. UUD yang bersifat fleksibel itu memungkinkan generasi-generasi berikutnya menjalankannya pada kondisi yang telah berkembang sesuai perkembangan dunia. Pada dekade 90-an sebagai awal terjadinya gerakan reformasi, bangsa Indonesia mengalami berbagai gejolak, mulai dari gejolak politik, sosial, ekonomi, budaya maupun gerakan separatisme yang menginginkan kemerdekaan.

Hal ini dapat menimbulkan instabilitas bagi bentuk negara kesatuan. Sebagai solusinya adalah terciptanya ketahanan nasional yang dilakukan secara dinamis, komprehensif, integral melalui seluruh aspek TANNAS dilaksanakan secara bersama, terbuka dan seimbang, sehingga gejala aspirasi yang lebih bernuansa ketidak-puasan terhadap kebijakan selama masa pemerintahan Orde Baru (baca: Soeharto) yang telah merekayasa Pemilu selama lima kali masa Pemilihan Umum, sehingga selalu menghasilkan Golkar sebagai mayoritas tunggal. Implikasinya berakibat pada tuntutan sebagian wilayah seperti Aceh untuk merdeka melalui referendum dapat diselesaikan dengan adil dan melalui mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat dimungkinkan karena dalam UUD Pasal 28 menyatakan bahwa: kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

Fleksibilitas dari UUD merupakan cerminan dari sebuah bentuk negara yang demokratis, karena pada hakekatnya, negara demokrasi akan mendelegasikan kewenangan atau meletakkan rakyat sebagai sumber kedaulatan dan penyelenggaraan kedaulatan, juga sekaligus pengawas terhadap kedaulatan. Esensinya “kedaulatan ada di tangan rakyat”. Pada tahun 1983, mekanisme menyampaikan aspirasi melalui referendum telah ditetapkan oleh MPR sebagai alat yang boleh digunakan untuk menyikapi perbedaan pendapat dan atau bahkan menjembatani aspirasi masyarakat seperti keinginan merdeka dari wilayah tertentu, sungguhpun kemudian dipertegas kembali pada tahun 1985. apakah mekanisme referendum yang akan digunakan oleh rakyat Aceh untuk menentukan merdeka, dapat dibenarkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kini meliputi 33 provinsi. Lebih lanjut akan dibahas pada bagian pembahasan berikutnya.

Rumusan masalah di sini mengacu pada metode penulisan sebagaimana terdapat pada tulisan Abdulkadir Besar, yang dimuat pada jurnal Ketahanan Nasional edisi Desember 1998 yaitu dengan membuat sejumlah proposisi yang kemudian dianalisis untuk memperoleh kesimpulan. Rumusan proposisi tersebut sebagai berikut: proposisi pertama; tiap pembentukan negara baru yang demokratis sebagai perspektif keinginan sebagian masyarakat di wilayah tertentu dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang menginginkan merdeka seperti rakyat Aceh dan Papua yang ingin menggunakan institusi referendum, merupakan fenomena di era reformasi, maka rakyatlah yang menentukan. Proposisi kedua; setiap pembentukan negara baru yang masih dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, maka akan menimbulkan gangguan pada stabilitas nasional dan merupakan tindakan inkonstitusional. Proposisi ketiga; dalam menegakkan demokrasi, maka derajat keseimbangan yang termanifestasi dalam sistem ketahanan nasional menjadi sangat menentukan.

Kajian Terhadap proposisi

Dalam menjabarkan proposisi pertama terdapat tiga aspek atau kategori yang diidentifikasi untuk dikaji dan dianalisis. Pertama; tentang pembentukan negara baru. Dalam kategori ini akan dibahas legalisasi Pancasila dan UUD 1945 sebagai sebuah sistem politik nasional Indonesia dalam keadaan diam dan dinamis bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum yakni tiap kebijakan (policy) maupun tingkah laku pemerintah termasuk para individu pejabatnya harus didasarkan pada hukum demi terlindunginya rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan.1 Pengertian tentang negara menurut Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul “Pengertian Tentang Negara Hukum” mengemukakan :

Negara hukum yang modern dianggap mempunyai kewajiban yang luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan senjata yang harus dikejar. Kemakmuran seluruh lapisan masyarakat yang harus dicapai. Berdasarkan tugas pemerintah ini, maka penguasa zaman sekarang turut serta dengan aktif dalam mengatur pergaulan hidup rakyat ramai. Lapangan kerja penguasa pada waktu ini jauh lebih besar daripada pemerintah model kuno”.2

Dalam pengertian negara berdasarkan hukum inilah, maka segala sesuatu yang bertautan dengan penyelenggaraan negara harus dikembalikan pada landasan atau dasar negara. Ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 sebagal dasar negara yang pembahasannya berlangsung dalam forum politik, dengan mengemukakan tesis-tesis ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah mencapai kliinaksnya pada tanggal 17 Agustus 1945 menunjukkan bahwa Pancasila merupakan political konsensus yang menjanjikan suatu komitmen untuk bersatu dalam sikap dan pandangan menuju hari depan yang lebih cerah yang dicita-citakan.

Mengapa komitmen bersatu dalam sikap dan pandangan merupakan penekanan daripada nilai-nilai Pancasila. Oleh karena pandangan filsafat dari ideologi Pancasila mengenai manusia seperti yang diutarakan oleh Abdulkadir Besar dalam merefleksikan sila kedua mengatakan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab adalah abstraksi dari kondisi konkrit manusia yang dalam realitasnya terus-menerus dalam keadaan keberagamaan dengan manusia lain. Pengertian adil sebagaimana tafsirannya ialah manusia yang berdimensional yang terdiri dari makhluk individu yang ada dalam diri manusia dan pengertian beradab adalah menunjukkan pada kemakhlukan sosialnya. Selanjutnya kehidupan antar manusia yang teranyami oleh hubungan ketergantungan dan interaksi saling memberi menunjukkan bahwa ideologi Pancasila memandang manusia adalah terbuka bagi pengaruh dari luar dirinya dan juga berdaya mempengaruhi lingkungannya.3

Dengan demikian ajaran epistemologi dari ideologi Pancasila mengenai masyarakat ialah: kebersamaan hidup antar sejumlah manusia yang terselenggara melalui interaksi saling memberi, sehingga konsep masyarakat ideal dari ideologi Pancasila ialah kebersamaan hidup yang berkeadilan sosial, yang terselenggara melalui interaksi saling memberi antar segenap warganya itulah masyarakat yang bersifat terbuka.

Pancasila dan UUD 1945 yang ditetapkan sebagai dasar negara yang bersifat terbuka dan lahirnya undang-undang atau peraturan lain sebagai sistem ketatanegaraan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 merupakan sebuah sistem politik nasional dalam keadaan diam, pengertiannya adalah hukum tata negara mempelajari negara dalam keadaan “diam” yakni mempelajari susunan organisasi dari suatu negara, yang menyangkut tugas, wewenang dan kewajibannya. Sedangkan hukum administrasi negara mempelajari negara dalam keadaan “bergerak” yaitu mempelajari bagaimana prinsip-prinsip hukum mengenai pelaksa-naan dari tugas, wewenang dan kewajiban negara tersebut, dimana lembaga yang merupakan institusi negara mempunyai hubungan kekuasaan antar lembaga yang outputnya memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditegaskan juga oleh Abdulkadir Besar bahwa negara sebagai suatu struktur, bereksistensi dalam keadaan diam. Negara menjadi hidup berkat digerakkan oleh manusia yang dalam khasanah istilah Indonesia dikenal dengan sebutan penyelenggaraan”.4

Integrasi budaya dari Sabang sampai Merauke menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang bersifat supraetnik yang akhir­-akhir ini menyebabkan tabrakan dengan latar belakang tradisi, agama dan etnis. Hal ini pula yang menyebabkan negara kehilangan daya dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Di pihak lain ketidakmampuan negara dalam mendistribusikan aset daerah secara merata ke seluruh daerah secara berimbang. Persoalan ini berlaku umum, maka konsekuensinya bagaimana negara Indonesia dapat diterima oleh rakyat. Gejala semacam ini apabila dibiarkan terus berlanjut, maka apa yang disinyalir oleh Anne Booth:

“Over time, growing rural population in many parts of the outer islands will be trapped in technologically stagnant agriculture, producing the same type of agricultural involution as characterized rural Java in the half century or so frorl 1920 to 1970 under these circumstances it is probable that a widening gap between Java and many parts of the outer island. To the extent that this gap is accompanied by contint.ing centralization of natural resources, the potential for growing resentment and unrest is obvious”.5

Pandangan di atas dikomentari oleh Fachri Ali bahwa sekiranya apa yang disinyalir oleh Anne Booth menjadi nyata dan berlaku umum di seluruh Indonesia, maka akan terjadi penolakan terus-menerus dari daerah-daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat yang mengakibatkan secara ideologis dan politik pemerintah pusat akan kembali memaksakan kekuasaannya untuk membuat daerah-daerah tidak berdaya. Inilah sebuah penyelewengan besar dimana negara tidak lagi berjalan di atas atau berdasarkan hukum akan tetapi hanya berdasarkan atas kekuasaan.6

Jika sekiranya ide pembentukan regara baru, misalnya, oleh masyarakat Aceh hanya didasarkan pada ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, maka pemecahan masalahnya adalah bukan pada pembentukan negara baru akan tetapi bagaimana kebijakan pemerintah mampu menjabarkan fleksibilitas Pancasila yang menjamin semua hak hidup warga negara baik secara individu maupun sosial untuk mencapai atau memperoleh rasa keadilan itu. Sebab bagaimanapun pembentukan negara baru dengan ideologi baru belum tentu memberikan jaminan rasa keadilan, hal itu tergantung pelaksanaan di lapangan nanti, dalam arti piranti hukum didudukkan pada posisi yang sebenarnya.

