Memahami Kalimat Perintah dan Larangan dalam Teks Hukum Islam

Memahami Kalimat Perintah dan Larangan

dalam Teks Hukum Islam

Oleh : Maimunah Toatubun

Pendahuluan

Hukum Islam bersifat universal. Artinya, hukum Islam adalah hukum yang menyeluruh dan dapat diterima seluruh ummat Islam sebagai aqidah. Hukum Islam juga mengandung dan menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia.[1] Titik tolak atau sumber utamanya adalah Alquran dan Hadis, yang karena keduanya adalah teks yang menggunakan bahasa Arab, maka dalam memahami kedua nash tersebut dibutuhkan suatu seperangkat ilmu bantu, antara lain bahasa Arab dan metodologi hukum Islam yang disebut Ushul al-Fiqhi.[2]

Dalam teks Alquran dan hadis ditemukan lafal-lafal yang tegas dan lafal-lafal yang mengandung pengertian yang belum tegas dan ada kata-kata yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak).  Dan ada pula yang mujmal[3].  Kondisi seperti inilah yang membuat para ulama harus menelaah secara intensif sebelum menetapkan kaidah hukum.

Dalam ilmu ushul fiqhi, definisi hukum adalah firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang berupa tuntutan untuk melakukan sesuatu yang berarti perintah yang wajib dikerjakan, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau ketetapan hukum yang berupa mubah yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satu menjadi sebab atau syarat atau rintangan terhadap yang lain.[4]

Jelas bahwa kesemuanya itu dimaksudkan sebagai perwujudan khitab Allah yang terdapat dalam Alquran dan an-Sunnah.  Dan dalam hal ini ulama ushul berhasil mengangkat hukum-hukum yang terkandung dalam kedua sumber tersebut.  Usaha-usaha yang mereka lakukan diantaranya yaitu membuat kaidah-kaidah ushul dengan tujuan agar mudah dipahami, sehingga hukum Allah itu dapat terlaksana.

Di kalangan para ulama ushul, hukum adakalanya bersangkutan dengan perbuatan mukallaf yang merupakan tuntutan untuk melakukan sesuatu yang dikenal dengan istilah al-Amr, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu yang dikenal dengan istilah al-Nahyu. Baik perintah (al-Amr) ataupun larangan (al-Nahyu). Masing-masing mempunyai konsekuensi, seperti janji pahala atau ancaman hukuman di akhirat. Perintah dan larangan di dalamnya selalu menawarkan balasan berupa surga dan neraka.[5]

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui hakikat dan maksud dari setiap perintah maupun larangan dalam teks-teks Alquran maupun hadis Nabi saw.

Hakekat Perintah dan Larangan

A.  Al-Amr

Pengerian al-Amr secara bahasa berarti menuntut untuk mengerjakan sesuatu atau membuatnya.[6] Adapun menurut istilah berarti suatu lafal yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya untuk melakukan suatu perbuatan.[7]

Dari  pengertian di atas dapat dipahami bahwa al-Amr bisa diartikan sebagai perintah dari atas ke bawah untuk menuntut suatu perbuatan untuk dilaksanakan.

Lafal al-Amr adalah lafal yang menunjukkan pengertian wajib selama al-Amr itu berada dalam kemutlakannya.[8] Selama tidak ada dalil atau qarinah lain yang memberi implikasi arti lain, hal ini sesuai dengan kaedah :

الأصـل في الأمر الوجـوب.[9]

Lafal al-Amr itu, bila di dalamnya terkandung qarinah lain mengalihkan arti makna haqiqi kepada makna lain, maka hukum yang terkandung dalam shigat al-Amr bisa berubah menjadi : al-nadb, al-irsyad, al-do’a, al-iltimas, al-tamanni, al-takhyir, al-tausiyah, al-ta’jiz, al-tahdid dan al-ibahah.[10]

Untuk mengetahui secara lengkap tentang siyagh al-Amr baik dari segi shigat maupun kandungannya, maka penulis akan menampilkan sebagai berikut:

a.  Dilihat dari segi bentuknya

Dilihat dari segi bentuknya, maka shiyagh al-Amr dapat dibagi empat[11] yakni :

1.  Fi’il Amr

Siyagh al-Amr yang menggunakan fi’il amr, seperti firman Allah, QS. Al-Baqarah (2), 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Terjemahnya :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku”.[12]

Lafal َأَقِيمُو  dan ءَاتُو dalam ayat tersebut berbentuk fi’il amr dari fi’il madhi أقام dan أتي.

