Menceraikan Istri dalam Keadaan Haid

10 Mei 2009

MEnceraikan Istri dalam Keadaan Haid

H.M. Attamimy

Pendahuluan

Apabila seseorang  berbicara tentang masalah haid, maka hal itu pasti berkaitan dengan perempuan yang  telah mulai beranjak remaja dan dewasa, sebab perempuan yang masih berada di bawah umur (kurang lebih sembilan tahun), dan perempuan yang telah memasuki masa monopouse, tidak ada kaitannya dengan darah haid tersebut.

Dalam  QS. Al-Baqarah (2) : 222 dikatakan bahwa ‘haid itu adalah sesuatu yang kotor ….’ Berdasarkan ayat ini, muncul anggapan bahwa perempuan yang sedang mengami masa haid harus dihindari dan dijauhi. Ada banyak pendapat tentang ini. Imam Syafii mengatakan bahwa pergaulan suami istri dalam keadaan haid tetap saja berjalan seperti biasa kecuali melakukan dukhul (hubungan suami-istri). Ini didasarkan pada pernyataan  yang besumber dari  Umm al-Mu’minin, Aisyah r.a.: له كل شيئ الآ فرجها..[1]

Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Imam Malik bahwa yang harus dihindari adalah antara pusar dan lutut, seperti  yang dikemukakan oleh Umm al-Mu’minin ra. Bahwa Nabi saw. Bersenang-senang dengan istrinya sementara mereka dalam keadaan haid.[2]

Sementara menurut sahabat Ibn ‘Abbas, bahwa yang harus dihindari adalah seluruh badan isteri yang sedang haid, sebab menurut Ibn ‘Abbas bahwa ayat yang ditunjuk di atas,  فَاعْتَزِلٌوا النِّسَاءَ فِى الْمَحِيضadalah bersifat umum dan tidak mengkhususkan sesuatu pun dari tubuh istri.[3]

Terlepas dari pendapat mana yang harus dipegang oleh suami-isteri dalam kehidupan rumah tangga, yang jelas bahwa Allah swt. memerintahkan agar setiap suami istri hendaknya mau menggauli istrinya secara patut. Kemudian apabila suami tidak menyukai lagi istrinya, maka Allah menganjurkan agar hendaklah suami mau bersabar, “karena mungkin sesuatu yang tidak disukai itu, jusrtu Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”.[4]

Walaupun suami disuruh oleh Allah untuk bersabar dalam menyikapi lstrinya, namun hal itu bukan berarti apabila ketidakcocokan yang terjadi di antara keduanya tidak ada lagi jalan keluarnya, jalan keluar yang Allah berikan adalah bercerai/talaq. Sekalipun bercerai itu adalah sesuatu yang tidak disukai oleh Allah,[5] namun dalam melakukan perceraian itu hendaklah dengan cara yang baik, dan harus sesuai dengan aturan yang ada dalam Alquran dan sunnah.

Salah satu yang diatur dalam Islam adalah apakah dimungkinkan menceraikan istri dalam keadaan haid dan Bagaimana hukumnya. Untuk membahas hal ini, berikut akan dikemukakan salah satu hadis Nabi saw. yang menyinggung tentang hal ini. Hadis ini kemudian akan diteliti aspek kualitasnya, baik sanad maupun matannya untuk kemudian setelah itu akan dijelaskan maksudnya yang sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Kualitas Hadis

Hadis dimaksud adalah hadis yang ditakhrij oleh al-Nasai sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ قَالَ سَمِعْتُ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ تَطْلِيقَةً فَانْطَلَقَ عُمَرُ فَأَخْبَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْ عَبْدَ اللَّهِ فَلْيُرَاجِعْهَا فَإِذَا اغْتَسَلَتْ فَلْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَحِيضَ فَإِذَا اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا الْأُخْرَى فَلَا يَمَسَّهَا حَتَّى يُطَلِّقَهَا فَإِنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَهَا فَلْيُمْسِكْهَا فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ[6]

Arti matan hadis :

Sesungguhnya Abdullah ibn Umar menceraikan istrinya yang dalam keadaan haid. Hal kemudian diberitahukan Umar kepada Nabi saw. Maka Nabi saw. Berkata kepada Umar, perintahkan Abdullah untuk merujuknya dan bila telah suci, maka biarkan ia sampai haid, dan bila suci lagi, maka janganlah “disentuh” sampai ia diceraikan, atau tetap dipertahank.an (tidah diceraikan). Demikianlah ‘iddah yang diperintahkan Allah dalam menceraikan istri.