Adapun setiap usaha atau keinginan pembentukan negara baru yang masih dalam lingkup negara kesatuan berimplikasi, “mengubuh dasar negara dan membuyarkan komitmen bersatu” yang merupakan konsensus bersama yang telah diproklamirkan. Sedangkan untuk mengubah dasar negara merupakan wewenang MPR. Kewenangan MPR itu antara lain didasarkan pada :

1. Pasal I ayat (2) UUD 1945 menyatakan MPR adalah pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat.

2. Pasal 3 UUD 1945 menyatakan, MPR menetapkan UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN .

3. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.

4. Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, untuk mengubah UUD 1945 sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir, dan dalam ayat (2) menyatakan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.

Khusus dalam pembahasan yang berkaitan dengan keinginan masyarakat Aceh untuk merdeka atau mengubah UUD, maka dalam teori Hukum Tata Negara mengenal empat cara.7 Salah satu cara sebagaimana tuntutan masyarakat Aceh adalah melalui referendum.

Kategori kedua : Keinginan merdeka melalui referendum. Menurut Abdulkadir Besar, referendum ialah “suatu institusi yang dengannya suatu keputusan yang telah diambil atau sedang dipertimbangkan oleh suatu lembaga negara, dijadikan obyek untuk mendapatkan pendapat langsung rakyat.8

Menurut K.C. Wheare, prosedur referendum dilakukan dengan cara-­cara sebagai berikut :(1). Apabila ada kehendak untuk mengubah UUD, maka lembaga negara yang diberi wewenang untuk mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam suatu referendum. (2). Usul perubahan yang dimaksud disiapkan terlebih dahulu oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. (3). Dalam referendum, rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka. (4). Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur dalam UUD.9

Penggunaan istilah referendum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Soehardjo mengatakan referendum mempunyai posisi yang sangat unik, karena ia merupakan tahap akhir dan rangkaian ketentuan konstitusional yang telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sejak Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1976.10 Pada tahun 1983 Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Tap No. IV/MPR/1983 menetapkan undang-undang referendum yang bertujuan memproduksi penggunaan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Konsideran ketetapan itu antara lain :

l. UUD bahwa UUD 1945 yang merupakan UUD Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sesuai dengan kepribadian Indonesia yang memuat aturan-aturan yang paling mendasar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia serta dapat menjawab tantangan­-tantangan zaman dan mampu menjamin terciptanya cita-cita kemerdekaan nasional.

2. Bahwa oleh karena itu rakyat Indonesia menyatakan kebulatan tekadnya untuk mempertahankan dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

3. Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia, kedaulatan adalah di tangan dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4. Bahwa dalam rangka mempertahankan dan mengamankan Pancasila dan UUD 1945 telal dicapai konsensus nasional Orde Baru tentang pengangkatan sepertiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

5. Bahwa dalam rangka makin menumbuhkan kehidupan demokrasi Pancasila dan keinginan untuk meninjau ketentuan pengangkatan sepertiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, perlu ditemukan jalan konstitusional agar Pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk mengubah UUD 1945.

6. Bahwa oleh karena itu, perlu ada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang referendum.

Substansi daripada UU referendum 1983 ini memberikan sebuah penegasan terhadap kekuatan Pancasila dan UUD 1945 untuk tetap dipertahankan, namun demikian dalam rumwan UU tersebut dundangkan juga rumusan Bab dan pasal-pasalnya tentang kemungkinan perubahan UUD sebagaimana diatur dalam Bab XIV Pasal 104 sampai dengan Pasal 109 tentang Perubahan UUD. Petikan beberapa pasal dari pasal-pasal tersebut antara lain :

Pasal 105

(1) Apabila ada kehendak anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk mengajukan usul perubahan UUD 1945, maka usul tersebut harus diajukan oleh sekurang­-kurangnya empat fraksi seutuhrya dengan daftar nama dan tanda tangan seluruh anggotanya.

(2) Untuk mengambil keputusan secara mufakat terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan UUD 1945, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ayat (1) pasal ini, maka sekurang-kurangnya dua-pertiga dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang terdiri dari seluruh fraksi harus hadir.

Pasal 106

Apabila kehendak untuk mengusulkan perubahan UUD Republik Indonesia 1945 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 105 disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menugaskan Presiden/Mandataris untuk melaksanakan referendum sesuai dengan undang-undangnya.11

Sebagai tindak lanjut dari undang-undang referendum 1983 maka pada tahun 1985 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui Tap MPR No. 5 mengatur secara rinci tentang referendum. Dalam Bab I ketentuan umum Pasal 1 menyatakan:

a. Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.

b. Pendapat rakyat adalah pernyataan oleh pemberi pendapat rakyat.

c. Pemberi pendapat rakyat adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini.12

Dalam undang-undang referendum tahun 1985 ini, rakyat akan diminta pendapatnya secara langsung terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengrubah Undang-undang Dasar 1945. Nuansa referendum dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia sejak 1976, 1983 maupun 1985 pada dasarnya masih dalam masalah yang sama yakni ingin tetap memperrtahankan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Referendum belum menyentuh hal-hal lain seperti keinginan merdeka dan lain sebagainya. Akan tetapi pada prinsipnya referendum sudah diakui sebagai bagian dari konstitusi demokrasi Pancasila. Kalau dalam ketetapan MPR 1976, 1983 dan 1985 hanya mengenai perubahan Undang­-undang Dasar dan masih terbatas atas usul dan kehendak Majelis Pennusyawaratan Rakyat, pada waktu akan datang, terlebih dalam era retormasi dan untuk menuju sistem demokrasi yang melihat semua pendapat rakyat sebagai bagian dari komponen bangsa untuk diakomodasi, maka perlu memperluas substansi masalah sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat tanpa kecuali keinginan merdeka dari daerah-daerah seperti Aceh untuk diadakan referendum, bail secara langsung pada rakyat atau hanya melalui mekanisme Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai representasi rakyat.

Sekarang timbul pertanyaan. Apakah mekanisme referendum boleh digunakan untuk merespon gejala aspirasi rakyat Aceh yang menginginkan merdeka?. Jawabannya bisa ya dan bisa tidak, tergantung konteksnya. Kalau aspirasi ketidakpuasan itu dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial dan perlakuan tidak adil maka bukan pada gugatan terhadap Pancasila, akan tetapi lebih ditujukan pada kebijakan, sehingga tingkat penyelesaiannya adalah pemberdayaan atau difungsikannya kembali seluruh lembaga yang merupakan sistem politik ketatanegaraan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya. Lain halnya dengan keinginan mereka dengan alasan institusi ideologi Pancasila sebagaimana sekarang menjadi tuntutan untuk diberlakukannya syariat Islam di Aceh dan tampaknya telah direspon positif oleh lembaga tertinggi dan tinggi negara yakni MPR, DPR maupun pemerintah pusat, telah mendorong lembag, legislatif, eksekutif dan yudikatif daerah tingkat I Aceh, sehingga sudah disusun rancangan undang­-undang yang didasarkan atas syariat Islam yang disebut dengan “Nangro Aceh Darussalam”. Dalam pada itu usulan tersebut akan diteruskan kepada pemerintah pusat untuk diajukan kepada MPR; untuk diputuskan sesuai dengan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia tentang boleh atau tidaknya pemberlakuan undang-umdang terbatas tersebut. Di samping itu siapa saja atau rakyat mana yang akan dimintai pendapatnya berkaitan dengan gejala keinginan masyarakat Aceh untuk merdeka ? Pembahasannya pada kategori ketiga.

Kategori ketiga; Rakyatlah yang menentukan. Sebagai acuan dalam pembahasan kategori ketiga ini akan dibuka lembaran konstitusi Indonesia tentang apa itu demokrasi Pancasila. Dalam sistem politik, bangsa Indonesia pernah mengenal dan menganut tiga sistem demokrasi yaitu demokrasi Parlementer, demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila. Dengan hanya mengkhususkan pada uraian demokrasi Pancasila, maka pengaitan sistem politik dengan demokrasi merupakan cerminan dari kesadaran para politisi akan kemungkinan bahwa sistein politik yang dapat diterima oleh rakyat adalah sistem yang sesuai dengan nilai-nilai yang, dimiliki oleh rakyat. Kalau diamati secara rasional, demokrasi Pancasila bergerak di antara demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin. Hal ini semata-mata bukan hanya karena makna demokrasi secara umum adalah pengakuan terhadap hak-hak rakvat, akan tetapi demokrasi Pancasila telah memiliki ciri yang mengakar pada kehidupan masyarakat kita yakni “nilai-nilai masyarakat/mufakat” yang telah terlembaga dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Soemitro, (mantan Pangkopkantib) mengatakan, ideologi Pancasila yang bernafas modernistik, idealistik dan spiritualistik membuat bangsa Indonesia dinamis, haus akan kemajuan dan pembaharuan, dilandasi keimanan yang kuat, humanis dan mendambakan masyarakat demokratis baik politik maupun ekonomi. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang di dalamnya terkandung nilai-­nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.13

Mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka Pancasila diakui sebagai pandangan hidup bangsa yang tercermin dalam sikap gotong-royong, musyawarah, kekeluargaan, kebersamaan dan kebhinekaan yang kemudian terintegrasi dalam satu wadah yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau disimak sidang-sidang BPUPKI dalam menyiapkan kemerdekaan Republik Indonesia, maka pada masa sidang pertama (bulan Mei) tanggal 31 Mei 1945 BPUPKI bertempat di gedung Tyuuoo Sang-in (sekarang Dep. Luar Negeri ) dengan pokok acara pembahasan tentang Dasar Negara Indonesia (lanjutan) dan pembicaraan tentang daerah negara dan kebangsaan Indonesia (lanjutan) di situ telah dipetakan wiiayah Republik Indonesia dari Sabang sampal Merauke, menjadi delapan wilayah yang disebut dengan “Tumpah Darah Nusantura (Indonesia) atau Daerah Yang Delapan “, terdiri dari “seluruh Jawa meliputi Madura dan Galiyao (Kangean), seluruh Sumatera (Melayu), seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara). seluruh semenanjung Melayu (Malaka), seluruh Nusa Tenggara, seluruh Sulawesi, seluruh Maluku dan seluruh Papua (Irian Barat),14 menunjukkan komitmen kerakyatan dan kebersamaan yang ingin menyatakan keinginan bersama dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.

Kebersamaan ini pula yang akan dilibatkan dalam seluruh pengambilan keputusan mengenai bersatu atau bercerainya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis memang demikian karena latar belakang berdirinya bangsa Indonesia bukan berdasarkan atas saling intervensi atau saling menaklukan, akan tetapi atas permusyawaratan rakyat seluruh Indonesia melalui wakil-wakilnya. Lebih jelasnya dalam konstitusi dijelaskan bahwa sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar sebagai berikut :

l. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat).

2. Sistem konstitusional; pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (die gesamte Staatsgewalt lieg allein bei der Majelis). Pengertiannya adalah kedaulatan rakyat dipegang oleh yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat” sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

3. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di baxvah Majelis. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung-jawab adalah di tangan Presiden.

4. Presiden tidak bertanggung-jawah pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi dalam membuat undang-undang harus mendapat persetujuan DPR.

5. Menteri negara ialah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.

6. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Bukan berarti diktator melainkan tidak bertanggung-jawab kepada DPR akan tetapi hanya bertanggung jawab kepada MPR.15

Dalam sistem pemerintahan seperti yang disebutkan di atas, maka wujud dari demokrasi politik berdasarkan Pancasila sebagaimana yang ditegaskan dalam GBHN tahun 1993 adalah Demokrasi politik Pancasila pada hakekatnya adalah wujud kedaulatan di tangan rakyat yang diselenggarakan melalui musyawarah/perwakilan, berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Demokrasi Pancasila mengandung makna bahwa dalam menyelesaikan masalah nasional yang perikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berncgara sejauh mungkin ditempuh jalan musyawarah untuk mencapai mufakat bagi kepentingan rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara resmi, tetap menganut pembagian kekuasaan berdasarkan paham kekeluargaan. Dalam demokrasi Pancasila yang menganut paham kekeluargaan tidak dikenal bentuk-bentuk oposisi, diktator mayoritas, dan tirani minoritas. Hubungan antar lembaga pemerintahan dan antar lembaga pemerintahan dengan lembaga negara lainnya senantiasa dilandasi semangat kebersamaan, keterpaduan dan keterbukaan yang bertanggung jawab”.16

Jika memperhatikan bentuk negara yang dibahas dalam sidang­-sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 31 Mei 1945, pemetaan wilayah, dan sistem pemerintahan serta wujud kedaulatan yang menjunjung tinggi hak-hak rakyat, maka untuk memecahkan masalah Aceh apakah itu melalui referendum atau mekanisme lain, menurut tatanan politik dan sistem ketatanegaraan adalah mengandung arti bahwa “Setiap kehendak yang berkaitan dengan keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus melibatkan seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian apabila mekanisme referendum menjadi alternatif pengumpulan pendapat dari masyarakat secara langsung, maka konsekuensinya adalah seluruh rakyal Indonesia akan dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut. Jadi bukan hanya penjajakan pendapat terbatas di lingkungan atau wilayah dimana daerah yang bermasalah tersebut. Asumsi ini didasarkan atas sistem vang berlaku pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak mengenal sistem federalisme

Referendum juga bisa dilakukan dengan cara, pengumpulan pendapat melalui mekanisme sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena MPR berkedaulatan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebag,ai representasi rakyat seluruh Indonesia, berarti keputusan yang diambil oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan jelmaan dari seluruh keinginan rakyat Indonesia. Jika dalam pengumpulan pendapat tersebut apakah langsung kepada rakyat atau hanya oleh Majelis Pennusyawaratan Rakyat dalam menentukan hasil, apapun hasilnya harus diakui dan dijunjung tinggi oleh semua kalangan. Dengan mengemukakan alasan-alasan di atas, maka terjawab sudah kategori ketiga yakni “seluruh rakyat Indonesia berhak untuk menentukan pendapatnya atas keinginan merdeka masyarakat Aceh. Dengan kata lain apabila referendum dilaksanakan untuk meminta pendapat rakyat, maka bukan saja rakyat Aceh, akan tetapi meliputi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini bukan karena pendiskreditan terhadap rakyat Aceh, inilah sebuah penafsiran terhadap konstitusi yang berlaku di negara Kesatuan Republik Indonesia. dimana semua komponen bangsa harus mentaatinya.

Proposisi kedua berbunyi Setiap pembentukan negara baru yang masih dalam hukum wilayah Negara Kesatuar Republik Indonesia, maka akan menimbulkan gangguan pada stabilitas nasional (Instabilltas) dan merupakan tindakan inkonstitusional”.

Runtuhnya Orde Baru oleh gerakan reformasi merupakan angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia. Betapa tidak, selama 32 tahun masa kepemimpinan Orde Baru, seluruh aspirasi rakyat dipasung. Gerakan reformasi merupakan suatu antitesa terhadap Orde Baru. maka implikasinya tiada lain “membangun demokratisasi”. Itulah yang diharapkan banyak kalangan, terutama mereka yang, sangat konsern dengan wajah Indonesia baru dalam membangun sebuah masyarakat beradab (masyarakat madani). Opini masyarakat mulai dibentuk dalam kesadaran berbangsa dan bernegara yang benar, adil dan demokratis. Momentumnya bisa dilihat dari pelaksanaan Pemilu 1999 yang telah diakui keabsahannya terutama aspek “demokratis” walaupun masih dalam tanda petik.

Rakyat Indonesia telah lama dininabobokkan, sehingga George Mc. Turnan dalam karya klasiknya “National ard Revolution in Indonesia” sebaiaimana yang dikutip oleh Eep Syaefullah Fatah dalam bukunya ” Membangun Oposisi” menyatakan bahwa kendala besar bagi demokrasi di Indonesia sebagai negara baru dalam demokrasi adalah tabiat rakyatnya yang selalu menunggu arahan dari atas. Apakah tabiat rakyat yang demikian itu karena dominasi faktor feodalisme atau karena rekayasa politik oleh penguasa untuk mempertahan-kan hegemoni kekuasaannya dengan menginjak hak-hak rakyat yang berakibat pada perlawanan sporadis dari daerah-daerah yang pada hakekatnva salah dalam mengkonstruksi masalah dengan menuntut merdeka yang jelas jelas bertentangan dengan konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah pada akhirnya memicu terjadinya kekacauan dimana-mana. Kedongkolan rakyat terhadap kesalahan kebijakan selama Orde Baru perlu diselesaikan tanpa harus mengganggu substansi ideologi dan bentuk negara.

Negara memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan tegas kepada seluruh gerakan separatisme yang hendak mendirikan negara dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Tindakan yang diambil oleh pemerintah yang menjalankan konstitusi dengan sah dan legal terhadap setiap usaha-usaha yang ingin merongrong keutuhan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dapat dibenarkan. Karena pembenaran konstitusi sebagai alasan dasar, maka negara berhak mengambil tindakan sesuai dengan aturan-aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Gejala instabilitas Indonesia akhil-akhir ini sebenarnya bukan semata-mata alasan separatisme. Sebenarnya gejala aspirasi yang berkembang direspon secara wajar dan adil saja, Indonesia tidak separah yang sekarang ini. Robert A. Dahl dalam “Democracy and its Critic” (1989). Menyatakan pemberian kebebasan untuk berbeda pendapat dan pendirian; pengembangan martabat manusia dengan otonomi menentukan nasib sendiri yang disertai otonomi moral untuk bertanggung-jawab; serta kepastian untuk melindungi dan memajukan kepentingan tiap-tiap orang dilaksanakan, sudah cukup untuk menjamin terselenggaranya sebuah demokrasi yang sehat. Tesis ini sebenarnya lebih pada pembenaran terhadap pendapat yang ditulis oleh Abdulkadir. Dalam “Pendidikin Pancasila Dasar Negara”, yang menyatakan bahwa tiap sistem yang dikelola oleh manusia perlu dilindungi oleh kaidah moral. Tanpa perlindungan moral, sistem tidak terjamin keberhasilannya dalam mewujudkan tujuan.17

Angin segar dari gerakan reformasi pada esensinya membawa juga perubahan-perubahan konstruktif dengan lahirnya UU no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU no. 25 tahun1999 tentang pembagian keuangan pusat dan daerah adalah suatu keputusan yang sangat demokratis dan adil, hal ini sesuai dengan esensi UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasal oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Untuk menjawab proposisi kedua yang akan ditindaklanjuti pada pemhahasan proposisi ketiga ialah bahwa jika strategi demokrasi Pancasila dilaksanakan secara benar dan konsekuen, kesempatan terjadi gejolak pasti akan dapat dihindari, minimal akan berkurang secara signifikan tekanan-­tekanan dari daerah yang gencar menuntut pemerintah yang sekarang sehingga pemerintah dapat berkonsentrasi dalam melaksanakan pembangunan secara merata ke seluruh Indonesia sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat Indonesia. Dan sekaligus menekan usaha-usaha dari gerakan separatisme yang ingin merdeka. Dengan demikian stabilitas negara dan keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dalam keadaan aman dan terkendali. Jikalau diperhatikan makna yang terkandung dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Indonesia, ternyata bahwa dalam pasal 28, 29 ayat I dan 34 mempunyai makna yang amat dalam dan kontekstual, karena memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.

