BERCERMIN PADA LANGKAH POLITIK NABI MUHAMMAD SAW.

BERCERMIN PADA LANGKAH POLITIK
NABI MUHAMMAD SAW.
oleh : Z.A. Rahawarin.
Pendahuluan
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad saw. adalah suri teladan dalam segala bidang kehidupan. Tidak hanya dalam masalah-masalah agama yang terkait dengan hubungan dengan Tuhan, Sang Khalik, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan hubungan dengan sesama Makhluk. Muhammad adalah pribadi yang komplit. Ia adalah seorang Nabi, juru dakwah yang berhasil mengubah bangsa Arab yang polyteis menjadi penganut agama Islam yang mentauhidkan Allah. Ia juga adalah seorang panglima perang yang rela terjung langsung ke medan perang memimpin pasukan Muslim menghadapi musuh. Di sisi lain, ia juga adalah seorang politikus yang mampu mempersatukan bangsa Arab dari berbagai suku dan klan dalam satu komunitas baru, kaum muslimin. Sebuah prestasi yang belum pernah dicapai oleh pemimpin Arab sebelumnya.
Keberhasilan Muhammad itu tidak diraih dengan mudah, tetapi melalui perjuangan yang sangat keras dan dilakukan secara bertahap dan sistematis. Dari catatan sejarah yang dapat ditelusuri, perjuangan Muhammad ditempuh dalam dua periode, Mekah dan Madinah. Jika pada periode Mekah, peran Muhammad lebih ditekankan pada bagaimana mengajak orang-orang musyrik Mekah untuk mengenal Allah dan mentauhidkannya, serta membentuk fondasi bagi terbentuknya komunitas baru, maka pada periode Medinah, peran Nabi lebih pada bagaimana menata masyarakat yang baru, yaitu masyarakat Madinah yang heterogen dan plural, baik dari segi suku, asal-usul, maupun agama.
Seruan dakwah Muhammad saat di Mekah tidak langsung membuahkan hasil positif. Sebaliknya respons yang muncul dari masyarakat justru sangat menyakitkan. Kebanyakan warga dari masyarakat Quraisy saat itu membalas ajakan Rasulullah dengan intimadasi, sabotase, isolasi, dan kekerasan untuk menghalang-halangi meluasnya ajaran Islam. Namun Nabi tidak frustrasi, justru terpicu untuk berpikir keras untuk mencari alternatif lain dalam mendakwahkan Islam. Hingga sampai pada keputusan untuk memindahkan objek dakwah Islam kepada masyarakat di luar Makkah.
Oleh karena itulah Nabi bersama para sahabatnya melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah. Hijrah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Hijrah menandai lahirnya sebuah negara baru, nagara Madinah di mana Muhammad menjadi pemimpinnya. Dari sini kemudian Islam berhasil dipancarkan ke seantero jagad. Karena itu, model negara Madinah menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini, tidak saja bagi umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya.
Maluku yang hingga kini masih dalam tahap menata kembali masyarakatnya menuju “Maluku Baru” setelah dilanda kerusuhan sosial selama kurang lebih empat tahun terakhir, tidak salah jika mencoba melihat, mempelajari dan mengambil hikmah dari sejarah hidup Nabi Muhammad saw. dan langkah-langkah politik yang apa saja yang dilakukaknnya dalam menata masyarakatnya baik di Mekah maupun di Medinah. Tentu saja tidak seluruh kebijakan Nabi di Madinah saat itu harus ditiru sepenuhnya pada masa sekarang. Sebab bagaimanapun, contoh Nabi di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.
Langkah-langkah Politik Muhammad.
Hijrah merupakan momen yang paling menetukan dalam perjalanan karier Nabi Muhammad di masa-masa selanjutnya. Bagi umat Islam, hijrah mengandung arti kelahiran kembali agama bebas dan baru, Islam yang tak lama sesudah itu memulai derap kemajuannya yang tak tertahankan melintasi jazirah Arab dan sebagian besar dunia. Seperti yang kita saksikan perubahan-perubahan besar yang dialami Nabi dan sahabat-sahaabatnya justru terjadi setelah hijrah. Di Madinahlah Islam mulai menandai era kebangkitan pertamanya.
