Pemikiran Pembaharuan Fikih Islam di Indonesia

22 Mei 2009

PEMIKIRAN PEMBAHARUAN FIKIH ISLAM

DI INDONESIA

Ismail Rumadan*

Pendahuluan

Pemikiran umat manusia semisal seorang bayi yang berawal dalam keadaan primitif dan sederhana, kemudian ia tumbuh dan ikut bersamaan dengan timbulnya akal pikirannya sampai pada tingkat yang lebih sempurna.1

Agama yang diturunkan dari langit adalah sesuai dengan masa evolusi bahwa Allah yang menjadi sumber agama dengan berbagai ketentuan dan aturannya yang bersifat umum dan khas, menunjukan bahwa Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengkaji dan menganalisa segala apa yang Allah tetapkan.

Tuhan memberikan petunjuk dan tuntunan kepada manusia dalam menanggungnya dan sesuai dengan pertumbuhannya, karena manusia pada awalnya hanya mengenal hal-hal apa yang dirasakannya, sementar akalnya belum dapat memahami apa yang belum disentuhnya. Namun pengalaman manusia mengalami, mempelajari, berdiskusi dan bermasyarakat, maka muncullah pemikiran-pemikiran pembaharuan dalam kehidupan, termasuk pembaharuan pemikiran fikih.

Di dunia Islam, masih banyak orang terjebak pada pemikiran yang membuat umat tidak maju. Sementara di dunia non muslim pemikiran-pemikiran yang lebih maju yang melairkan berbagai macam peradaban. Bahkan kemajuan mereka telah mencakup juga hal-hal yang menyangkut masalah-masalah agama, khususnya pemikiran fikih. Hal ini akhirnya menyadarkan umat Islam bahwa selama ini umat Islam telah tertinggal dari umat lainnya dalam berbagai hal. Termasuk pemikiran fikih.

Raja-raja dan pemuka-pemuka umat Islam mulai memikir­kan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali.Dari perkembangan ini mulai menyebar ke seluruh dunia Islam termasuk. Indonesia, walaupun pada tahun dan waktu yang tidak sama, akan tetapi tetap memberikan semangat itu dari waktu ke waktu dan akhirnva telah tiba di Indonesia dengan berbagai perubahan oleh murid-murid Imam Syafii.

Sebagai telah disebut pembaharuan dalam fikih Islam timbul di periode sejarah Islam yang disebut modern dan mem­punyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. 2

Perkembangan Fikih Islam di Indonesia

Perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi atas dua periode, periode pertama: yaitu dimana agama Islam dengan umatnya pada zaman agama Hindu dan Budha (pada abad 15, 16, 17, 18 dan 19). Periode kedua: reformasi agama Islam dengan kebangkitan semangat kebangsaan Pan Islamisme (pada abad ke XX ini).3

Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah serta berdasarpada keterangan seminar tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia, yang diadakan di Medan pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, ditetapkan bahwa Agama Islam masuk di Indonesia pada abad ke 14 di Sumatera (Pasai-Aceh) dan di Jawa (Gresik).

Di antara hal yang menyebabkan agama Islam menarik hati orang Indonesia, adalah karena penghargaan agama ini pribadi manusia. Agama Islam meratakan penghargaan itu, dengan menganggap manusia sebagai makhluk yang dijadikan Allah, membawa manusia kepada jalan memerdekakan dirinya sendiri dari pada paksaan kemasyarakatan.

Dengan memeluk agama Islam, tiap-tiap orang mencapai penghargaan yang tetap terhadap dirinya sendiri, tanpa perlu mempedulikan kedudukannya dalam lingkungan masyarakat. Sebab Islam tidak mengenal stratifikasi masyarakat dari aspek suku, budaya, kasta dan sebagainya, kecuali perbedaan ketakwaan. Hal ini menyebabkan Islam dengan mudahnya dapat berkembang dan diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebelumnya telah terlebih dahulu mengenal agama lain, yaitu Hindu dan Budha.

Keberhasilan Islam menghapuskan pengaruh Hindu dan Budha dari masyarakat Indonesia, adalah karena pengakuan Islam tentang Allah Yang Maha Kuasa.4 Ajaran yang kurang mendapat tempat dalam agama sebelumnya.