Dalam konteks di atas bila dikaitkan dengan pemikiran Mohammad Hatta, yakni penduduk Indonesia merdeka untuk berkumpul, berserikat, berpikir dan mengeluarkan pendapat supaya negara tidak menjadi negara kekuasaan. Dengan kata lain menjadi lebih demokratis, menjamin kebebasan berpolitik dan menyatakan pendapat mengenai pelaksanaan negara, sebenarnya bangsa Indonesia telah memposisikan diri sebagai bangsa yang demokratis dan modern, sama dengan bangsa-bangsa lain yang notabene demokratis tersebut. Pada prinsipnya stabilitas nasional suatu negara sangat tergantung pada pengaruh internal dan eksternal. Pengaruh internal yang sangat membahayakan seperti penyelenggaraan hak azasi, hak-hak politik rakyat dan pembangunan yang tidak merata ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sedangkan pengaruh eksternal berupa intervensi negara luar seperti yang diperlihatkan oleh Australia dalam keberpihakannya pada kasus Timor-Timur beberapa waktu lalu, disamping pengaruh di bidang ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.

Proposisi ketiga berbunyi “Dalam menegakkan demokrasi dan stabilitas nasional, maka derajat keseimbangan yang termanifestasi dalam sistem ketahanan nasional menjadi sangat menentukan” Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aspirasi masyarakat, kepentingan golongan diakomodasi dan diolah oleh suprastruktur dengan mengacu pada landasan idiil (Pancasila) dan landasan konstitusional (Undang-Undang Dasar 1945) serta landasan konsepsional (Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional). Para penggagas ketahanan nasional, berhasil menerjemahkan sistem politik nasional secara riil. Dimensi ketahanan nasional meliputi seluruh aspek bernegara dan bermasyarakat. Pengertian ketahanan nasional yang telah mengalami redefinisi oleh Abdulkadir Besar dapat dilihat dari dua sisi, yaitu definisi nominal dan definisi riil.

Dari sisi definisi nominal, ketahanan nasional merupakan kondisi dinamika suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman hambatan serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan : integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya”.18 Sedangkan dari sisi definisi riil Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamik suatu banggsa, berisi keuletan clan ketaagguhan, yang mengandung kemampuan mengemhangkan kekuatan nasional melalui pengelolaan integrasi gatra alamiah dan gatra sosial di bawah kendali gatra ideologi dan penetapan pendekatan jamak: kesejahteraan, keamanan, demokratik, dan kultural, dalam memajukan kesejahteraan bangsa dan mengatasi tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integrasi, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara”19

Dari pengertian ketahanan nasional yang telah dirumuskan oleh Abdulkadir Besar, baik yang bersifat nominal maupun riil telah melingkupi seluruh aktivitas masyarakat, dan menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia. Dalam defenisi nominal disebutkan bangsa yang kuat, ulet dan tangguh adalah bangsa yang mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam tantangan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Sedangkan defenisi riil, pengertian ulet dan tangguh melalui pengolahan gatra alamiah gatra sosial dalam bingkai gatra ideologi, demi tercapai kesejahteraan, keamanan, demokrasi dan kultur yang pada akhirnya dapat membatasi tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik dari dalam maupum dari luar.

Pertanyaan yang mendasar yang harus direspon agar supaya gejala aspirasi yang muncul dalam era reformasi ini dapat diselesaikan dengan baik, sehingga tercipta sistem ketahanan nasional Indonesia {sistem politik nasional Indonesia dalam kadaan dinamis) menjadi memadai bagi terselenggaranya kehidupan nasional yang tentram sekaligus sejahtera, dapat ditemukan dalam penjabaran seluruh gatra tanpa mengesampingkan salah satu perannya.

Dalam tulisan Abdulkadir besar tentang “Redefinisi pengertian Ketahanan Nasional, suatu usulan konstruktif’ terlihat bahwa seluruh gatra yang ada, dijelaskan, baik secara konsepsional filosofi maupun bentuk penjabarannya secara riil. Hal ini nampak pada sub judul “Nilai Kedudukan Antar Kedelapan Gatra”, yang tidak akan mungkin dapat dicapai secara penuh tanpa adanya pengakuan bahwa kedelapan aspek kehidupan nasional itu berperan sama pentingnva dan harus berperan secara integratif.20 Hakikat kehidupan nasional seluruhnya tercakup dalam delapan gatra, oleh karena itu apabila salah satunya tidak mendapat akses yang sama dengan gatra lain, maka menyebabkan kehidupan nasional terganggu. Contoh, terjadinya gejolak dimana-mana akibat kondisi kehidupan ekonomi yang tidak merata dapat mempengaruhi kondisi keamanan menjadi terganggu.

Cara yang baik dalam menangani gejala aspirasi masyarakat yang akhir-akhir ini intensitasnya semakin tinggi adalah dengan merealisasikan konsep ketahanan nasional secara integral dan merata ke seluruh wilayah Republik Indonesia. Mengapa demikian, karena ketahanan nasional tidak lain ialah kondisi dinamik yang meliputi segala aspek kehidupan yang terintegrasi dari bangsa dan negara Indonesia. Isi ketahanan nasional mengandung dua aspek: (1). Kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survival), identitas dan integritas bangsa dan negara. (2). Kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan kehidupan bernegara dan berbangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Adalah merupakan suatu yang jelas dan nyata bahwa inti dari ketahanan nasional ialah manusia Indonesia yang berbudaya (Civilized Indonesia Human Being). Hanya manusia Indonesia yang berbudaya memiliki kemampuan dan kekuatan untuk survive dan sekaligus berkembang yang berarti dapat hidup secara wajar, sejahtera dan bersaing dengan bangsa-­bangsa yang lain.

Menyadari gejolak yang terjadi di Aceh, sebetulnva hanyalah sebuah tuntutan terhadap sistem politik nasional yang berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain kedelapan gatra selama pemerintahan Orde Baru juga Orde Lama belum terrealisasi secara integral. Contohnya, pada saat pemenntahan Orde Lama, Aceh diberikan Daerah Istimewa, namun tidak pernah memperoleh keistimewaan tersebut. Begitu juga pada masa Orde Baru, pengakuan terhadap daerah istimewa hanyalah semboyan tanpa terrealisasi. Mencermati gejala tersebut, maka sistem pemerintah yang bersifat sentralistik harus diganti dengan desentralistik, agar supaya setiap daerah mampu mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memberi jaminan kehidupan kesejahteraan yang nyata dan memadai, sekaligus dapat meredam potensi konflik antara pemerintah pusat dengan daerah, sehingga terjalin hubungan sinergi yang akan menghasilkan kekuatan, baik secara ekonomi, politik, budaya maupun pertahanan keamanan.

Penutup

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari rangkaian pembahasan dalam tulisan ini secara keseluruhan meliputi ketiga proposisi dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjamin adanya suatu perkembangan yang wajar dan teratur, sebaiknya sistem politik jangan sampai mengalami penibahan yang mendasar secara mendadak, karena perubahan yang bersifat radikal, substansial yang tergesa-gesa akan mempengaruhi kondisi masyarakat menjadi terkooptasi oleh perubahan tersebut yang pada akhirnya mendorong berbagai keinginan yang saling bersinggungan dengan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seperti halnya dengan keinginan masyarakat Aceh untuk merdeka, walaupun diakomodir oleh konstitusi melalui referendum akan tetapi biarlah disikapi secara perlahan-lahan dan sepenuhnya diserahkan keputusannya kepada rakyat seluruh Indonesia untuk menentukan sikap.

2. Tidak ada toleransi bagi setiap gerakan sepratisme untuk mendirikan negara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan sebagai konsekuensinya, pemerintah atas nama negara berhak mengambil tindakan atas segala bentuk kegiatan _yang merongrong kedaulatan negara.

3. Menyadari gejala aspirasi masyarakat yang merupakan tuntutan terhadap kehidupan yang lebih manusiawi dan sejahtera, maka sistem politik nasional yang terrealisasi dalam konsep ketahanan rasional yang terdiri dari delapan gatra harus dilaksanakan secara integral dan komprehensif.