Hadis di atas ditakhrij oleh al-Nasai melaui sanad Muhammad ibn Abd al-A’la ke Mu’tamir ke Ubaidillah ibn Umar ke Nafi’ ke Abdullah ibn Umar lalu ke Nabi saw. Pada dasarnya ada banyak versi mengenai hadis ini baik dari segi sanad maupun redaksi matannya yang tak mungkin dikemukakan keseluruhannya di sini karena ini memang bukan tempatnya. Namun dapat diyakini bahwa hal itu terjadi, terutama perbedaan redaksionalnya, lebih dikarenakan karena dalam meriwayatkan hadis ini para periwayat melakukan periwayatan secara makna, dan ini dalam hadis bukanlah hal yang dapat mengurangi kualitas hadis.[7]

Dengan demikian, Dalam penelitian sanad, periwayat yang akan diteliti secara berurut adalah sebagai berikut: periwayat pertama adalah ‘Abd Allah (Ibn ‘Umar); periwayat kedua adalah Nafi’; Periwayat ketiga adalah ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar; periwayat keempat adalah Mu’tamir; periwayat kelima adalah Muhammad ibn ‘Abd al-A’la; dan periwayat keenam adalah al-Nasa’iy

1. ‘Abd Allah

Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khattab ibn Nufail  al-Qurasy  al‑’Adawiy.[8] Ia masuk Islam bersama ayahnya, dan saat itu ia belum balig, dan ada yang mengatakan ia lebih dahulu memeluk Islam dari ayahnya.  Selain itu ia adalah orang yang terkenal akan kesalehannya. Ia juga termasuk salah seorang dari kelompok. al-abādilah yang alim.[9]

Ibn ‘Umar meriwayatkan hadis-hadis langsung dari Nabi saw.; Umar ibn Khattab (ayahnya); Zaid (pamannya); Hafsah (saudara perempuannya) Abu Bakar al-Siddiq, ‘Usman ibn ‘Affan, Ali ibn Abli Thalib; Zaid ibn Tsabit dan lain-lain. Adapun hadis‑hadisnya, diriwayatkan pula oleb Nafi, Aslam (pembantu ‘Umar), Zaid dan Khalid (keduanya anak Aslam), ‘Urwah ibn Zubair dan lain‑lain.[10]

2. Nafi’  (w. 117 H.)

Nama aslinya adalah Abar Syahar. Ia adalah maula/pembantu ‘Abdullah ibn Umar al-Khattab yang berasal dari Naisaburi, ada juga yang mengatakan ia berasal dari Maghribi (Maroko).[11]

Nafi meriwayatkan hadis‑hadis Nabi saw., bersumber dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar; dalam hal ini Basyar ibn ‘Umar al‑Zahraniy meriwayatkan bahwa Malik ibn Anas pernah berkata bahwa “apabila aku mendapatkan hadis yang datangnya dari Nafi’ yang bersumber dari ‘Abd Allah ibn Umar, maka aku tidak peduli lagi dengan yang lainnya.” [12]

Menurut Imam Ibn Hirasy dan al-Ijliy bahwa Nafi’ adalah seorang yang tsiqah. Sedangkan menurut Imam al-Bukhari Nafi’ adalah seorang yang paling baik sanadnya.[13]

Hadis‑hadis Nafi diriwayatkan juga oleh ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar, ‘Ata’ al‑Khurasaniy, ‘Ata’ ibn Khalid al‑Makhzumiy, Uqail ibn Khalid al-Aily. ‘Ali ibn al-Hakim al‑Bunaniy. dan lain‑lain. [14]

3. Ubaid Allah ibn ‘Umar (w. 145 H)

Nama lengkapnya adalah ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar ibn Hafsah ibn ‘Asim ibn ‘Umar ibn al-Khattab.[15] Hadis‑hadis yang diriwayatkannya bersumber dari Nafi’, ‘Umar ibn Nafi (anak.Nafi’) al‑Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, dan lain‑lain.[16]