Dari segi konsep, hijrah memiliki beberapa makna di antaranya. Pertama, meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. “Dan berbuat dosa tinggalkanlah.” Sebuah hadis Nabi menyebutkan, orang yang hijrah itu ialah orang yang meninggalkan larangan Allah . Kedua, menjauhi hal-hal yang tidak baik dan merusak termasuk pergaulan yang jelak. Tidak mempedulikan ocehan dan hinaan dari mereka yang membenci Islam, harus berusaha menghindari benturan-benturan sosial tanpa melahirkan diri dan mengucilkan diri dari komunitas soial, namun tetap melakukan dakwah dengan aktif dan persuasif. Ketiga, berpindah tempat.
Tidak mungkin untuk menjelaskan keseluruhan nilai penting yang ada dalam peristiwa hijrahnya Nabi saw. Namun begitu, patut dicamkan bahwa Islam mengemukakan persoalan hijrah dengan kesadaran ilmiah yang mendalam tentang pengaruhnya yang sangat mengagumkan dalam membentuk tokoh-tokoh dan peradaban-peradaban besar. Nabi Ibrahim, Musa, Budha dan sebagainya adalah sekian dari tokoh-tokoh besar dalam sejarah umat manusia yang pernah melakukan hijrah.
Hijrah juga tidak harus selalu diartikan sebagai perpindahan seorang tokoh dari suatu tempat ke tempat lain, sebab pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. adalah sebuah strategi memindahkan pusat perjuangan (ibukota)nya dari Mekah ke Medinah. Mekah saat itu adalah pusat perdagangan yang sangat ramai dikunjungi oleh para saudagar dari luar Arabia, sedangkan Medinah (saat itu bernama Yatsrib) adalah kota terpencil yang kurang begitu dikenal. Muhammad menganggap bahwa Mekah tidak lagi kondusif bagi usaha dakwah yang dilaksanakannya, karena itu, setelah melalui pertimbangan yang matang dan setelah melakukan percobaan pada beberapa daerah lainnya, seperti Thaif, akhirnya ia memilih Medinah sebagai tempat hijrahnya.
Di masa modern, hijrah semacam itu sesungguhnya juga dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Soekarno yang pernah mempunyai istana kepresidenan di Bogor, juga negara Australia yang memindahkan ibukota dari Sidney ke Camberra dan Jerman yang memindahkan ibukota dari Bonn ke Berlin.
Dengan demikian, perpindandahan sebuah ibukota negara atau provinsi adalah hal yang lumrah jika didasari pada pehitungan yang matang, dan itu seharusnya juga dipahami sebagai sebuah bentuk hijrah. Kepadatan penduduk dengan pemukiman yang sempit dan tidak ada lagi lahan bagi pengembangan ke depan, penataan kota yang sembrawut dan tidak terencana dengan baik, sehingga pusat-pusat ekonomi dan perdagangan atau pusat dan kantor-kantor pemerintahan hanya terpusat di suatu daerah tertentu, adalah berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam rangka pemindahan ibukota tersebut. Sebab, faktor-faktor tersebut sangat rawan menimbulkan kecemburuan sosial yang akan berakibat pada munculnya komflik horizontal di antara sesama penduduk.
Di Medinah, ada beberapa langkah politis yang ditempuh oleh Nabi pasca hijrah ke Medinah. Ada dua langkah politis yang patut dicatat sebagai usaha spektakuler Nabi dalam rangka meletakkan dasar-dasar syari’at Islam, yaitu :
1. Menjalin ikatan persaudaraan antara orang-orang yang berhijrah dari Mekah (disebut al-Muhajirin) dengan orang-orang yang menolong dari Madinah (Anshar).