Daftar Pustaka

Besar, Abdulkadir, Pendidikan Pancasila Dasar Negara, Jakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Jakarta, 1998

Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum Bandung: Alumni, 1983

Armawi, Armaidy, Regionalisme, Nasionalisme dan Ketahanan Nasional (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1998

Wheare, K.C. Modern Contitution, London, Oxford University Press, 1996

Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia Jakarta: PT Pustaka Cidesindo, 1998

PPKI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jakarta: Sekertriat Negara, 1995

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

Chaidir Basrie, (ed.), Pemantapan Pembangunan MelaluiPendekatan Ketahanan Nasional, Jakarta: Program Magister Ketahanan Nasional UI, 1994

* Dosen Jurusan Ushuluddin STAIN Ambon; Memperoleh gelar Magister (M.Si.) dari Program Pascasarjana UGM Yogyakarta; dan sedang menempuh pendidikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Saat ini menduduki jabatan sebagai Pembantu Ketua II STAIN Ambon.

1 AbdulKadir Besar, Pendidikan Pancasila Dasar Negara, Jakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Jakarta, 1998), h. 1

2 Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983), h.

3 Abdulkadir Besar, op. cit., h. 18

4 Ibid., h. 41

5 Armaidy Armawi, Regionalisme, Nasionalisme dan Ketahanan Nasional (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1998), h. 125

6 Ibid.

7 K.C. Wheare, Modern Contitution, (London, Oxford University Press, 1996).

8 Abdulkadir Besar, loc. cit.

9 K.C. Wheare, loc. cit.

10 Soehiono, op. cit., h. 42.

11 Ibid., h. 38-39

12 Ibid., h. 9

13 Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Cidesindo, 1998), h. 26

14 PPKI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), (Jakarta: Sekertriat Negara, 1995), h. 59-60

15 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 181-182

16 Ibid., h. 174

17 Abdul Kadir Besar, op. cit., h. 41

18 Chaidir Basrie, (ed.), Pemantapan Pembangunan MelaluiPendekatan Ketahanan Nasional (Jakarta: Program Magister Ketahanan Nasional UI, 1994), h. 76

19 Ibid.

20 Ibid., h. 5


INTERVENSI PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT ADAT

15 Mei 2009

INTERVENSI PEMERINTAH TERHADAP

MASYARAKAT ADAT

M. Ridwan Tunny

Pendahuluan

Pembangunan dan berbagai upaya transpormasi sosial yang bertujuan mendorong kesejahteraan rakyat tidak akan berhasil dengan baik apabila struktur relasi kekuasaan dalam pengelolaan dan pemilikan sumber daya tanah tidak tertata secara adil.

Di Indonesia, potret dan struktur penguasaan tanah misalnya berada dalam situasi yang semakin timpang disertai meningkatnya sengketa antara aktor yang mengklaim mempunyai hak terhadap penguasaan sumber-sumber tanah tersebut.

Fenomena sengketa sumber daya tanah muncul kepermukaan dengan beragam bentuk, baik sengketa antara pemerintah dengan masyarakat maupun sengketa horizontal diantara masyarakat itu sendiri.  Sengketa sumber daya tanah sebagian besar terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan adat atas sumber daya agraria dan pemilik modal yang mendapatkan tanah oleh sebagian masyarakat terhadap unit dan aset-aset produktif yang telah dibangun diatasnya.

Intervensi terhadap Masyarakat Adat

Adumiharja Kusnaka, mengatakan bahwa selama ini para perencana pembagunan di Indonesia menganggap nilai budaya masyarakat sebagi simbol keterbelakangan.  Pemahaman semacam ini menunjukkan bahwa pentingnya dilakukan perubahan sosial budaya.  Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang dilakukan melalui berbagai produk peraturan, perundangan dan kebijakan-kebijakan lainnya.  Produk-produk hukum mengarah kepada eksploitasi alam yang berlebihan.  Akibatnya hancurlah tatanan lingkungan dan terjadilah marjinalisasi masyarakat adat yang mengarah kepada pemiskinan  hak ekonomi, hukum, sosial  agama dan politik.[1]

Permasalahn kritis yang muncul dari persoalan tarik menarik sumber daya tersebut diantaranya adalah makin kecilnya akses dan kontrol masyarakat.  Persoalan tersebut menjadi semakin rumit, karena tarik menarik pengelolaan sumber daya tanah terjadi tidak hanya di tingkat regional dan nasional, tetapi juga terjadi pada tingkat komunitas.  Komunitas masyarakat tidak bisa dilihat sebagai kelompok masyarakat yang homogen, tetapi yang terlihat berbagai kepentingan individual anggota komunitas saling -silang memperebutkan sumber daya tanah.

Munculnya berbagai kasus sengketa atas sumber daya tanah tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah (orde baru pada saat itu) yang banyak bersifat ad hock, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.

Struktur hukum yang mengatur sumber daya agraria menjadi tumpang tindih.  Undang-Undang  Pokok Agraria (UUPA/5/1960) yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan sumber daya agraria di Indonesia menjadi tidak berfungsi, karena pada masa orde baru, Undang-Undang tersebut dibuat mandul dengan cara tidak dibuat peraturan pelaksanaannya.

Pengabaian negara terhadap hukum adat, dalam perumusan strategi pembangunan, hukum, kebijakan, dan manajemen tanah dan kekayaan alam di satu pihak, dan berkembangnya investasi yang berorientasi pada ekstraksi kekayaan alam di pihak lain, telah menimbulkan ancaman yang serius bagi kelangsungan hidup komunitas lokal.  Derajat kehancuran kehidupan komunitas lokal tersebut, pada akhirnya bergantung pada daya adaptasi dari masing-masing kominitas.

Kekuasan orde baru yang dijalankan dengan skema totaliter berbasis militer, pada dasarnya telah memberikan pengaruh besar pada penciptaan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Sepak terjang rezim, pada satu sisi berhasil menundukkan rakyat untuk jangka waktu tertentu, namun dalam jangka panjang, telah membawa akibat yang sulit dibayangkan.

Sementara itu terjadinya pembuldoseran terhadap kultur lokal melalui pelibasan komunitas adat telah mempengaruhi proses negara terhadap realitas pluralitas hukum.

Bahkan pluralitas hukum bukan berangkat dari paradigma UUPA 1960, malah sebaliknya menelikung paradigma tersebut dengan paradigma baru sebagai sumber-sumber agraria adalah komoditas.  Tanah dalam hal ini telah diubah dari memiliki karakter sosial, menjadi komuditas dan dimasukan  dalam skema pasar tanah.  Berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya telah menjadi wahana bagi proses marginalisasi rakyat dan masyarakat adat.

Demikian maraknya sektor di atas, mengakibatkan munculnya kasus sengketa agraria berupa penggusuran, penjarahan, penjualan hak komunitas lokal atas tanah dan wilayah mereka.  Juga tidak diakui bahkan terjadi kekerasan yang intens dan dalam terhadap kelompok.

Endang Suhedar dan Ifdal Kasim mengatakan akibat dari fenomena intensif dan ekstraktifnya, di satu sisi membuat faktor penguasaan lahan menjadi semakin penting.  Disisi lain, intensif dan kekerapan sengketa pertanahan, juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari fenomena pembangunan tersebut.  Sengketa-sengketa yang sempat muncul ke permukaan termasuk sejumlah sengketa yang melibatkan masyarakat adat.  Akibat disingkirkannya hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lain pada umumnya.[2]

Bahkan Adimuharja mengungkapkan bahwa tanah merupakan unsur yang mendominasi pemicu terjadinya konflik di berbagai daerah.  Hal ini dikarenakan sentralisasi penanganan masalah sumber daya alam menyebabkan terjadinya kesenjangan dan ketidakpuasan dalam hubungan penguasa-rakyat.  Hubungan yang bersifat sentralistik dan dikelola melalui sistem komunikasi satu arah menyebabkan terjadinya social disfuntion dalam berbagai bidang kehidupan.

Imam Soetiknya menjelaskan, akibat pemerintah menyalahgunakan UUPA No. 5/1960, maka yang terjadi adalah suku-suku bangsa dan masyarakat adat yang tidak mandiri lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari satu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang wewenangnya berdasarkan hak rakyat yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak berada di tangan kepala suku/ masyarakat hukum adat sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya, dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak menguasai/ ulayat wilayaha negara.[3]

Loir Bator Dingit mengatakan permasalahan tersebut, telah melahirkan dua sumber ketidak adilan hukum terhadap masyarakat adat. (1) Kebijakan-kebijakan hukum itu sendiri sudah bias penyeragaman dan bias formalitas, yang secara budaya tidak berakar pada prinsip-prinsip hukun sebagaimana yang dikenal dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat adat. (2) berbagai produk hukum yang mengatur atau yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat dibuat saling kontardiktif, sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum bagi hak-hak masyarakat adat.[4]

Fenomena di atas telah mendiskreditkan masyarakat adat menjadi satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan. Dengan berbagai kebijakan dalam hukum yang dikeluarkan, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil hak asal usul, hak atas wilayah, hak untuk menegaskan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi dan yang paling utama adalah hak-hak politik masyarakat adat.

