Islam Tanpa Kekerasan

10 Mei 2009

Islam tanpa Kekerasan

Oleh : Rajab

Pendahuluan

Pasca tragedi 911 (11 September 2001), serangan bom yang meruntuhkan gedung kembar WTC sebagai bagian dari supremasi ekonomi dunia serta Gedung Pertahanan Pentagon di Amerika Serikat, juga bom di Legian Kuta Bali, hotel JW. Marriot dan pemboman lain telah mengundang sedih dan pilu mendalam. Pasca tragedi 911 perbincangan mengenai terorisme menjadi begitu hangat sehingga negara adidaya Amerika Serikat dan sekutunya menyeluarkan travel warning kepada rakyatnya untuk tetap berhati-hati atau melarang mengunjungi negara-negara yang berpotensi mengancam keselamatan jiwa warganya.

Jaringan Al-Qaedah pimpinan Usamah bin Laden dijadikan ‘terdakwa’ yang harus bertanggung jawab di balik tragedi kemanusiaan yang maha kejam itu dan dinyatakan ‘terlarang’. Hal yang sama dialami jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Kedua organisasi ini ditengarai sebagai teroris internasional sekalipun keduanya organisasi ini dan keterlibatannya dalam tragedi belum dapat dibuktikan secara yuridis melalui mahkamah internasional.

Di pihak lain, tuduhan  itu terhadap al-Qaedah dan JI oleh sebagian orang  dianggap sebagai upaya mendiskreditkan Islam dan umat Islam. JI misalnya dianggap sebagai jaringan dituduh bertanggung jawab terhadap sejumlah pemboman di Asia Tenggara sekalipun pembuktiannya masih harus terus dibuktikan dan ini masih sulit untuk dipercayai apakah betul ada jaringan tersebut atau memang sengaja dibesar-besarkan hanya untuk memojokkan Islam dan Kaum muslimin.[1]

Dalam skala nasional, pasca serangan hotel JW Marriot lalu polri secara gegabah menuduh JI berada dibalik serangan itu. Bahkan hampir setiap ada pemboman di Jakarta yang dikambinghitamkan adalah JI. Kelatahan tuduhan itu akhirnya menuai protes dari organisasi-organisasi Islam dan mereka menghimbau pada polri agar lebih arif dalam menyampaikan informasi terlebih dahulu.

Wacana terorisme dalam Islam menjadi lebih hangat lagi belakangan ini, menyusul adanya pengakuan pelaku pengeboman Bali II bahwa yang mereka lakukan adalah jihad. Dalam rekaman VCD, para pelaku menyatakan alasan mengapa mereka melakukan bom bunuh diri, bahwa mereka akan masuk surga dengan melakukan aksi yang mereka sebut sebagai jihad.

Bertolak dari latar di atas, dan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap Islam dan kaum muslimin, menarik untuk diteliti bagaimanakah Islam memandang kekerasan? Betulkah Islam meligitimasi bentuk kekerasan langsung terhadap pelaku kejahatan dan ketidakadilan?

Islam dan Kekerasan

Boleh jadi semua orang sepakat bahwa tidak ada satupun ajaran agama di dunia ini yang memotivasi umatnya agar supaya melakukan kekerasan (merugikan orang lain) termasuk Islam. Islam merupakan rahmatan lil alamin dan juga merupakan  agama yang cinta damai. Ajaran universal menganjurkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan serta kesalahan-kesalahan fatal yang merugikan orang lain.

Namun, mengapa tragedi 911, bom Bali I (bom legian), bom Marriot, bom Bali II dan pengeboman bunuh diri lainnya yang mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak sedikit justru melibatkan orang-orang yang mengaku muslim taat dan tindakan mereka itu diakui sebagai berdasar pada ajaran Islam? Tindakan itu adalah jihad untuk membela kepentingan umat Islam dan melindunginya dari ketidakadilan yang dilakukan oleh negara-negara Barat, Amerika dan sekutunya terhadap Islam. Sebagian lagi berpendapat bahwa hal itu dilakukan sebagai balasan terhadap apa yang mereka lakukan kepaa umat Islam di Palestina, Irak, Afganistan dan negara-negara berpenduduk muslim lainnya yang kini mereka kuasai.