Adapun hadis‑hadisnya diriwayatkan pula oleh Mu’tamir, Yahya ibn Abi Zaidah al-Qatthan, Abu Khalid al-Ahmar, ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, Uqbah ibn Khalid al‑Sukuny, Isa ibn Yunus, dan lain‑lain.[17]

Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal bahwa ‘Ubaidillah adalah seorang yang tsabit, kuat hafalannya, serta banyak meriwayatkan hadis‑hadis Nabi saw.[18]

4. Mu’tamir (w. 187 H)

Nama lengkapnya adalah Mu’tamir ibn Sulaiman ibn Tarkhan al‑Taimiy.[19] Hadis‑hadis yang diriwayatkannya bersumber dari Ubaid Allah ibn Umar, Kahmas ibn al-Hasan, Muhammad ibn ‘Umar ibn ‘Alqamah,  Ishaq ibn Suwaid al-Adawiy, dan lain‑lain.[20]

Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan juga oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-A’la, al-Tsauri, Ibnu Mubarak, ‘Abd al-Rahman ibn Mahdiy, ‘Abd al‑Razzaq, ‘Abd Allah ibn Ja’far al-Raqiy, dan lain‑lain.[21]

Menurut Ibnu Sa’ad bahwa Mu’tamir adalah seorang yang Tsiqah, demikian juga dengan pendapat Ibnu Ma’in.[22]

5. Muhammad ibn Abd al-A’la (w. 245 H.)

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn’ Abd al‑A’la al‑San’aniy al-Qaisiy.[23] Hadis‑hadis yang diriwayatkannya berasal dari Mu’tamir, Yazid ibn Zarr, Abu Bakar ibn ‘Iyas; Sufyan ibn ‘Uyainah, Isma’il ibn Aliyah, dan lain‑lain.[24]

Adapun hadis‑hadisnya diriwayatkan pula oleh oleh al-Nasa’iy, al‑Turmuziy, Ibnu Majah, dan lain‑lain. Salian itu Imam Muslim meriwayatkan, hadis darinya sebanyah. 25 buah hadis. Sedangkan Imam al-Nasa’iy berkata bahwa Muhammad ibn ‘Abd al‑A’la adalah seorang yang baik.[25]

6. al‑Nasa’iy

Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Bahr. Nama Nasa’iy yang berada dibelakang namanya tersebut adalah merupakan penisbatan pada kota kelahirannya di Khurasan. Menurut sebagian ulama bahwa dari segi hafalan, Imam al-Nasa’iy lebih unggul dari Imam Muslim. Selain itu, ia adalah seorang yang dikenal dengan kewaraan dan ketaqwaannya.[26]

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa hubungan antara ‘Abd Allah ibn Umar dengan Nafi’ bukan saja hubungan antara guru dan murid, tapi lebih dari itu bahwa Nafi’ adalah maula ‘Abd Allah ibn ‘Umar. Dengan demikian, persambungan sanad antara keduanya sangat erat dan tidak dapat diragukan.

Adapun hubungan dengan ‘Ubaid Allah ibn Umar adalah hubungan guru dan murid. Sebab selain keduanya dimungkinkan untuk bertemu karena selisih umur keduanya memungkinkan, juga karena periwayat (Nafi’) dan yang menerima riwayat (‘Ubaid Allah), di antarai oleh harf “عن” yang memungkinkan terjadi pertemuan. Selain itu tidak ada indikasi penyembunyian informasi (tadlis) yang dilakukan oleh perlwayat tersebut.[27]

Sedangkan ‘Ubaid Allah dengan Mu’tamir, tampaknya terdapat hubungan antara guru dan murid juga. Sebab kata “سمعت”  yang digunakan oleh Mu’tamir, adalah merupakan petunjuk bahwa ia (Mu’tamir) telah mendengar sendiri riwayat hadis tersebut dari ‘Ubaidillah.[28]

Demikian juga halnya antara Mu’tamir dengan Muhammad ibn ‘Abd al‑A’la. Antara keduanya juga terjadi hubungan guru dan murid yang pernah bertemu satu sama lainnya. Sebab metode periwayatan hadis yang digunakan adalah “حدثنا” yang mengindikasikan bahwa ia (Muhammad ibn ‘Abd al‑A’la) mendengar sendiri dari gurunya (Mu’tamir).[29]