Yando R. Zakaria mengatakan dengan demikian setidaknya ada tiga faktor utama yang memungkinkan terjadinya sengketa yang melibatkan masyarakat adat. 1) Tindakan birokrasi yang memang tidak peduli tentang keberadaan kelompok masyarakat dengan hak-hak budayanya. 2) Lemahnya kedudukan hak-hak masyarakat adat dalam peraturan perundangan nasional, dimana rendahnya pengetahuan masyarakat adat tentang posisi hak-hak masyarakat adat dalam kerangka kebijakan. 3) Lemahnya sistem pengorganisasian sosial didalam masing-masing komunitas masyarakat adat sebagai akibat kebijakan-kebijakan pemerintah.[5]

Pada prakteknya menurut Noer Fauzi hal ini menimbulkan apa yang disebut sengketa agraria, dimana terdapat pertentangan klaim antara pemerintah yang menganggap suatu lokasi tertentu adakah “Tanah Negara” dengan masyarakat setempat yang secara turun temurun telah memanfaatkan tanah dan sumber daya alam tersebut.  Sengketa agraria berupa tanah merupakan warisan yang tak terselesaikan.[6]

Ditengah penantian perwujudan formula-formula reformasi, masyarakat pedesaan atau masyarakat adat menghadapi persoalan yang sangat membutuhkan rekonstruksi sosial yang mendasar.  Bukan saja aset, tetapi tanah dan sumber daya alam juga merupakan basis bagi diperolehnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik, ketimpangan dalam akses terhadap tanah akan sangat menentukan corak masyarakat dan mencerminkan dinamika tertentu, hubungan antara lapisan masyarakat.

Oleh karena itu, Noer Fauzi  memandang hak seseorang atau kelompok atas suatu luasan tanah akan terjamin kepastiannya, jika memperoleh pengakuan secara utuh, perlindungan dan bahkan pemulihan akibat kerusakan yang selama ini diderita.  Artinya: pengakuan, perlindungan dan pemulihan harus datang dari kedua-duanya, baik dari masyarakat adat, maupun dari pemegang kekuasaan di atasnya.[7]

Jeffry T. Campbell berpendapat bahwa seruan bersama untuk menegaskan klaim-klaim lokal dan sumber daya alam yang menitikberatkan pada pengakuan akan hak masyarakat terhadap tanah yang telah ada sebelumnya (hak ulayat).  Seruan ini sebagai respon terhadap proses marjinalisasi yang dilakukan oleh orde baru.  Yang menarik, baik hukum adat dan hukum nasional digunakan sebagai jastifikasi klaim-klaim adat.  Banyak pemimpin masyarakat menyatakan bahwa hak tradisional mereka dan pola-pola penggunan akan hak pengelolaan terhadap lahan yang didasarkan atas tanah adat diabaikan dengan diterapkannya hukum nasional.  Ironisnya beberapa pembela hukum adat menggunakan hukum nasional sebagai cara untuk membuktikan keberadaan hukum adat.[8]

Noonan melihat bahwa bagaimana lembaga-lembaga peradilan serta para hakim yang sangat diagungkan, gagal untuk memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi atau kepentingan-kepentingan sosial, ketika mereka membiarkan adanya “topeng” (yaitu konsep-konsep untuk mengklasifikasikan secara formal) dan dengan begitu menyembunyikan realitas kemanusiaan dan sosial yang kompleks, yang ada dalam kasus-kasus yang mereka hadapi.[9]

Pada gilirannya Kuntowijoyo mengingatkan bahwa jika negara tidak bertindak secara hati-hati dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan spesifik dari tanah dan masyarakat pedesaan (masyarakat adat) krisis legitimasi akan terjadi.  Sama halnya dengan krisis-krisis legitimasi di masa lampau, ketika negara dan modal melakukan eksploitasi atas tanah dan tenaga kerja.[10]

Padahal, menurut Nababan masyarakat adat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang secara dominan masih diwarnai nilai-nilai adat seperti bagaiamana suatu kelompok melakukan prinsip-prinsip konversi, manajemen sumber daya alam.  Hal ini tampak jelas pada prilaku mereka yang memiliki rasa hormat begitu tinggi terhadap lingkungan alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.  Dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam, sistem pengetahuan dan daya adaptasi pengetahuan tekhnologi akan selalu disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam serta sistem distribusi dan pengalokasian hasil tersebut.  Pendekatan ini jelas mempererat jalinan kepuasan semua pihak tanpa berlebihan.[11]

Dengan demikian, menurut Setiawan Bonnie dalam memperdayakan masyarakat pedesaan dari kedudukan marjinal, perlu ada suatu pembaharuan agraria yang mengarah pada pembangunan kembali struktur sosial masyarakat adat, sehingga terjaminnya kepastian pemilikan tanah bagi rakyat sebagai sumber daya kehidupan mereka, disamping terciptanya sistem kesejahteraan sosial serta penggunaan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[12]

Penutup

Perlu peninjauan ulang konsepsi hak menguasai dari negara yang menempatkan kekuasaan negara lebih dominan dibanding kekuasaan rakyat, serta koreksi mendasar terhadap sektoralisme hukum pemisahan antara penguasaan tanah dengan sumber daya alam yang menyertainya, kemudian membentuk sistem hukum keagrariaan yang terpadu, yang memberikan ruang hidup pada sistem-sistem hukum adat.  Hal ini perlu, karena ada semacam kearifan lokal masyarakat adat, dimana kekayaan budaya dari setiap komunitas-komunitas lokal, memunculkan suatu pola pengembanagan khas dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (tanah).  Oleh karena itu, perlu diselesaikan seluruh sengketa agraria yang terjadi selama pemerintahan orde baru dengan mengedepankan rasa keadilan, kebersamaan dan kepentingan rakyat di atas segalanya.


DAFTAR PUSTAKA

Campbell, Jeffry T, Pembaharuan Masyarakat Adat, dalam F. Von Benda Beckmann, Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Dingit, Loir Bator, Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat: Kepastian Hukum Kawasan Tanah Adat dalam Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999.

Suhendar, Endang dan Ifdal Kasim. Tanah Sebagai Komuditi, Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. Jakarta: Elsam, 1996.

Kuntowijoyo, Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman. Yogyakarta : Lembaga Penyadaran Rakyat Pedesaan, 1992.

Kusnaka, Adimiharjo Hak Sosial Budaya Masyarakat Adat, dalam Menggugat Posisi Adat terhadap Negara.  Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999.

Nababan A.  Kearifan Lokal : Mengelola Sumber Daya Agraria, dalam Dimensi Pengelolaan dan tantangan Kelembagaan Bandung : Jurnalistik Analisis Sosial, 2001.

Noer Fauzi.  Pembaharuan Agraria, Urusan Yang Belum Selesai. dalam Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000.

Noer Fauzi, Ketegangan Antara Otonomi Komunitas vs Otonomi Pemerintah, dalam Otonomi Daerah dan Sengketa tanah.  Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2000.

Noonan J. T. Jr. Persons And Masks of The Law, dalam T.O. Ihromi: antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1993.

Setiawan, Bonnie, Pembaharuan Agraria: Tinjauan Konseptual, dalam Perubahan Politik Sengketa. Jakarta: LPEE – UI, 1997.

Soetiknya, Imam. Politik Agraria Nasional, Yogyakarta: UGM, 1990.

Zakaria, Yando. R. Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia, dalam Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah.  Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2000.


[1] Adimiharjo Kusnaka, Hak Sosial Budaya Masyarakat Adat, dalam Menggugat Posisi Adat terhadap Negara.  (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999), h. 27

[2] Endang Suhendar dan Ifdal Kasim. Tanah Sebagai Komuditi, Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. (Jakarta: Elsam, 1996), h. 26

[3] Imam. Soetiknya, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta: UGM, 1990), h. 20

[4] Loir Bator Dingit, Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat: Kepastian Hukum Kawasan Tanah Adat dalam Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999), h. 1

[5] Yando R. Zakaria, Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia, dalam Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah.  (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2000), h. 27

[6] Noer Fauzi.  Pembaharuan Agraria, Urusan Yang Belum Selesai. dalam Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000), h. 143

[7] Ibid., h. 212

[8] Jeffry T. Campbell, Pembaharuan Masyarakat Adat, dalam F. Von Benda Beckmann, Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 (2001:65)

[9] Noonan, Persons And Masks of The Law, dalam T.O. Ihromi: antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 98

[10] Kuntowijoyo, Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman. (Yogyakarta : Lembaga Penyadaran Rakyat Pedesaan, 1992), h. 8

[11] A. Nababan  Kearifan Lokal : Mengelola Sumber Daya Agraria, dalam Dimensi Pengelolaan dan tantangan Kelembagaan (Bandung: Jurnalistik Analisis Sosial, 2001), h. 411

[12] Setiawan Bonnie, Pembaharuan Agraria: Tinjauan Konseptual, dalam Perubahan Politik Sengketa. (Jakarta: LPEE – UI, 1997), h. 219


KONFLIK SOSIAL EKONOMI DALAM PERJUANGAN KELAS ( Telaah Islam atas Struktur Sistem )