Tidak pelak, sejumlah ulama menolak pernyataan sesat dan menyesatkan itu. Terorisme bukanlah jihad atau jihad bukanlah terorisme, dan Islam menentang terorisme. Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma’aruf Amin menegaskan, terorisme dan bunuh diri merupakan tindakan yang diharamkan oleh Islam dan tindakan serangan dengan cara bunuh diri yang dilakukan di Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai jihad. “Apa yang dilakukan di Indonesia adalah terorisme dan bunuh diri… bunuh diri itu haram,” katanya.[2] Ma’aruf mengungkapkan, MUI sebelumnya telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perbuatan terorisme, yaitu pada akhir tahun 2003. Ia menekankan, Indonesia bukanlah wilayah perang, melainkan daerah aman, damai dan wilayah dakwah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mendapat serangan bom bunuh diri. “Sasaran pemboman bunuh diri juga tidak jelas, karena korbannya bukan pihak-pihak yang dianggap musuh, melainkan orang-orang yang tidak berdosa.” Ujarnya.[3]

Mayoritas ulama berpendapat bahwa pelaku aksi-aksi bom bunuh diri telah melakukan dua kesalahan sekaligus, yakni kesalahan intelekstual dan kesalahan sosial.[4] Kesalahan intelektual yang dilakukan adalah kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat qital yang tersurat dalam Alquran dan hadis. Qital dipahami sebagai kebolehan untuk membunuh kepada orang lain yang dianggap tidak sepaham, baik secara perorangan maupun kelembagaan. Sdangkan keslaahn sosial adalah penggunaan media perjuangan yang kurang tepat, yakni bom bunuh diri yang tidak saja membunuh dirinya sendiri tetapi juga membunuh sejumlah orang tak berdosa.[5]

Perancuan makna jihad adalah salah satu dampak aksi-aksi terorisme yang marak belakangan ini. Sejumlah orang dan negara-negara Barat lantas menimpakan kesalahan pada Islam yang mengandung ajaran jihad hanya kerana para pelaku teror menyatakan apa yang mereka lakukan adalah jihad. Tampaknya, mayoritas umat Islam termasuk para ulama sepakat, pengeboman Bali dan kasus bom-bom lain di tanah air bukanlah jihad, melainkan terorisme murni. Para pelaku teror itu pun menjadi musuh umat Islam, karena yang mereka lakukan justru merusak citra Islam, mengaburkan konsep jihad, bahkan mendorong berbagai kalangan untuk mengobok-obok kalangan pesantren hanya karena para pelaku pernah singgah di pesantren. [6]

Ditambah lagi dengan isu akan adanya pelarangan buku-buku Islam, terutama buku-buku karya para ulama pendiri dan aktivis gerakan Islam seperti Hassan Al-Banna. Di sejumlah negara Arab, kekuatan asing itu bahkan menekan para ulama dan pendidik untuk mengubah (baca: mensekulerkan) kurikulum pendidikan. Simak saja ungkapan anggota Mujamma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga Penelitian Islam), Mushtafa Syak’ah, bahwa propaganda Amerika Serikat (AS) untuk men-sekuler-kan perguruan Al-Azhar Mesir sekarang telah sampai pada puncaknya, setelah adanya tuntutan Duta Besar Amerika yang baru, Richard Rodney, agar mensosialisasikan pelajaran ilmu perbandingan agama untuk seluruh ma’had di bawah Al-Azhar di ketiga tingkatannya, dan memasukkan beberapa perubahan mendasar atas kurikulum-kurikulumnya. “Sebagai imbalannya, bila memenuhi tuntutan tersebut, al-Azhar akan mendapatan bonus sebesar 150 juta dolar,” katanya.[7].