Dalam kenyataannya, mazhab fikih yang banyak diikuti di Indonesia adalah pemikiran imam Syafii. Imam Syafii lahir di Gaza (dekat Palestina) pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah, 150 H dan wafat tahun 204 H.5

Mazhab fikih Syafii tersebut dibawa oleh mubalig dan ulama yang datang ke Indonesia menyebarkan Islam. Setelah terjadinya Islamisasi ini, maka ulama-ulama dari kalangan pribumi pun muncul dan diketahui kemudian ternyata semuanya adalah pendukung mazhab Syafii. Kita lihat misalnya di Aceh ada Syekh Abdurrahman Singkil, di Kalimantan ada Syekh Arsad al-Banjar, di Sumatera ada Syekh Abdussalam al-Falinbani, di Jawa ada Syekh Nawawi Banten, Syekh Saleh Darat As-Samarani dan seterusnya ….. Bahkan ulama generasi berikutnya pun seluruhnya adalah pengikut mazhab Syafii.

Fikih Syafii adalah fikih sentesa atau perpaduan antara fikih Hanafi dan Fikih Maliki. Hal ini boleh jadi karena Muhammad Idris Al-Syafii pernah berguru pada Imam Malik di Madinah selama 9 tahun. Kemudian beliau sempat berkenalan dengan Fikih Hanafia melalui seorang murid imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin al-Hasan Al-Syaibani, dengan beliau pernah berkumpul di Bagdad selama tiga tahun.

Fikih Syafii yang disusun di Mekah sepulang dari perlawatan pertama al-Syafii ke Irak. Konsep fikih Syafii menunjukan kemandirian Imam al-Syafii dalam berpendapat, karena ia melahirkan pendapat-pendapat yang berbeda dengan guru-gurunya. Misalnya ia pada dasarnya sependapat dengan Imam Malik, bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam. Tapi keduanya berbeda dalam menerapkan konsep ijmak ini. Jika imam Malik memaksudkan ijmak sebagai kesepakatan ulama pemuka Madinah,6 maka menurut imam al-Syafii untuk mempunyai kekuatan sebagai sumber hukum itu, harus ada kesepakatan umat Islam dari seluruh dunia Islam. Selain perbedaan dalam masalah ijmak, Syafii juga enggan menyetujui konsep al-maslahat al-mursalah dari Fikih Maliki.7

Sebaliknya Syafii sepakat dengan Imam Abu Hanifah bahwa qiyās atau analogi adalah merupakan salah satu sumber hukum. Tetapi Syafii dapat menolak fikih Hanafi dari segi konsepsi istihsān.

Dalam pemikiran hukumnya Al-Syafii hanya menerima lima sumber hukum Islam. Alquran, Sunnah Nabi, Ijma atau konsensus, pendapat sebagian sahabat yang tidak adanya perselisihan mereka di dalamnya, dan pendapat yang di dalamnya terdapat perselisihan qiys atau analogi.8

Berlainan dengan Abu Hanifah, Al-Syafii banyak memakai sunnah sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat dengan Alquran. Istihsān yang dibawa Abu Hanifah dan al-Masālih al-Mursalah yang dikemukakan Imam Malik, ditolak oleh Al-Syafii sebagai sumber hukum.

Bahwa fikih Syafii adalah fikih sintesa antara fikih Hanafi dan Fikih Maliki, juga dapat dilihat antara lain dari ketentuan fikih Syafii tentang cara orang duduk dalam sholat.

Menurut Hanafi, cara duduk orang yang shalat Iftirāsy (duduk dengan tegak dengan beralaskan dua betis yang membujur sejajar dengan arah kiblat), dengan tiada perbedaan apakah itu duduk antara dua sujud, dua tahiyat pertama tayahat akhir.

Menurut Imam Syafii duduk antara dua sujud, duduk tahiyat pertama adalah iftirāsy, dan untuk duduk tahiyat akhir adalah tawarruk.9

Selain itu, al-Syafii adalah ahli fikih pertama yang menyusun Ilmu Ushul al-Fiqh. Fikih Syafii juga diwarnai fikih Irak dan Fikih Misri, di mana fatwa-fatwa imam al-Syafii berbeda ketika ia menetap di Baghdad dengan ketika berada di Mesir. Kedua pendapatnya ketika berada di kedua kota itu dikenal dengan al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadīd.10

Ungkapan di atas menunjukan kepada kita bahwa sistem pemikiran imam al-Syafii yaitu berijtihad dengan menggunakan metode deduktif dan ijtihad dengan metode komparatif, dimana dapat berusaha mempertemukan dua pendapat yang memang berbeda, yang biasanya disebut dengan taufīqīy atau menguatkan salah pendapat yang disebut dengan tarjīh.