3 Mei 2009

KONFLIK SOSIAL EKONOMI DALAM PERJUANGAN KELAS
( Telaah Islam atas Struktur Sistem )
M. Ridwan Tunny.
Pendahuluan
Konflik yang berlangsung sejak abad pertengahan hampir keseluruh Eropa, didominasi oleh ekonomi agraris yang didasarkan pada eksploitasi tanah-tanah feodal dengan kekuatan buruh yang berasal dari orang-orang setengah budak yang kerjaannya mengolah tanah. Pola semacam ini, telah menjadikan sosio kultural menjadi semakin tidak bermakna. Dimana sekumpulan orang yang menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka yang bertindak menurut bentuk perilaku sosial yang sudah terpolakan, menciptakan kepercayaan dan nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna bagi tindakan kolektif .
Dari konflik tersebut, pada abad ke sepuluh, terjadilah kebangkitan industri dan perdagangan, terutama di kota-kota. Jadi selain kaum bangsawan yang merupakan kelas dominan dalam masyarakat feodal, muncullah satu kelas baru yaitu kelas borjuis. Mula-mula kaum borjuis ini jauh lebih lemah kedudukannya dari pada kaum aristokrat, yang memegang kekayaan daerah di mana mereka berkuasa. Tetapi sedikit perkembangan ketrampilan tehnik, mempercepat pertumbuhan yang mendorong perkembangan perdagangan secara besar-besaran. Pada gilirannya kaum borjuis menjadi semakin kaya raya, terdidik baik dan sangat kompeten. Akibatnya semakin sulit untuk menerima peranan yang lebih rendah dari kaum aristokrat.
Sementara itu Leopold Fontain salah seorang sejarahwan mengatakan, ketika kelas borjuis menjadi lebih kuat, karena memperoleh dukungan negara, mereka lalu memberontak terhadap kelas pertama dan kedua. Menurutnya revolusi Perancis sesungguhnya merupakan revolusi kaum borjuis pertama, sekaligus menumbangkan kelas pendeta dan bangsawan. Perubahan struktur pada masyarakat aristokrat merupakan akibat dari derasnya semangat rasionalitas dan positivistis . Upaya rasionalitas dalam gerakan modernisme di arahkan pada cara berpikir dan berbuat, sejauh yang didasarkan atas hubungan fungsional antara kepentingan dan sikap .
Cara borjuis dan sikap revolusi yang ditanamkam oleh bangsawan saat itu, memunculkan bentuk-bentuk baru dalam konflik hubungan sosial, dengan cara-cara produk yang perkembangannya memunculkan satu doktrin perjuangan kelas. Dimana konflik antara cara produksi dan hubungan-hubungan sosial muncul dalam bentuk perang antar kelas, karena seluruh kelas masyarakat tidak lain adalah bagian-bagian dari tata ekonomi, bahkan perang keagamaanpun tidak lain adalah dari perang antar kelas ekonomi, yang disatu sisi berkepentingan menguasai sumber-sumber kekayaan, sedangkan disisi lain melawannya untuk menyusun pola ekonomi baru menurut reformasi politik.
Baik premis sosial maupun ekonomi, telah menjadi bagian dari sebuah bangunan kekuasaan, yang pernah ada pada masa kebangkitan feodalisme industri, tak terkecuali feodalisme sosial jahiliyah. Berangkat dari kerangka tersebut di atas, Islam melihat bahwa apapun bentuk praktek ekonomi dari kapitalisme maupun sosialisme, yang jelas tidak satupun dari keduanya yang berhasil dalam menempatkan keselarasan individu maupun kolektif dalam suatu strata sosial. Hal ini dikarenakan pemilikan kekayaan dan pembagian kekayaan secara mencolok, disamping monopoli harga dan produksi, mengakibatkan sistem ini membuat sebahagian masyarakat menjadi benalu bagi masyarakat lainnya, dan meniadakan kesempatan bagi orang untuk hidup sebagaimana layaknya manusia. Oleh karena itu Islam melihat bahwa disatu sisi, disamping hak milik individu adalah hak untuk memiliki, menikmati, tetapi di sisi lain mereka mempunyai kewajiban moral untuk menyedekahkan hartanya, karena kekayaan itu juga merupakan sebagian hak masyarakat. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. al-Dzariyat : 19 sebagai berikut :
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ(19)
Terjemahnya :
Dan pada harta mereka ada hak orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa dari perkembangan kelas di atas telah melahirkan pertentangan kelas yang mengarah ke persoalan monopoli, eksploitasi dan spekulatif karena semua ini tidak bermanfaat. Bahkan mereka mengambil kentungan dari penderitaan sesama manusia.
Dari permasalahan di atas, penulis mengetengahkan beberapa pokok pikiran yakni apa yang melatari perjuangan kelas dalam konflik sosial ekonomi, dan bagaimana tinjauan Islam terhadap perjuangan kelas dalam konflik sosial ekonomi. Dalam makalah ini penulis menggunakan pendekatan historis, deskriptif induktif.
Konflik Sosial dan Perjuangan Kelas
Sebagaimana konflik-konflik sebelumnya, perjuangan kelas antara kelas aristokrat dan kelas borjuis sejak abad kesebelas dan duabelas, ikut menyumbangkan gerakan pembaharuan dan renaisance. Revolusi Perancis tahun 1789 misalnya adalah hasil dari perjuangan fundamental tersebut, dimana dengan mendramatisir konflik ini, revolusi Perancis menjadi model bagi konflik-konflik antara kelas borjuis dan kelas kapitalis. Sehingga perjuangan kelas mengarah kepada cara-cara produksiekonomi dalam hubungan sosial, yang mencuat menjadi konflik politik lewat konflik kelas. Sistem sosial dalam kerangka struktur konflik, senantiasa berubah karena individu dilibatkan dalam mekanisme perubahan, terutama dalam proses sintesa (mencari bentuk). Proses sintesa memberi banyak peluang kepada individu untuk menciptakan nilai, sebagai realisasi diri, dari sebuah kebutuhan materialis .
Ketika perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, dimiliki oleh pribadi atau kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat, ketika itu pula muncul kelas-kelas dalam masyarakat yang disebabkan pengkhususan pekerjaan, karena timbulnya gagasan tentang milik pribadi. Kepemilikan tersebut ternyata membawa dampak pertentangan dari kelas bermodal. Semuanya ini mengakibatkan bahwa di satu sisi adaya penimbunan modal, sedangkan sisi lain adanya pengurasan terhadap milik kaum fakir miskin. Sementara itu begitu pesatnya mekanisme ekonomi, menyebabkan upah tenaga kerja makin menurun dan menimbulkan tenaga pengangguran semakin besar. Akibatnya makin besarlah kesengsaraan kaum buruh.
Benturan-benturan di atas semakin mencuat dalam perkembangan kelas, ketika terjadinya revolusi industri pada abad ke 18, konsep kelas kemudian mengambil bentuk dalam fenomena industrialisasi yang menggiring terjadinya kelas baru yang disebut kelas proletar. Meskipun jumlah kelas proletar demikian banyak, namun secara sosial ekonomi dan politis, mereka di bawah kekuasaan kaum borjuis yang pada saat itu menguasai modal
Memasuki awal abad kesembilan belas, pertentangan kelas dan penindasan kejam atas suatu kelompok yanglain semakin tajam dan bersaing,di mana perusahaan-perusahaan besar semakin banyak dan menjadi bagian-bagian bisnis yang bersifat penguasaan pribadi. Sementara itu bagian kehidupan dari kelas proletar kondisinya semakin menurun secara drastis. Sehingga pertikaian antara kelas proletar (inti dari kaum buruh) dan kaum borjuis semakin meningkat dan menimbulkan konflik-konflik sosial dalam satu sistem produksi, baik itu kapitalisme industri maupun kapitalisme perdagangan. Pada gilirannya teori ekonomi kapitalisme merupakan suatu sistem yang terpadu dan kompleks bahkan lebih serius dari doktrin sosialis yang ketika itu masih dalam tahap permulaan.
Dalam suatu fenomena sosial, ketika di eksploitasi manusia terhadap manuia dalam sistem ekonomi kapitalisme tetap berlangsung terus-menerus tanpa kontrol, selama itu pula kelas proletar yang dieksploitasi dan diangsingkan, tetap tidak mempunyai alat apapun untuk dapat melancarkan. Bahwa kemudian kelas pemilik modal sangat berkepentingan untuk menggunakan tenaga kelas buruh dan kemudian mengeksploitasinya untuk mengembangkan industri mereka; hanya dengan satu tujuan yakni melakukan perluasan kapital lebih banyak lagi, sehingga dalam struktur masyarakat kapitalis, terjadi pemiskinan massal terhadap tenaga buruh (kelas proletar) yang hanya di peras tanpa memperbaiki kesejahteraan mereka .
Ketika kerangka berpikir kapitalisme Laissez Faire membolehkan dilakukannya kegiatan-kegiatan usaha perorangan tanpa adanya pengawasan dari pemerintah, itu pun tidak terdapat gagasan yang nyata tentang keadilan sosial yang dapat dicapai melalui kegiatan usaha yang sadar, sementara kapitalisme campuran cikal bakal dari keadilan sosial, terletak pada tekanan kelas-kelas di dalam masyarakat dan tidak terletak pada keyakinan yang nyata mengenai adanya persaudaraan di antara sesama manusia.
Kenyataan ini menjadikan revolusi politik dan ekonomi dalam masyarakat borjuis yang kapitalis, senantiasa melahirkan satu pemikiran dogmatik mengenai pentingnya kebutuhan dunia, kepentingan-kepentingan pribadi, konsumerisme, seolah-olah merupakan dasar keberadaannya, seperti sebuah hipotesis yang tidak perlu dibuktikan, jadi seolah-olah merupakan dasar alami.