2. Fi’il mudhari’ yang dimasuki lam al-Amr, seperti firman Allah, QS. Al-Imran (4): 104 :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ…

Terjemahnya :

“Dan hendaklah ada diantara kemu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan…”[13]

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa lafal   وَلْتَكُنْ adalah fi’il mudhari yang dimasuki lam al-Amr.

3.  Isim mashdar sebagai pengganti dari fi’il al-Amr

Lafal mashdar yang bermakna sebagai al-amr, seperti firman Allah, QS. Al-Isra’ (15):23:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا…

Terjemahnya :

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…”[14]

Lafal إِحْسَانًا pada ayat di atas adalah bentuk mashdar dari kata احسن- يحسن yang berarti berbuat baiklah.

4.  Isim fi’il al-Amr

Maksudnya adalah lafal yang berbentuk isim, namun diartikan dengan fi’il, misalnya :

حي علي الصلاة, حي علي الفلاح.[15]

b. Dilihat dari segi kandungan al-Amr yang dikehendaki

TM. Hasbi ash-Shiddieqy merinci kandungan shiyagh al-Amr ke dalam 15 bentuk antara lain :[16]

1.  Untuk nadb (menganjurkan), seperti firman Allah Swt QS. Al-Nur (24):33 :

… فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا…

Terjemahnya :

“…Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka …”[17]

2.  Untuk irsyad (petunjuk), seperti firman Allah Swt QS. Al-Baqarah (2): 281:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ…

Terjemahnya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar…[18]

3.  Untuk ibahah (kebolehan), seperti firman Allah Swt, QS. Al-Baqarah (2): 187:

… َكُلُوا وَاشْرَبُوا…

Terjemahnya :

“…Makanlah kamu dan minumlah kamu…”[19]

4. Untuk tahdid (ancaman), seperti dalam QS. Fushshilat (41):40:

…اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ…

Terjemahnya :

“…Perbuatlah apa yang kamu kehendaki…”[20]

5.  Untuk takrim (mempersilahkan) seperti firman Allah QS. Al-Hijr (14):46:

ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ءَامِنِينَ

Terjemahnya :

“Masuklah ke dalam surga dengan aman sentosa”[21]

6. Untuk ta’jiz (melemahkan), seperti dalam QS. Al-Baqarah (1):23:

…فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ…

Terjemahnya :

“…Maka datangkanlah satu surat yang sepetinya…”[22]

7.  Untuk takzib (mendustakan), seperti dalam QS. Al-Baqarah (1): 111:

…قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Terjemahnya :

“…Katakanlah tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”[23]

8.  Untuk doa (permohonan), seperti dalam QS. Al-Baqarah (2): 201:

رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Terjemahnya :

“ Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”[24]

c. Pelaksanaan al-Amr

Sehubungan dengan pelaksanaan al-Amr ini, maka ada tiga hal yang penulis akan kemukakan yakni :

1. al-Amr tidak menghendaki pengulangan dan tidak pula menunjukkan atas kewajiban mengerjakan seketika.[25] Jadi apabila sudah dikerjakan, berarti sudah memenuhi perintah Allah Swt, seperti firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 196.  kewajiban haji atau umrah hanya sekali seumur hidup.  Sesungguhnya kata al-Amr sendiri tidak menyatakan sekali atau berulang-ulang, hanya karena sekali itu adalah suatu perbuatan yang dituntut.

2.  al-Amr menghendaki pengulangan ( يقتضي التكرار)

Jumhur ulama berpendapat, bahwa adanya pengulangan atau tidak adanya pengulangan tergantung kepada qarinah yang berlaku pada siyagh al-Amr.  A. Hanafi menegaskan bahwa qarinah tersebut meliputi illat, sifat, dan syarat, apabila al-Amr tersebut disertai dengan salah satu hal tersebut, maka keadaanya adalah sebagai berikut :

1. Apabila al-Amr dihubungkan dengan illat, maka harus mengikuti illat, bila ada illat maka ada hukum, bila berulang-ulang illat, maka berulang-ulang pula hukum.

2.  Apabila al-Amr dihubungkan dengan syarat atau sifat, maka berulang-ulang pula pekerjaan yang dituntut bila sifat dan syarat tersebut berlaku sebagai illat.[26] Sebagai contoh, dapat kita perhatikan firman Allah QS.al-Nur ayat 2 tentang had zina, dan surah al-Maidah ayat 6 tentang perintah bersuci bila dalam keadaan junub.