Mengenai Muhammad ibn ‘Abd al‑A’la dengan lmam al-Nasa’iy, maka hubungan keduanya adalah antara guru dan murid. Sebab metode “أخبرنا” yang digunakan oleh Imam al-Nasa’iy menunjukkan bahwa gurunya (Muhammad ibn ‘Abd al‑A’la) menyampaikan dengan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat/mukharrij al-Hadis, yaitu al-Nasa’iy.[30]

Dengan adanya persambungan sanad dan dengan adanya ketsiqahan (adil dan dabith)nya para periwayat, serta tidak adanya penyembunyian informasi maka hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasa’iy dari ‘Abd Allah ibn Umar tersebut dapat dikategorikan sebagai hadis yang shahih

Dalam penelitian suatu hadis, terkadang ditemukan sanadnya sahih tapi tidak demikian dengan matannya. Oleh karena itu, walaupun dalam penelitian hadis riwayat al-Nasa’iy ini telah disebutkan sebagai hadis sahih, namun masih diperlukan untuk. mengadakan penelitian terhadap matannya.

Sebagian ulama ahli hadis telah menentukan sahihnya suatu hadis dengan beberapa persyaratan:

1. Hadis itu tidak bertentangan dengan akal.

2. Hadis itu tidak bertentangan dengan hukum, Alquran yang telah muhkam

3. Hadis itu tidak bertentangan dengan hadis yang mutawatir.

4. Hadis itu tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama-ulama salaf yang saleh.

5. Hadis itu tidak bertentangan dengan dalil yang qath’iy.

6. Hadis itu tidak bertentangan dengan hadis ahad yang tingkat kualitas kesahihannya lebih kuat.[31]

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, dari susunan redaksi hadis tersebut tampak tidak bertentangan dengan salah satu dari enam ketentuan di atas. Dari segi akal dapat dipahami bahwa apabila seseorang mentalak isterinya dalam keadaan haid, maka akan mendatangkan mudarat (bahaya) bagi isteri yang diceraikan itu, sebab dengan demikian masa ‘iddahnya akan lebih lama.[32]

Hadis tersebut juga tidak bertentangan dengan QS. 65.1 yang berbunyi:فطلقوهن لعدتهن  dan juga tidak bertentangan dengan hadis‑hadis lainnya. Selain itu seluruh ulama dari semua mazhab telah sepakat bahwa menceraikan isteri dalam keadaan haid haram hukumnya.[33]

Dengan demikian, tidak ada masalah dalam matan hadis ini yang dapat mengurangi kualitasnya, sehingga dapat dikatakan bahwa matan hadis ini juga berkualitas sahih sebagaimana sanadnya. Oleh karena itu tidak dapat dipahami lain kecuali bahwa hadis tersebut adalah berkualitas sahih.

Hukum Menceraikan Istri dalam Keadaan Haid

Asbab wurud al-hadis dari hadis di atas sangat jelas dari redaksinya sendiri, yaitu kasus ‘Abd Allah ibn Umar yang menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Peristiwa ini dilaporkan ‘Umar (bapaknya) kepada Nabi Muhammad saw. Mendengar laporan itu, Nabi saw. tampaknya “marah” dan memerintahkan ‘Abd Allah untuk meruju’ istrinya kembali dan bila telah suci, maka biarkan ia sampai haid, dan bila suci lagi, maka janganlah “disentuh” sampai ia diceraikan, atau tetap dipertahank.an (tidah diceraikan). Demikianlah ‘iddah yang diperintahkan Allah dalam menceraikan istri.

Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa mentalak isti dalam keadaan haid itu adalah suatu perbuatan dosa. Oleh karena itu, untuk dapat terlepas dari dosa tipe ini, caranya hanya dengan merujuk kembali istrinya itu.[34]

Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh menceraikan istri dalam keadaan haid tersebut, kecuali dalam tiga keadaan sebagai berikut:

  1. Jika perceraian terjadi sebelum berkumpul dengan istri. Dalam kondisi seperti ini, maka seorang istri boleh diceraikan dalam keadaan haid. Sebab dalam contoh kasus seperti ini tidak ada ‘iddah bagi istri yang diceraikan itu (Q5. 33:49). Dengan demikian, perceraian tipe ini tidak menyalahi firman Allah: فطلقوهن لعدتهن
  2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, maka seseorang boleh mentalak istrinya jika telah terjadi ketidak-cocokan, dan hal ini tidak menyalahi firman Allah ataupun sunnah Rasul, sebab tidak. ada keterangan dalam Alquran maupun sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada perempuan hamil. Selain iitu bahwa bila seseorang mentalak istrinya dalam keadaan hamil, itu berarti mentalaknya pada saat perempuan tersebut dapat menghadapi masa ‘iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun dalam keadaan suci, karena masa ‘iddahnya adalah dengan kehamilan/setelah melahirkan seperti firman Allah: واولات الأحمال اجلهن ان يضعن حملهن …. . … (QS. 65 : 4). Oleh karena itu, tidak mengapa seseorang mentalak istrinya dalam keadaan hamil, sekalipun setelah ia melakukan dukhul.
  3. Jika talak itu dilakukan atas iwad (penggantian), maka dalam keadaan seperti ini seorang suami boleh menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Keadaan seperti ini pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad saw., yaitu ketika seorang perempuan (Jamilah binti Salul) mengadukan suaminya (Tsabit ibn Qais) tentang ketidak-cocokan di antara mereka berdua, maka Nabi bertanya kepada perempuan tersebut tentang kesanggupannya untuk “mengkhulu” (mengganti apa yang telah diberikan oleh suaminya), dan karena perempuan tersebut menyanggupi, maka Nabi saw. pun mensahkan perceraian mereka berdua.[35] Dalam kasus ini Nabi saw. Tidak mempersoalkan apakah perempuan itu dalam keadaan haid atau tidak. [36]

Menurut Ibn al-Munzir dan Ibn ‘Abd al-Barr, bahwa seseorang yang menceraikan istrinya dalam  keadaan haid, maka talaknya itu tetap sah, walaupun ia tetap berdosa ketika melakukan hal yanq demikian itu, dan talak tipe ini disebut talak bid’ah.[37]

Tanpa mengurangi penghormatan kepada kedua ulama tersebut, namun bila pendapat tersebut dihadapkan dengan hadis Nabi saw. di atas, maka sudah barang tentu orang akan lebih cenderung kepada apa yang telah dicontohkan oleh Nabi saw. sebagai sunnah/hadis tersebut. Apalagi talak seperti itu disebut sebagai talak bid’ah, dan setiap bidah oleh Nabi saw. disebut sebagai dalalah (sesat). Selain itu bahwa apa yang menjadi ketetapan Rasul itu, tidak boleh ada pilihan lain bagi orang‑orang yang beriman kecuali harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. itu (QS. 37:36), apalagi ketetapan Rasul saw. (menurut kesepakatan ulama) dalam bentuk qauliyahnya tersebut,[38] setelah diteliti, ternyata ia berkualitas sahih, baik. dari segi sanad ataupun matannya.

Dalam Sahih Muslim yang disyarahkan oleh Imam al-Nawawi disebutkan bahwa sudah merupakan ijma ulama bahwa haram hukumnya menceraikan istri dalam keadaan haid tanpa ada kerelaan dari istri yang diceraikan itu, dan apabila perceraian itu tetap saja dilangsungkan, maka suami yang menceraikan itu wajib untuk, meruju’ kembali istrinya itu.[39]

Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa menceraikan istri dalam keadaan haid, bukanlah merupakan sesuatu yang haram secara mutlak. Perceraian itu dapat saja berlangsung bilamana keduanya (suami istri) itu tidak dapat lagi melaksanakan hukum‑hukum Allah dengan baik, yang demikian itu tidak ada dosa bagi sang istri asalkan ia rida’ dengan kejadian yang menimpanya itu (Q5. 2:229).