Perubahan sosial ekonom borjuis yang menelanjangi posisi kesenjangan sosial, ternyata membentuk sebuah kekuasaan bahwa kapitalis dalam kebebasan individu dalam memperoleh kapital ( modal ) merupakan prinsip, sedang campur tangan negara untuk mengatur kehidupan ekonomi merupakan perkecualian. Sebaliknya dalam sosialisme ilmiah kita mendapatkan bahwa campur tangan negara dalam aktivitas ekonomi merupakan prinsip, sedangkan pelimpahan sebahagian dari kebebasannya kepada perorangan merupakan perkecualian.
Dalam konflik-konflik tersebut, terlihat adanya determinisme sosial ekonomi, yang oleh Marxisian dilihatnya sebagai struktur sosial yang menentukan corak struktur tehnik dan struktur budaya. Di mana dari struktur sosial memunculkan bentuk lembaga-lembaga sosial, yang pada akhirnya mempengaruhi terbentuknya simbol-simbol budaya.kelas borjuis misalnya menciptakan negara kapitalis sebagai refleksi dari kepentingan kelasnya untuk menguasai bias-bias ekonomi dan produksi simbolik. Sehingga paradigma Marxian melihat perubahan sosial sebagaisatu proses yang bergerak secara material dari penguasaan alat-alat produksi ke arah pembentukan struktur tekhnik. Pada akhirnya mempengaruhi terbentuknya struktur budaya.
Paradigma Durkheim, telah memperlihatkan struktur transformasi sosial berasal dari perubahan srtuktur budaya ke struktur sosial dan akhirnya ke struktur tekhnik. Dengan struktur budaya, Durkheim menjelaskan bahwa dalam bentuk nilai-nilai kolektif bisa menjadi dasar dari integrasi sosial. Sementara dalam masyarakat tradisional, nilai kolektif menciptakan suatu bentuk solidaritas yang disebut solidaritas mekanis dan berkembang menjadi solidarits organis. Semuanya itu oleh Durkheim menunjukkan bahwa ada perubahan pada struktur sosial dan karena struktur sosial merupakan matriks dari lembaga-lembaga sosial, termasuk pengusaha-pengusaha birokrat, maka dapat dikatakan bahwa perubahan struktur budaya akan mempengaruhi terjadinya peubahan pada struktur tekhnik.
Dari gambaran-permasalahan tersebut di atas, terlihat bahwa perilaku sosial ekonomi barat modern secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi timbulnya perjuangan kelas di samping memunculkan konflik-konflik sosial dalam ekonomi masyarakat, baik itu kepemilikan pribadi maupun kepentingan kolektif.
Telaah Islam
Dalam segala hal, agama jangan dianggap sebagai penghalang, sebagaimana Marx menemukan banyak pengisapan dan ketidak adilan ekonomi di sekitarnya, atas nama agama. Oleh karena itu dalam bidang ekonomi, ciri khas Islam terletak pada kenyataan bahwa Islam mengenyahkan semua kegiatan ekonomi anti sosialis yang tidak mendorong pada kesejahteraan bersama. Atas dasar inilah Islam bukan saja membantu meluaskan produksi dan kesempatan kerja, tapi juga menempatkan kebudayaan persaudaraan pada dasar yang kukuh. Sehingga semua kegiatan ekonomi oleh masyarakat Islam harus bebas dari pengisapan dan ketidakjujuran, yang dapat merintangi kebersamaan.
Islam tidak membenarkan adanya kelas-kelas masyarakat yang hanya memusatkan kekayaan di kalangan sekelompok kecil orang kaya. Bahkan Islam tidak membiarkan kebebasan individu untuk mendapatkan kekayaan itu berkembang menjadi kebebasan yang mutlak. Oleh karena itu Islam melihat kekayaan (kelas bermodal) tidak dicari untuk sekedar dikumpulkan, tetapi dicari untuk berbakti kepada Allah, untuk melaksanakan perbuatan yang adil dan bermanfaat.
Hal ini di jelaskan dalam QS. al-Maidah (5) : 8 sebagai berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(8)
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahi apa yang kamu kerjakan.
Dari konteks ayat di atas, terlihat bahwa pandangan ekonomi Islam tidak didasarkan atas kebebasan hak milik perorangan yang tanpa batas, sebagaimana dikehendaki oleh kapitalisme. Dan ekonomi Islam juga tidak didasari atas hak penyimpangan total dari hak bersama dan hak kebebasan perorangan, seperti ekonomi campuran di mana batas-batasnya kabur dan tidak diketahui dengan jelas .
Sehubungan dengan masalah tersebut, Allah Swt berfirman dalam QS. al-Taubah (9) : 34 seagai berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ(34)
Terjemahnya :
‘Hai orng-orang yang beriman, Sesungguhnya sebagian besar dri orang-orang alim Yahudi dan Rahib-rahib Nashrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih)”
Yang jelas bagi Islam, praktek-praktek ekonomi tersebut harus sesuai dengam kodrat manusia, dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sehingga pada gilirannya hal-hal berhubungan dengan harta dan hubungan ekonomi terjalin erat dengan berpikir yang bersih, watak, perasaan dan naluri kemanusiaan.
Bertolak dari permasalahan ini, Islam tidak menghendaki adanya kekuasaan satu kelas atas kelas yang lain. Yang jelas kebijakan-kebijakan untuk perombakan sosial ekonomi harus didasarkan pada tujuan mengenai keadilan sosial yang jelas. Sehingga keberpihakan kepada kelas tertindas (mustadh’afin) bukan dalam kerangka meniadakan kelas kapital (mustakbirin), melainkan dalam pengertian merombak struktur-struktur dan mekanisme yang tidak adil, yang telah diciptakan oleh mereka. Hal ini berarti bahwa secara ideologis sistem sosial Islam menciptakan satu mekanisme kerja sama antar kelas. Pada gilirannya yang terjadi dalam mekanisme semacam ini perbedaan-perbedaan kelas, lalu menjadi bersifat fungsional, bukan sebaliknya bersifat kontradiktif
Dengan demikian terlihat bahwa Islam tidak menghendaki adanya kelas-kelas masyarakat yang hanya memusatkan kekayaan di kalangan sekelompok kecil orang kaya. Melainkan oleh Islam melihat keberpihakan terhadap hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya, merupakan sebuah keharusan sosial yang perlu dijunjung dan ditaati bahkan diamalkan bagi setiap orang yang mengakui sebagai makhluk sosial, sesuai dengan kodrat manusia.
Penutup
Berangkat dari uraian-uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Konflik kelas dalam sosial ekonomi, telah berlangsung sejak abad pertengahan, dimana kaum aristokrat (kaum feodal) mendominasi, mengeksploitasi tanah dalam masyarakat Eropah pada saat itu. Kedominasian ini memunculkan satu kelas baru yakni kelas borjuis, stelah terjadinya kebangkitan industri dan perdagangan sebagai akibat konflik antara kaum aristokrat dan kaum buruh (budak yang mengelola tanah) yang muncul pada abad kesepuluh. Pemunculan revolusi Perancis sebagai akibat gerakan pembaharuan, menjadi model bagi berkembangnya konflik-konflik antar kelas, terutama kelas borjuis dan kapitalis di satu sisi dan kelas proletar disisi lain. Dan mencuatnya kelas-kelas dalam masyarakat saat itu, memberikan peluang timbulnya gagasan mengenai hak milik pribadi, penindasan secara kejam atas suatu kelompok terhadap kelompok yang lain semaakin tajam dan bersaing.kesemuanya ini sebagai akibat laju dan berkembangnya industrialisasi, di mana perusahaan-perusahaan besar semakin banyak menjadi bagian-bagian bisnis, sehingga bagian-bagian yang paling mendasar dari kehidupan manusia dicabik-cabik, bahkan semuanya itu di ukur dari ukuran.
2. Islam tidak membenarkan adanya kelas-kelas masyarakat yang hanya memusatkan kekayaan dikalangan sekelompok kecil orang kaya, bahkan Islam di satu sisi melarang kebebasan hak milik perorangan tanpa batas, sementara di sisi lain Islam tidak membenarkan hak milik bersama yang merupakan penyimpangan total dari hak milik dan kebebasan perorangan. Oleh karena itu Islam melihat kekayaan tidak dicari untuk sekedar dikumpulkan melainkan dicari untuk berbakti kepada Allah Swt, sehingga praktek ekonomi Allah dengan sendirinya sesuai dengan kodrat manusia, dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Muhammad. Islamic Economic; Theory and Practice. Terjemahan Potan Arif Harahap dengan judul Ekonomi Islam Teori dan Praktek ( Dasar-Dasar Ekonomi Islam) ; Jakarta : Internusa 1992.
Aron, Raymond. Essai Sur Les Libertes, Terjemahan oleh Rahayu S. Hidayat dengan judul Kebebasan Manusia. Cet. I ; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahanya: Jakarta Yayasan penyelenggara Penterjemah / Penafsiran Alqur’an 1977.
Duvenger , Maurice, Party Politic and Pressure Groups: Terjemahan Laila Hasyim Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan. Cet : II. Jakarta: Bian Aksara, 1989
Elposito, John L. Islamic Transition, Muslim Perspectives. Terjemahan Machnum Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia Masalah-Masalah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Jogjakarta : Kanisius, 1992.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Cet: IV : Bandung : Mizan, 1993.
Al Nadwi, Abul Hasan Ali, Ma Dza Khasira Al-‘Alam bi Inkhitath al-Muslimin. Terjemahan dengan judul Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta : Djambatan, 1988