Di satu sisi persaudaraan ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah para pengungsi dan orang-orang terlantar (Muhajirin), sedangkan di sisi lain untuk mempererat persaudaraan di antara mereka. Nabi menganjurkan agar orang-orang Ansar sudi membagikan harta miliknya untuk mengurangi beban saudaranya Muhajirin dan masing-masing kaum Muhajirin dianjurkan agar mengangkat dan mengambil saudara dari kaum Ansar, dan sebaliknya.
Langkah Nabi ini merupakan strategi yang sangat jitu yang patut diteladani. Nabi menyadari bahwa persoalan pengungsi dan penanganan orang-orang terlantar serta mempersaudarakan di antara penduduk asli dengan “para pendatang” itu adalah masalah yang sangat krusial, karena itu harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum persoalan lainnya.
Dibalik anjuran Nabi saw tentang persaudaraan Muhajirin dan Ansar tersimpan sebuah strategi yang jitu. Beliau mengantisipasi propaganda “provokator”, dalam hal ini kaum Yahudi Medinah yang berniat memporak porandakan persatuan umat Islam di Madinah khususnya antara kaum Muhajirin dan Ansar, yang memang secara sosial dan suku memilki banyak perbedaan.
Adapun penamaan Muhajirin bagi orang-orang yang berhijrah bersama Nabi, dan Anshar (orang-orang yang menolong dari Madinah) sama sekali bukan berarti dikotomi atau disklasifikasi penduduk berdasarkan asal-usul mereka. Sebab dalam perkembangannya, ketika persaudaraan di antara mereka telah terwujud, penamaan itu telah hilang dengan sendirinya. Terlebih tidak ada satu aturan pun yang dibuat oleh Nabi saw. yang hanya dikhususkan kepada salah satu di antara kedua kelompok tersebut, sehingga di dalam Islam tidak dikenal istilah “warga kelas dua” ataupun “warga kelas satu”.
2. Piagam Madinah
Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai ‘kejeniusan Muhammad’ (‘Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu ‘kontrak politik’ antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai ‘Mitsaq al-Madinah’ atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah.
Piagam Madinah merupakan bukti legitimasi warga Madinah atas kepemimpinan Muhammad, terutama dari orang-orang Yahudi di Medinah, setelah sebelumnya legitimasi serupa diperoleh dari suku Aus dan Khazraj, penduduk asli Medinah yang telah masuk Islam melalui baiat al-Aqabah.
Piagam itu sendiri merupakan dokumen politik yang menjamin kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik, dan pelarangan kejahatan. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam piagam itu sesungguhnya dapat dikatakan sangat modern untuk ukuran zaman itu bahkan masih relevan untuk dewasa ini lantaran nilai-nilainya yang bersifat universal.
Menurut Suyuthi Pulungan piagam Madinah mengandung beberapa prinsip yang meliputi prinsip kesatuan umat manusia baik bagi muslim maupun nonmuslim, persatuan dan persaudaraan, persamaan, kebebasan, tolong menolong dan membela yang teraniaya, hidup bertetangga, keadilan, musyawarah, pelaksanaan hukum dan sanksi hukum, kebebasan beragama dan hubungan antara pemeluk agama (hubungan antar bangsa/internasional), pertahanan dan perdamaian, amar ma’ruf nahi mungkar, kepemimpinan, tanggung jawab pribadi dan kelompok dan prinsip ketakwaan dan ketaatan (disiplin).