Ketika Islam dibawa masuk ke Indonesia dan menhyebabkan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di berbagai daerah, keberadaan Islam dan penganutnya tidak dipandang sebagai musuh yang datang menjajah, melainkan dirasakan sebagai pembaharuan dan inovasi. Sebab, umumnya antara raja-raja di kerajaan Islam masih ada pertalian darah dengan raja yang digantikannya. Kerena itu, perubahan itu dipandang sebagai kelanjutan yang tidak mengejutkan, hanya berganti keyakinan agama yang dianggap lebih sesuai dan praktis. Oleh karena itu antara julukan Sri Baginda Maharaja dengan julukan Sultan Akbar Khalifatullah Sayidin Patanah Ahama dan lain sebagainya itu dipandang hal yang biasa.11

Kekuasaan raja dan sultan juga lebih banyak ditopang dan didukung oleh penasehat-penasehat agama yang lazim disebut wali, yang tiada lain adalah pemimpin agama dan dai yang agung sekaligus ulama.

Setelah kemerdekaan, sudah tentu untuk mengisi kemerdekaan ini, sikap ulama terhadap umara tidak boleh terjadi sebagaimana terhadap penjajah, melainkan dibina kemanunggalan ulama dengan umara’ sedemikian rupa sehingga pembangunan di Indonesia di alam kemerdekaan ini dapat berjalan lancar, ibarat beban, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjit.

Dengan perspektif yang melihat bahwa dinamika pergerakan Islam tidak dapat diisolasikan dari dinamika negara sebagai kekuatan yang mampu memproduksikan sistem simbolik, dan juga dengan perspektif bahwa Islam mempunyai potensi untuk melakukan “counter hegomonic-movement” sambil menawarkan alternatif-alternatif sistematik untuk integrasi sistem sosial dan sistem budaya.

Gerakan-gerakan dari pembaharu telah menjadi warisan tersendiri dalam spektrum intelektual Islam Indonesia yang sekaligus sebagai pemikiran baru perkembangan hukum Islam.12

Pelopor pembaharuan fikih di Indonesia, pertama Hazairin, seorang guru besar Hukum Islam dan Hukum Adat Universitas Indonesia. Dan kedua Hasbi Ash Shiddiqiy beliau adalah mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Meskipun konsepsi yang diajukan oleh kedua guru besar ini tampak tampil secara sendiri-sendiri, tapi masih tidak terlepas kepada bentuk pembaharuan yang selalu didengunkan di Indonesia, walaupun pada saat itu belum terbentuk ide mereka dalam satu ketetapan hukum, namun banyak praktek para cendikiawan sudah menuju ke arah pembaharuan tersebut.

Dalam pidatonya tahun 1951, Hazairin telah mempersoalkan kemungkinan kita di Indonesia mendirikan mazhab kita sendiri, Mazhab Nasional dalam lapangan yang langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan. Ini menunjukan bahwa pola pemikiran pembaharu di Indonesia ini selalu melihat kepentingan negara dan masyarakat, agar berjalan secara baik dan benar.

Penegasan Huzairin ini mengandung beberapa hal yang fundamental bagi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

        1. Perlu memberi corak kenasionalan bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia dengan merangkumnya dalam satu Mazhab Indonesia guna menonjolkan hal-hal yang sifatnya spesifik.

        2. Dalam rangka memberikan identitas Nasional terhadap hukum Islam diadakan pembedaan dalam dua bidang :

          1. Hukum Islam yang berkenaan dengan masalah ibadah, yang sifatnya tidak langsung bersangkut paut dengan kemasyarakatan. Ini boleh diadakan pembaharuan, karena tidak memberikan pengaruh langsung kepada masyarakat yang selama ini dianggap sesuatu yang sangat benar, yang bila diadakan perobahan dapat menimbulkan kerawanan dan kekacauan bagi masyarakat.

          2. Hukum Islam yang langsung berkenaan dengan soal kemasyarakatan. Dari bidang ini boleh kita adakan pembaharuan yang sifatnya bertahap dari satu masalah ke masalah lain, dan kalau ini diadakan perubahan tidak terlalu terasa oleh masyarakat, karena dianggap bukan hal-hal yang prinsip dan tidak membatalkan ibadah mereka.