Perceraian itu dapat  saja dilakukan walaupun dalam keadaan haid, apabila persengketaan antara suami istri itu tidak dapat lagi didamaikan oleh Hakam dari kedua belah pihak (QS. 4:35), bahkan agaknya dalam kasus seperti ini, bercerai itu wajib hukumnya.[40] Selain itu, karena perceraian yang dapat diruju’ hanya. dua kali (QS. 2:229), maka dalam kasus talak bain seorang istri dapat saja diceraikan walaupun ia masih berada dalam keadaan haid.

Penutup

Walaupun darah haid itu oleh Allah swt, disebut “kotor”, tapi kekotorannya hanyalah terbatas pada keharaman antara suami istri saja, tidak pada zat darah haid itu sendiri. Sebab selain sebagai suatu kondisi bawaan bagi kebanyakaan perempuan, darah haid juga merupakan makanan yang “steril” bagi calon  bayi yang berada dalam kandungan seorang ibu.

Dalam bergaul dengan seorang istri yang berada Dalam kondisi bawaan (haid.) itu, Islam memberikan petunjuk pelaksanaannya. Seperti tidak diperbolehkan menceraikannya dalam keadaan haid dan melakukan hubungan suami istri, seperti yang disebutkan di atas. Walaupun dalam hal ini (menceraikan istri dalam keadaan haid), para ulama membolehkan, tapi dengan beberapa syarat tertentu. Dengan demikian, pelarangan menceraikan istri dalam keadaan haid, tidak berlaku secara mutlak bagi setiap istri yang berada dalam keadaan tersebut, tapi tergantung pada kondisi yang ada dan masalah yang muncul pada saat itu.

Hadis di atas setelah diteliti dari segi sanadnya, teryata memiliki kalitas sahih. Penilaian ini didasarkan atas adanya indikasi bahwa seluruh Periwayatnya adalah siqah walaupun hadis tersebut diriwayatkan secara maknawi, namun dari segi matannya juga memiliki kualitas sahih, karena tidak ada indikasi ia bertentangan dengan syarat-syarat kesahihan suatu hadis.


Daftar Pustaka

Abd al-Aziz, Amir. Tafsir Surat al-Baqarah Beirut: Dar al-Furqan, 1985

al-Asqallaniy, Syihab al-Din ibn al-Fadhl Ahmad ibn Hajar. Tahzib  al-Tahzib, juz V  Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993

al-Azadiy, Al-Imam Abu Da ud Sulaiman bin Àsy’as al-Sijistaniy. Sunan Abi Daud, jilid II,  Suriah: Dar al-Hadis, 1970

Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Ibn Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Juz V  Cet. I: Bairut-Libanon: Darul Kitab Ilmiyah, 1412H/1992M

al-Darimiy, Al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Fadhl ibn Bahram ibn Abd al-Samad al-Tamimiy al-Samarqandiy. Sunan al-Darimiy, Juz II  Beirut: Dar al-Fikr, 1978

Fathurrahman, Mustalahul Hadis Bandung: al-Ma’arif, 1995

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh Jakarta: Logos Publishing House, 1997

Ismail, M. Syuhudi Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya  Jakarta: Gema Insani Press, 1995

———–, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: Bulan Bintang, 1992

———–. Kaedah  Kesahihan Sanad Hadis Jakarta: Bulan Bintang,  1995

Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Diterjemahkan oleh H. Endang Soetari dan Mujiyo dengan judul Ulum Al-Hadis I Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995

al-Jaziriy, Izz al-Din ibn al-Atsir Abu Hasan Ali ibn Muhammad. Usud al-Ghabat fi Ma’rifat al-Shahabah, Juz III  Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

al-Khatib, Muhammad Ajjaj. al-Sunnat Qabl al-Tadwin Kairo: Maktabat Wahbah, 1963

al-Mizziy, al-Hafiz Jamal al-Din al-Hajja Yusuf.  Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, Juz XIX  Beirut: Dar al-Fikr, 1994

al-Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Khamsah. Diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul Fiqh Lima Mazhab Jakarta: Bulan Bintang, 1992

al-Nawawiy, Al-Imam. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy Beirut: Dar al-Fikr, 1978

al-Shabuniy,  Ali.  Rawai’ al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, Juz I  Mekah: tp., tth.