3.  Kesegeraan dalam al-Amr (يقتضي الفور  )

Sesuatu suruhan adakalanya dihubungkan dengan waktu dan adakalanya tidak.  Apabila dihubungkan dengan waktu tertentu, seperti shalat wajib, maka pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan.  Tapi bila al-Amr tidak dihubungkan dengan waktu seperti perintah kifarat mengqadha puasa dan yang lainnya, maka diantara ulama ushul ada yang berpendapat, bahwa al-Amr tidak menghendaki berlaku segera.[27]

d. Perintah (al-Amr) sesudah larangan (al-Nahy).

Sebagian ulama berpendapat, bahwa al-Amr sesudah larangan adalah boleh, dan jumhur ulama menegaskan, bahwa al-Amr berarti boleh sesudah larangan bila dipahami dari sisi adanya qarinah, bukan dari asal al-Amr tersebut.  Contoh firman Allah QS. Al-Jumuah (28): 10:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ…

Terjemahnya :

“ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah…”[28]

Ayat tersebut di atas datang setelah larangan mencari rezki dengan jalan jual beli diwaktu panggilan shalat jum’at telah diserukan, sebagaimana maksud ayat yang tersebut di atas.  Dalam hal ini ulama ushul memahami, bahwa perintah yang datang setelah larangan adalah mubah (boleh), sebagaimana kaidah ushul[29] الامر بعد النهي الابـحة

B. Larangan (Al-Nahyu)

1. Pengertian Al-Nahyu

Pengertian Al-Nahyu menurut bahasa berarti batas atau tujuan.  Arti lain dari kata ini yakni al-Ghadir (anak sungai atau rawa), karena air yang mengalir akan berhenti kalau telah sampai pada tempat tersebut.  Dan dari akar kata yang sama, akal juga disebut an-Nuhyat, karena ia dapat mencegah orang yang berakal untuk berbuat salah.[30]

Disamping makna lughawi seperti tersebut di atas, kata Al-Nahyu juga diartikan sebagai sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan dan senantiasa meninggalkannya.  Dan biasa pula yang digunakan yaitu seperti dalam bentuk kalimat ( لا تفعل) atau dengan kata lain Al-Nahyu adalah kebalikan dari al-amr.[31]

Adapun Al-Nahyu menurut ulma Ushuliyiin didefenisikan dengan طلب الترك  من الاعلي الي الأدني  (tuntutan meninggalkan perbuatan dari phak yang lebih tinggi kepada pihak yang rendah).[32]

Berangkat dari beberapa pernyataan diatas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Al-Nahyu adalah, kalimat pernyataan yang menunjukkan adanya suatu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.  Seperti larangan Allah kepada hambaNya, larangan pimpinan kepada bawahannya.

2. Sighat Al-Nahyu

Di dalam Alquran ternyata banyak ditemukan ayat-ayat yeng menggunakan term Al-Nahyu ini, tetapi dengan bentuk yang berbeda-beda, ada yang secara jelas menggunakan لا ناهيـة , tetapi ada juga dalam bentuk lain, namun di dalamnya ada indikasi nahyu.  Yang pertama mempergunakan لا ناهية  misalnya firman Allah QS. (8):151

…ولا تقتلوا النفس التي حرم الله الا باالحق…

Terjemahnya :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan sesuatu sebab yang benar…”.[33]

Larangan tersebut di atas adalah Al-Nahyu dalam bentuk لا تفعل, yaitu dilarang mengerjakan, dan shigat inilah yang paling dikenal dalam Al-Nahyu.[34]

Sedangkan yang kedua memberi indikasi Al-Nahyu yaitu perintah (sighat al-Amr), yang menunjukkan menghentikan perbuatan, misalnya Firman Allah QS al-Jumuah (28): 9:

…وذروالبيع…

Terjemahnya :

“…Dan tinggalkanlah jual beli…”[35]

Tetapi ada pula indikasi larangan dengan menggunakan kata Al-Nahyu itu sendiri, seperti Firman Allah QS Al-Nahyu-Nahl (14);90:

وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ…

Terjemahnya :

“…Dan Allah melarang dari perbuatan keji dan mungkar…”[36]

ataupun Al-Nahyu dalam bentuk khabariyah yang menunjukkan haram, seperti Firman Allah QS al-Annisa (4): 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ…

Terjemahnya ;

“ Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu …”[37]