        3. Mazhab Syafii masih hidup dan dipertahankan untuk bidang hukum yang berkenaan dengan ibadah, sedangkan untuk bidang yang berkenaan dengan soal kemasyarakatan, kita dirikan Mazhab Nasional dan melepaskan diri dari mazhab Syafii dalam artian mengembangkan, mengubah dan memperbaiki mazhab itu, misalnya dalam soal kesahihan macam-macam syirkah.

        4. Untuk membentuk Mazhab Nasional diperlukan lahirnya Mazhab-Mazhab Mujtahid baru yang bercorak nasional untuk melakukan ijtihad kelompok dan peranan hukum Islam yang sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia.13

Lebih sepuluh tahun gagasan itu tidak dapat tanggapi oleh pemerintah maupun dari kalangan pakar hukum Islam dan ahli hukum Islam, pada umumnya. Gagasan-gagasan itu nanti pada tahun 1961 Hasbi Ash Shiddeiqy dalam pidato pengukuhannya mengemukakan ide yang sama, walaupun tanpa menyebut gagasan dari Hazairin. Beliau menyatakan bahwa sangat diperlukan lahirnya ijtihad baru yang dilakukan dengan mempelajari syariat Islam. Karena itu maksud mempelajari syariat Islam di Universitas Islam sekarang ini supaya fikih Islam dapat menampung kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum di tanah air. Maksudnya, supaya kita dapat menyusun fiqih baru yang di terapkan sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia.

Ide yang sama juga dikemukakan oleh Munawir Sadzali pada saat ia menjadi Menteri Agama RI. Munawir selalu memberikan konsep-konsep pemikirannya dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia, buktinya ia pernah menjelaskan tentang sistem pembagian warisan di Solo antara laki-laki dan perempuan

Mengenai cara mewujudkannya, dikemukakan bahwa kita harus menggali hukum-hukum syariat dari sumber asal (Alquran dan Hadis), dari kitab pokok yang ditulis dalam masa ijtihad dari semua mazhab, sunni, syiah dhahiri dan sebagainya. Bahkan kita tidak boleh hanya membandingkan antara satu fiqih dengan fiqih yang lain, tapi juga dengan perundang-undangan buatan manusia.

Tampak dari pendapat-pendapat tersebut bahwa sesungguhnya mereka menggunakan terminologi yang bersamaan dan tujuan yang sama. Sekalipu demikian, ada suatu perbedaan pokok antara mereka. Hazairin berpendapat bahwa mazhab di Indonesia adalah mazhab Syafii yang diperbaharui, sedangkan Hasbi ingin membentuk fikih Indonesia, dan pendapat ini diperbuat oleh Bapak Munawir Syadzali.

Dari ide-ide pemikiran mereka itulah saat ada sejumlah produk perundang-undangan yang bercirikan Indonesia, Seperti lahirnya Undang-Undang Hukun Acara Peradilan Agama, dimana Pengadilan Agama mempunyai kewenangan yang lebih luas bila dibandingkan dengan sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut.

Dari kesekian itu dengan adanya komplikasi hukum Islam yang ada di Indonesia sekarang ini telah terbukti bahwa walaupun belum sampai semua bidang hukum dapat di kembangkan sesuai zaman, akan tetapi minimal sudah mempunyai langkah-langkah baru dalam menuju fikih ala Indonesia.

Ide kompilasi hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina Teknis Yuridis Peradilan Agama, tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970. Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.14

Bardasarkan ketentuan di atas, secara formalnya baru muncul pada tahun 1985 dan kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara Mahkama Agung dengan menteri agama. Maka Bustanil Arifin sebagai penegas gagasan ini menyatakan bahwa, untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia harus ada antara lain, hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat maupun oleh rakyat.

Upaya penyusunan kompilasi hukum Islam ini disusun dengan mempertahankan kondisi kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia, bukan upaya mazhab baru, tetapi sebagai upaya mempersatukan berbagai fikih dalam menjawab satu persoalan yang mengarah kepada unifikasi mazhab dalam Islam.

Bagaimanapun juga kompilasi ini sebagai sesuatu yang di hayati oleh masyarakat bangsa kita. Hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi masyarakat manusia bahkan bagi alam semesta.

Kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah suatu peluang bagi umat Islam. Sehubungan itu seorang pengamat umat Islam. Mitsoo Nakamura menyataka bahwa, kompilasi ini sangat strategis dan mempunyai arti penting bagi umat Islam. Akan tetapi menurut Nakamura, soalnya tinggal bagaimana tokoh-tokoh Islam dan umat Islam melihat serta memanfaatkan arti pentingnya proyek kompilasi hukum Islam itu.

Penutup

Perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia lebih banyak didominasi oleh pemikiran Imam Syafii, perkembangan pemikiran fikih di Indonesia dengan melalui para pedagang dan mubaliq-mubaliq pada saat itu, hukum Islam banyak diterima di Indonesia karena para pembawanya menunjukan sifat kenetralan, dimana masyarakat Indonesia pada saat itu dalam dua kondisi, yakni pengaruh Hindu dan Budha yang mengklasifikasi status sosial masyarakat, sedangkan Islam muncul dengan kesamaan derajat.

Pemikiran pembaharuan fikih di Indonesia dikemukakan oleh Hazairin dan Hasbi Ash-Shiddeiqy, dan kemudian dikembangkan oleh Munawir Zadhali sewaktu menjadi Menteri Agama. Fikih Syafii adalah fikih yang sintesa antara fikih Hanafi dan fikih Maliki, walaupun dalam merumuskannya kadang menggunakan pendapat diantara salah satunya, akan tetapi pada waktu menuangkan-nya dalam pendapatnya lebih banyak dipengaruhi Rasional, sehingga kadang dikatakan fikih syafii adalah fikih Rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abu Bakar. Sekitar Islam Masuk di Indonesia, Cet. I; Bandung: Bina Aksara, 1972

Ash Shiddieqi, Hasbi. Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Cet. I; Surabaya: Bulan Bintang, 1966

Hamid, Juhri. Peranan Ulama Indonesia Dewasa Ini, Cet. II; Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), h. 27

Khalil, Munawir. Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1972

Khallaf, Abdul Wahab. al-Tasyrī’ al-Islāmī Fī mā lā Na¡¡a Fī hi, Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Anwar Rasyidi, dengan judul Sumber-Sumber Hukum Islam, Cet. I; Bandung: Risalah, 1972

Kuntowidjoyo, Paradigma Islam, Cet. II; Bandung: Mizan, 1991

Nasution, Amir Taat. Menuju Kesatuan Aqidah Ibadah, Cet. II; Jakarta: Bina Ilmu, 1974

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek, Jilid III, Cet. II; Jakarta: UI, 1978

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1980

Panitia Seminar IAIN Imam Bonjol, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Oleh: Prof. Ibrahim Husain, Padang: 26-28 Desember 1985

Yahya, Mokhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam, Cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1983), h. 105

* Dosen pada Jurusan Syariah STAIN Ambon; Memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) dari Program Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar; Saat ini menduduki jabatan sebagai Kepala Pusat Pengabdian Pada Masyarakat STAIN Ambon.

1Ahmad Sabali, Studi Komprehensip Tentang Agama Islam, (Cet. I; Surabaya: Bina Islam, 1988), h. 9

2 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 12

3 Amir Taat Nasution, Menuju Kesatuan Aqidah Ibadah, (Cet. II; Jakarta: Bina Ilmu, 1974), h. 74

4 Juhri Hamid, Peranan Ulama Indonesia Dewasa Ini, (Cet. II; Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), h. 27

5 Panitia Seminar IAIN Imam Bonjol, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, (Oleh: Ibrahim Husain, Padang: 26-28 Desember 1985)

6 Mokhtar Yahya, dkk., Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam, (Cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1983), h. 105

7 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek, Jilid III, (Cet. II; Jakarta: UI, 1978), h. 17

8 Abdul Wahab Khallaf, al-Tasyrī’ al-Islāmi Fī mā lā Na¡¡a fī hi. Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar, dkk, dengan judul Sumber-Sumber Hukum Islam, (Cet. I; Bandung: Risalah, 1972), h. 219

9 Mokhtar Jahya, op. cit., h. 105

10 Hasbi Ash Shiddieqi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Cet. I; Surabaya: Bulan Bintang, 1966), h. 43

11 Abu Bakar Aceh, Sekitar Islam Masuk di Indonesia, (Cet. I; Bandung: Bina Aksara, 1972), h. 33

12 Kuntowidjoyo, Paradigma Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1991), h. 35

13 Fahmi Ali, Merambah Jalan Baru Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Presindo, 1984), h. 88

14 Tim Dit Bapera, Berbagai Pandangan Terhadap Komplikasi Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), h. 7