al-Suyuthiy, Al-Hafiz Jalal al-Din. Syarh Sunan al-Nasa’iy Beirut:  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

al-Tahhan, Mahmud. Taysir Mushttalah al-Hadis. Diterjemahkan oleh Zainul Muttaqin dengan judul Ulumul Hadis Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997

al-Usaimin, Syekh Muhammad ibn Shalih. Fi al-Dima’  al-Tabi’iyah li al-Nisa’. Diterjemahkan oleh Muhammad Yusuf Harun dengan Judul Darah Kebiasaan Perempuan Jakarta: Akafa Press, 1997

Umaniy, Ayatullah Sayyid Kamal Faqih. A Bundle of Flowers from The Garden of Traditions of The Prophet and Ahl al-Bayt Isfahan: Amirul Mu’mineen Ali (as) Library, 1997

Wensick, A.J.. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi, Juz IV  Leiden: E.J. Brill, 1967


[1] Muhammad Ali al-Shabuniy,  Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, Juz I (Mekah: tp., tth.), h. 229

[2] Ibid, h. 298

[3] Ibid.

[4] QS. al-Nisa’ (4) : 19

[5] Ayatullah Sayyid Kamal Faqih Umaniy, A Bundle of Flowers from The Garden of Traditions of The Prophet and Ahl al-Bayt (Isfahan: Amirul Mu’mineen Ali (as) Library, 1997),  h. 150

[6] Imam Al-Nasa’iy, Sunan al-Nasa’iy, (Beirut: Dar al- Fikr, t.th), h.

[7] Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnat Qabl al-Tadwin (Kairo: Maktabat Wahbah, 1963),  h. 132

[8] Syihab al-Din ibn al-Fadhl Ahmad ibn Hajar al-Asqallaniy, Tahzib  al-Tahzib, juz V (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 293

[9] Izz al-Din ibn al-Atsir Abu Hasan Ali ibn Muhammad al-Jaziriy, Usud al-Ghabat fi Ma’rifat al-Shahabah, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 237. Lihat Juga Mahmud al-Tahhan, Taysir Mushttalah al-Hadis. Diterjemahkan oleh Zainul Muttaqin dengan judul Ulumul Hadis (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 233

[10] Ibnu Hajar a l-Asqallaniy, op. cit., h. 292

[11] al-Hafiz Jamal al-Din al-Hajja Yusuf  al-Mizziy, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rِijal, Juz XIX (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 32

[12] ibid., h. 35

[13] ibid., h. 36

[14] ibid., h. 34

[15] Ibnu Hajar al-Asqallaniy, op. cit., Juz VII, h. 34

[16] ibid., h. 35

[17] Ibid.

[18] Jamal al-Din al-Mizziy, op. cit., Juz XII, h. 248-249

[19] Ibnu Hajar al-Asqallaniy, op.  cit., Juz X h. 205

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Ibid., h. 206

[23] Ibnu Hajar a l-Asqallaniy, op. cit., Juz IX, h. 257

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Fathurrahman, Mustalahul Hadis (Bandung: al-Ma’arif, 1995), h. 334

[27] M. Syuhudi Ismail, Kaedah  Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,  1995), h. 70

[28] Ibid., h. 60

[29] Nur al-Din Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Diterjemahkan oleh H. Endang Soetari dan Mujiyo dengan judul Ulum Al-Hadis I (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 209

[30] M. Syuhudi Ismail, loc. cit.

[31] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 79

[32] Syekh Muhammad ibn Shalih al-Usaimin, Fi al-Dima’  al-Tabi’iyah li al-Nisa’. Diterjemahkan oleh Muhammad Yusuf Harun dengan Judul Darah Kebiasaan Perempuan (Jakarta: Akafa Press, 1997), h. 34

[33] Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Khamsah. Diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 168

[34] Muhammad ibn Shalih al-Usaimin, op. cit., h. 36

[35] Amir Abd al-Aziz, Tafsir Surat al-Baqarah (Beirut: Dar al-Furqan, 1985), h. 403; lihat juga Muhammad Ali al-Shabuniy, op.  cit., h. 326 – 327

[36] Ibid., h. 18 – 20 dan 36 – 37

[37] Muhammad Jawad al-Mughniyah, op. cit., h. 167

[38] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Publishing House, 1997), h.47

[39] Al-Imam al- Nawawiy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 60

[40] Ibid., h. 61