Demikian pula dalam bentuk yang sama, tetapi Al-Nahyu lebih menunjukkan pada ketidak halalan obyek atau perbuatan tersebut, seperti Firman Allah QS Al-Baqarah (2);229:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا…

Terjemahnya:

“…Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan pada mereka…”[38]

Inilah beberapa contoh Al-Nahyu yang terdapat dalam Alquran.  Dan karena ayat-ayat tersebut bersifat melarang maka dengan sendirinya ia memiliki konsep hukum, artinya bahwa setiap yang dilarang itu harus ditingalkan.  Dan orang yang meninggalkan apa yang dilarang, menurut syar’i, perbuatan tersebut adalah terpuji, sebaliknya yang tidak meninggalkannya berarti ia akan mendapat dosa.

Namun dalam hal ini, perlu juga dimengerti bahwa apabila dalam nash itu terdapat qarinah yang dapat memalingkan bentuk Al-Nahyu itu dari makna yang hakiki kepada makna yang majazi, maka dari bentuk Al-Nahyu itu dapat dipahami, sesuatu yang ditunjukkan oleh qarinah tersebut.[39] Dan dalam hal ini terdapat beberapa pengertian yang dikandungnya antara lain;

  1. al-karahah (yang tidak disenangi), seperti Firman Allah QS Al-Maidah (7):87:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ…

Terjemahnya :

“ Hai orang-orang yang beriamn janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu…”[40]

  1. Al-Irsyad (petunjuk), seperti Firman Allah QS Al-Maidah (7):101:

لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ…

Terjemahnya :

“…Dan janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu hal-hal yang jika diterangkan bagimu, niscaya menyusahkan kamu…”[41]

  1. Al-Dua’ (permohonan) seperti Firman Allah QS Al-Baqarah (2):286:

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ…

Terjemahnya:

“…Ya Tuhan kami janganl;ah engkau pikulkan kepaad kami apa yang tak sanggu p kami pikul…”[42]

3.  Hukum yang terkandung dalam suatu larangan

Di dalam pembahasan Al-Nahyu, para ulama ushul telah mendapati nash-nash Al-Nahyu itu mengandung ketentuan hukum.  Imam syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan, bahwa apa yang dilarang Allah dan rasulNya adalah haram hukumnya, kecuali melalui dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dilarang itu tidak haram.[43]

Dalam ilmu ushul fiqih, pendapat imam Syafi’i tersebut dikenal dengan kaidah  الأصـل في النهي التحريـم (pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram).[44] Dan karena yang dilarang itu haram hukumnya, maka sifat larangan itu harus berulang-ulang (al-Tikrar), dan tuntutan untuk meninggalkannya harus segera dilaksanakan (al-Faur)[45].  Dalam konteks ini, apabila lafal Al-Nahyu tersebut dituturkan secara mutlak.  Artinya bahwa dalam nash itu tidak terdapat qarinah yang mengalihkan makna Al-Nahyu kepada makna.

Penutup

Dari uraian-uraian diatas dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1.  al-Amr adalah bentuk yang  mengandung tuntutan dari atas ke bawah untuk melaksanakan suatu perbuatan.  Al-Amr jika tidak ada qarinah lain yang mengalihkan kandungan makna hukum maka ia bersifat yang wajib mutlak, tetapi bila ada qarinah lain maka kandungan makna dan hukhumnya bisa berubah.

2.  Al-Nahyu adalah tuntutan meninggalkan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Hakikatnya adalah larangan yang menunjukkan haram.  Dengan adanya qarinah-qarinah yang bermacam-macam di dalamnya, maka Al-Nahyu dapar mengarah kepada beberapa pengertian.

Daftar Pustaka

Abu Zahra,  Muhammad,  Ushul Al-Fiqih. Cairo: Dar Fikr Arabiy, 1958.

al-Amidiy, al-Ahkam Fi Ushul al-Ahkam. Juz II Mesir. Muhammad Ali Shabih, 1968.

Bayanuni , Memahami Hakekat Hukum Islam, t.tp: Pustaka Azet, 1986.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya Jakarta: PT. Tanjung Mas  Inti, 1993.

Hakim,  Abdul Hamid As-Sullam, Jakarta: Maktabah 0Sa’diyah, t. th.

Hanafi,  A. Ushul Fiqhi, Jakarta: Widjaya, 1989.

Ibnu Zakariyah,  Abi al-Husain ibn al-Fariz Mu’jam  Maqayis al-Lughah, Juz V, Mesir: Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi Wa al-Auladuh, 1972.