Kian jelas, ulah para teroris itu berdampak pada munculnya aksi-aksi penekanan terhadap aktivitas syiar dakwah Islamiyah. Wajar jika berkembang analisis yang sangat kuat dalihnya, bahwa para teroris itu hanyalah pion-pion Amerika dan sekutunya untuk merusak citra Islam dari dalam, menjadi “tim pembuka pintu” bagi masuknya gerakan peredaman syi’ar Islam dan membungkam kekuatan Islam. Dalam istilah mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) yang juga pakar intelijen, AC. Manullang, di belakang isu dan aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam itu adalah neokolonialisme dan neokapitalisme yang notabene dimotori oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Mereka sukses membentuk opini masyarakat dunia tentang radikalisme Islam. “Neokolonialis dan neokapitalisme itu terlalu sukses membentuk opini masyarakat dunia bahwa isu Islam dan radikalisme identik dengan Islam,” katanya.[8]

Isu terorisme merupakan propaganda secara besar-besaran untuk menyudutkan dan memfitnah kelompok-kelompok tertentu bahkan penganut agama tertentu.. Jihad berbeda dengan terorisme karena jihad menurut Islam adalah upaya sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah, yang didalamnya ada perintah qital (berperang) melawan orang-orang yang memerangi Islam dan kaum Muslimin dan tentunya jihad ada aturannya.

Terlepas dari itu semua, sebuah pertanyaan yang perlu mendapat jawaban adalah betulkah tidak ada peluang dalam Islam untuk menjustifikasi aksi-aksi kekerasan semacam itu? Untuk itu, perlu disimak komentar Abdullahi Ahmed An-Naim berikut. Menurut An-Naim, ada sejumlah ayat dalam Alquran dan hadis Nabi serta contoh contoh paktik ulama awal dapat ditafsirkan menciptakan hak, kalau bukan kewajiban, bagi kaum muslimin untuk menggunakan kekuatan membangun pemerintahan Islam yang murni dan asli.[9]

Sebagai contoh, firman Allah dalam QS. al-Nisa (4) : 75 yang sering dikutip Imam Khomaini dan para pemimpin Iran lainnya ketika terjadi revolusi Islam Iran dan perang Iran-Irak, sebagai berikut :

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا(75)

Terjemahnya:

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.[10]

Demikian halnya dengan QS. Al-Anfal (8) : 60 :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ ِتُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ(60)

Terjemahnya:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).[11]

Ayat ini tak jarang ditafsirkan sebagai perintah kepada kaum muslimin untuk mempersiapkan segala hal yang memungkin untuk dapat membuat musuh-musuh mereka merasa gentar, termasuk di dalamnya menebarkan teror terhadap mereka yang dianggap memusuhi kaum muslimin. Melalui ayat ini pula terorisme diidentikkan dengan al-Irhab.

Adapun hadis Nabi yang dianggap membenarkan tindakan langsung terhadap untuk mencegah ketidakadilan adalah sabda Rasulullah saw. sebagai berikut:

حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ … سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ[12]

Artinya :

Hadis Abu Said r.a: … saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:  siapa di antara kamu melihat suatu pelanggaran (ketidakadilan), maka dia harus mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, dia harus melakukannya degan mulutnya. Kemudian kalau tidak mampu juga, dia harus mengubahnya dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.

Amar ma‘ruf dan nahi munkar merupakan dua istilah yang dalam teks-teks keagamaan, selalu disebutkan bersamaan dan beriringan. Amar ma‘ruf biasanya dipahami sebagai anjuran kepada kebaikan dan nahi munkar adalah pencegahan dari kemungkaran. Baik Alquran maupun hadis selau menggunakan kata ‘al-ma’ruf’ (dikenal) dan bukannya kata lain seperti ‘al-khayr’ (kebaikan) atau al-ma’mur (yang dianjurkan/ diperintahkan) untuk hal-hal yang dianjurkan, serta  menggunakan kata ‘al-munkar’ (yang diingkari) dan bukannya ‘al-syarr’ atau ‘al-fujur’ (kejahatan) atau ‘al-manhiy’ (yang dilarang) untuk hal-hal yang seharusnya dicegah. Hal ini menunjukkan bahwa yang diperintahkan oleh agama untuk dianjurkan bukanlah sesuatu yang dianggap baik saja, tetapi kebaikan itu harus pula ‘ma’ruf’, yaitu dikenal atau dipahami betul kebaikan yang terkandung di dalamnya, baik oleh orang yang menganjurkan maupun yang dianjurkan. Demikian halnya dengan yang harus dilarang atau dicegah dalam agama bukan hanya yang dianggap jahat saja, tetapi kejahatan yang munkar, yaitu yang diingkari atau ditolak, baik oleh orang yang mencegah maupun yang dicegah. Tidak boleh seseorang hanya karena klaimnya atas sesuatu bahwa itu baik, lalu kemudian dianjurkan apalagi dipaksakan kepada orang lain, atau hanya karena sesuatu itu diklaim sebagai jahat lalu dilarang kepada orang lain. Untuk menghindari adanya klaim-klaim seperti di atas, maka parameter yang digunakan untuk mengetahui sesuatu ma’ruf atau munkar adalah ajaran-ajaran agama yang sifat kebenarannya telah disepakati bersama.

Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut? Alquran dalam QS. al-Nahl (16) : 125 menyatakan:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ(125)

Terjemahnya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[13]

Perintah menyeru yang tidak ditentukan siapa yang diperintahkan dalam ayat ini menunjukkan bahwa tugas menyeru kepada kebaikan atau berdakwa itu adalah tugas bersama setiap umat Islam. Tugas dakwah tidak boleh hanya dibebankan kepada para da’i dan penceramah. Tugas itu adalah tugas bersama sesuai dengan kedudukan dan kapasitas kita di tengah-tengah umat. Yang penting dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara yang bijaksana.

Demikian halnya dengan tugas mencegah dari perbuatan munkar adalah tugas bersama juga. Hadis menyatakan bahwa yang bertanggung jawab untuk nahi munkar adalah setiap umat Islam. Tugas nahi munkar tidak boleh dibebankan pada atau diklaim oleh satu orang atau kelompok tertentu saja, melainkan harus menjadi tugas setiap umat. Sedangkan pelaksanaannya dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu pencegahan melalui tangan, pencegahan melalui lidah, dan pencegahan melalui hati. Pencegahan melalui tangan dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan untuk mencegah terjadinya kemungkaran itu; pencegahan dengan lidah dilakukan oleh orang yang mengetahui terjadinya suatu kemungkaran, tetapi tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan untuk mencegahnya; sedangkan pencegahan dengan hati dilakukan oleh orang tidak dapat menggunakan lidah dan tangannya untuk mencegah terjadinya suatu perbuatan munkar. Dan ini adalah tingkatan iman yang paling lemah. Ini menunjukkan bahwa perkara jika suatu kemungkaran atau kebathilan terjadi, maka semua umat Islam di sekitarnya wajib untuk mencegahnya, baik melalui tangan, lidah maupun dengan hati.

Sejumlah ayat lain dalam Alquran memerintahkan umat Islam memperjuangkan keadilan karena Allah dan memerangi ketidakadilan dan kejahatan yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran terhadap aksi-aksi kekerasan langsung. Tetapi menurut Abdullahi Ahmed An-Naim, penafsiran yang cerdas terhadap sumber-sumber di atas, akan menunjukkan bahwa sumber-sumber tersebut tidak perlu membenarkan tindakan kekerasan langsung. Sumber-sumber itu sekarang harus ditafsirkan mengindikasikan aksi non kekerasan yang sesuai dengan aturan hukum. Namun  harus pula diakui bahwa sumber-sumber tersebut terbuka untuk dan telah ditafsirkan di masa lalu sebagai pembenaran terhadap aksi kekerasan langsung.[14]

Lebih jauh An-Naim mengatakan bahwa potensi penyalahgunaaan sumber-sumber Islam dari konteks historisnya yang tepat hanya  bisa dihilangkan melalui prinsip-prinsip penafsiran berikut :

Keberadaan sumber-sumber Alquran  dan sunnah Nabi dalam mendukung tindakan yang langsung dan keras serta penggunaan sumber-sumber tersebut secara historis untuk mengesahkan tindakan tadi dalam sejarah Islam awal di luar perdebatan. Oleh karena itu, harus ditetapkan, sebagai prinsip bangunan yang fundamental, bahwa meskipun penafsiran terhadap sumber-sumber tersebut, dan otoritas yang diberikan untuk melakukan tindakan kekerasan secara langsung di masa lalu, mungkin dapat dibenarkan dalam konteks sejarah yang lalu, tetapi penafsiran itu tidak lagi sah dan otoritas seperti itu tidak dapat diterima lagi. Adanya kelemahan dari pemerintahan berdasarkan hukum dulunya dalam konteks domestik dan ketiadaanya yang hampir total dalam hubungan-hubungan internasional, maka wajar bagi para ahli hukum perintis untuk menafsirkan sumber-sumber tersebut seagai pembenaran membela dan aksi kekerasan langsung. Penafsiran seperti itu tidak dapat diterima lagi karena semakin kuatnya kekuasaan berdasarkan hukum (rule of law) baik dalam lapangan domestik maupun internasional.[15]