Khallaf,  Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqhi, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri dengan judul Ilmu Ushul Fiqhi, Semarang: Dina Utama, 1994.

Khudhori Bek, Muhammad, Ushul al-Fiqhi diterjemahkan oleh Zaid II al-Hamid dengan judul Ushul Fiqhi I, Pekalongan ; Raja Murah, t.th.

Ma’luf,  Louis al-Munjid fi al-Lughah t.tp: Dar al-Masyriq, 1975.

Mugniyah, Muhammad Jawad Ilmu Ushul Fiqhi, Beirut; Dar al-Ilmi al-Malayin, 1975.

Musa ,  Muhammad Yusuf. Tarikh al-Islamy, Mesir, Dar al-Kitab al-Kubra, 1989.

Shiddieqy,  TM. Hasbi , Pengantar Hukum Islam, Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

Shihab, M. Quraish, Membunikan Alquran, Bandung: Mizan, 1992.

Syarifuddin,  Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam Padang: Angkasa Raya, 1990.

Yahya Muhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1986


[1] M. Quraish Shihab, Membunikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), h. 213.

[2] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 5.

[3] Bayanuni, Memahami Hakekat Hukum Islam, (t.tp: Pustaka Azet, 1986), h. 36.

[4] Muhammad Abu Zahra,  Ushul Al-Fiqih. (Cairo: Dar Alquran-Fikr Alquran-Arabiy, 1958), h.26.

[5] Hamka Haq, Falsafah Ushul Fiqhi (Ujungpandang: Yayasan al-Ahkam, 1998), h. 181.

[6] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (t.tp: Dar al-Masyriq, 1975), h. 17.

[7] Abu Zahrah, op. cit., h. 176.

[8] Lafal seperti  أكتب, قم, اجلس  dan lain-lain menunjukkan perintah mutlak untuk dikerjakan selama tidak ada qarinah lain yang mengalihkan kepada makna lain.

[9] Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 196.

[10] A. Hanafi, Ushul Fiqhi, (Jakarta: Widjaya, 1989), h. 32-33.

[11] Muhtar Yahya, op. cit., h. 191-192.

[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Tanjung Mas  Inti, 1993), h. 16.

[13] Ibid., h. 93.

[14] Ibid., h. 427.

[15] Diantara redaksi adzan (Mari mengerjakan shalat, mari menuju kemenangan)

[16] TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 327-328.

[17] Departemen Agama RI, op.cit., h. 549.

[18] Ibid., h. 70.

[19] Ibid., h. 45.

[20] Ibid., h. 779.

[21] Ibid., h. 394.

[22] Ibid., h. 12.

[23] Ibid., h. 30.

[24] Ibid., h. 49.

[25] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqhi, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri dengan judul Ilmu Ushul Fiqhi, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 307.

[26] A. Hanafi, op. cit., h. 34.

[27] Muhammad Khudhori Bek, Ushul al-Fiqhi diterjemahkan oleh Zaid al-Hamid dengan judul Ushul Fiqhi I, (Pekalongan ; Raja Murah, t.th), h. 199.

[28] Departemen Agama RI, op. cit, h.

[29] Abdul Hamid Hakim, Al-Sullam, Juz II  (Jakarta: Maktabah 0Sa’diyah, t. th), h. 13.

[30] Abi al-Husain ibn al-Fariz ibn Zakariyah, Mu’jam  Maqayis al-Lughah, Juz V, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi Wa al-Audah), 1972), h. 259-260.

[31] Muhammad Jawad Mugniyah, Ilmu Ushul Fiqhi, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1975), h. 125.

[32] Abdul Hamid Hakim, op. cit., h. 16.

[33] Departemen Agama RI, op. cit., h. 214.

[34] Abdul Hamid Hakim, op. cit., h. 17.

[35] Departemen Agama RI, op. cit., h. 933.

[36] Ibid., h.

[37] Ibid., h. 120.

[38] Ibid., h. 55.

[39] Abdul Wahab Khallaf, op. cit., h. 326.

[40] Departemen Agama, op. cit., h. 176.

[41] Ibid., h. 179.

[42] Ibid., h. 72.

[43] Muhammad Yusuf Musa , Tarikh al-Islamy, (Mesir, Dar al-Kitab al-Kubra, 1989). h 271

[44] Al-Amidiy, al-Ahkam Fi Ushul al-Ahkam. Juz II (Mesir. Muhammad Ali Shabih, 1968). h  53

[45] Ibid

Tinggalkan komentar