Umat Islam boleh jadi merasa terancam oleh gangguan sekularisme dan materialisme dan mungkin memiliki kepedulian yang serius terhadap pengaruh kultural dan intelektual yang tidak Islami yang umumnya berasal dari negara-negara Barat. Tetapi sepanjang ancaman dan pengaruh ini tidak bersifat kekerasan, maka terserah kepada umat Islam untuk merespons asalkan tetap dengan cara tanpa kekerasan.[16]

Demikian halnya dengan tindakan negara-negara Barat yang menguasai negara-negara muslim seperti Irak, Afganistan, Palestina dan mendikte negara negara muslim lainnya tidak harus dilawan dengan aksi pengecut seperti serangan bom bunuh diri dan perusakan terhadap aset-aset Barat di negara-negara lain. Sebab, selain bunuh diri itu sendiri dilarang oleh agama, serangan itu tidak dilakukan di wilayah perang dan menimbulkan korban yang tidak terlibat langsung dalam konflik, termasuk dari kalangan umat Islam sendiri.

Diplomasi dan perundingan tanpa kekerasan lainnya harusnya selalu dikedepankan setiap kali umat Islam menghadapi masalah. Selain itu, persatuan di antara sesama muslim harus selalu dibina dan dipelihara, sebab jika umat ini dapat bersatu, maka kekuatan apapun tak akan pernah dapat mengalahkannya.

Penutup

Dari uraian di atas, tampak bahwa dalam ajaran Islam ditemukan peluang-peluang untuk menjastifikasi dan melakukan tindakan langsung terhadap aksi-aksi kejahatan.  Jihad dan konsep amar ma’ruf nahi mungkar merupakan yang paling sering dikemukakan. Hanya saja, penafsiran yang cerdas terhadap dalil-dalil yang menjadi argumen tindakan langsung tersebut, serta melihat perkembangan modern saat ini, tampaknya aksi-aksi non kekerasan dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku harus lebih dikedepankan dan menghindari aksi-aksi kekerasan.


Daftar pustaka

Abdul Murad, Sarbini. “Terorisme dan Keadilan Global (sebuah Catatan Kilas Balik)”, dalam Mer-C Rubrik, Jakarta: 9 September 2005

Imam Yahya, “Klarifikasi Akademik antara Qital dan Jihad, dalam Swara Cendikia. No. 5 Th. I. November 2005

an-Naim, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation. Diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani dengan judul Dekonstruksi Syariah. Jogjakarta: LkiS, 1994

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Medinah Munawwwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, 1426H

al-Naisaburiy, Imam Muslim bin Al-Hajjaj. Shahih Muslim dalam CD al-Hadis al-Syarif

Romli, ASM. “Jihad Kontra Terorisme”, dalam Eramuslim, 30/11/2005


[1] Sarbini Abdul Murad, “Terorisme dan Keadilan Global (sebuah Catatan Kilas Balik)”, dalam Mer-C Rubrik, Jakarta: 9 September 2005.

[2] ASM Romli, “Jihad Kontra Terorisme”, dalam Eramuslim, 30/11/2005.

[3] Ibid.

[4] Imam Yahya, “Klarifikasi Akademik antara Qital dan Jihad,” dalam Swara Cendikia. No. 5 Th. I. November 2005, h. 1

[5] Ibid.

[6] ASM Romli, loc. cit.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Abdullahi Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation. Diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani dengan judul Dekonstruksi Syariah (Jogjakarta: LkiS, 1994), h. 292

[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Medinah Munawwwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, 1426H), h. 131

[11] Ibid., h. 271

[12] Imam Muslim bin Al-Hajjaj al-Naisaburiy, Shahih Muslim dalam CD al-Hadis al-Syarif, hadis nomor 70

[13] Departemen Agama RI, op. cit., h. 421

[14] Abdullahi Ahmed An-Naim, op. cit., h. 297

[15] Ibid., h. 297-298

[16] Ibid.