Sementara itu, Zubaedi mengatakan konstitusi itu termasuk salah satu bukti yang menunjukkan kapabilitas Muhammad dilihat dari perspektif legislasi, di samping pengetahuannya yang memadai tentang berbagai aspek kehidupan sosial. Penulisan konstitusi dalam waktu yang tidak begitu lama setelah hijrah menunjukkan negara Islam sesungguhnya telah dirancang sebelum hijrah. Lebih jauh ia menjelaskan Dalam konstitusi itu ditemukan kaidah-kaidah umum yang mampu mengakomodasi berbagai hak dan kewajiban para warga. Piagam itu memuat hak-hak golongan minoritas, di antaranya mengakui kebebasan beragama, yakni sebuah kebebasan yang menghormati keanekaragaman agama dan menjamin para pemeluknya untuk menjalankan agamanya. Konstitusi itu juga memandang segala bentuk gangguan dan ancaman terhadap sekelompok orang Islam sebagai ancaman terhadap semua orang Islam dan melarang orang-orang Islam untuk melindungi pembuat kekacauan yang akan menciptakan instabilitas kehidupan sosial. Konstitusi Madinah itu juga mengatur kebebasan berpendapat, perlindungan terhadap hak-hak sipil dan hak hidup, serta memperkenalkan ide nasionalisme dan negara dalam arti luas, toleran, dan humanis. Prinsip itu menjamin persamaan hak dan kewajiban setiap individu, tanpa membedakan ras, bahasa, ataupun kepercayaan.
Tidak mengherankan jika masyarakat Madinah yang dibangun Nabi itu mengundang decak kagum Robert N Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka. Ia menyebut masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang sangat modern saat itu, bahkan terlalu modern sehingga setelah Nabi wafat, sistem itu tak bertahan lama.
Legitimasi masyarakat terhadap seorang pemimpin merupakan suatu keniscayaan. Jika tidak, maka dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin akan terus menerus mendapat rongrongan dari masyarakatnya. Saat ini, masalah legitimasi seorang pemimpin boleh jadi tidak lagi merupakan isu penting, terutama setelah diterapkannya undang-undang otonomi daerah. Di mana para pemimpin seperti Gubernur, Bupati dan/atau Walikota telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Hanya saja, isu-isu money politic, pengerahan massa, penggunaan ijazah palsu dan isu-isu negatif lainnya, masih saja mengiringi pemilihan langsung tersebut. Hal ini merupakan kontraproduktif terhadap legitimasi yang diharapkan, sebab masyarakat bukannya akan mendukung, melainkan akan terus merongrong kepemimpinan yang diraihnya.
Kelanggengan legitimasi rakyat terhadap seorang pemimpin juga sangat tergantung pada legislasi yang dibuat pada masa pemerintahannya. Peraturan-peraturan yang dihasilkan harus benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya memihak golongan, etnis atau agama tertentu saja.
Selama sepuluh tahun kehidupan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala negara di Madinah, Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah pemantapan fondasi sosial ekonomi politik warga Madinah. Saat itu, kaum Yahudilah yang menguasai roda perekonomiaan. Orang-orang Yahudi tersebar di berbagai kantong daerah ekonomi di Madinah dan berprofesi sebagai pelaku ekonomi. Bani Qainuqa, misalnya, adalah kelompok Yahudi yang paling terlibat aktif dalam perdagangan di Madinah. Adapun Banu Nadhir dan Quraizha menguasai pertanian kurma yang subur di selatan kota Madinah.
Setting sosial seperti ini tidak mendukung stabilitas politik negara Madinah pada saat itu. Karena itu turunnya perintah mengeluarkan zakat dan sedekah sebagai bagian dari syariat Islam merupakan solusi yang tepat bagi proses pemerataan ekonomi umat Islam. Di samping itu pada periode Madinah ini al-Qur’an melarang secara tegas praktek riba. Larangan riba ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi
Atas dasar itu pula dapat dipahami mengapa kaum Yahudi Madinah lebih memihak kafir Quraisy Mekah dan menghianati piagam Madinah. Pertama, karena Yahudi Madinah memandang bahwa klehadiran Islam di Madinah dengan serangkaian ajaran moralnya mengancam posisi mereka sebagai elit ekonomi Madinah. Kedua Yahudi Madinah melihat bahwa kehancuran ekonomi Mekah akan menimbulkan ekses bagi perdagangan mereka di Hijaz, khususnya di Thaif, di mana mereka memiliki pusat perdagangan Yahudi yang aktif di sana. Meski Nabi saw sendiri melihat bahwa menghancurkan potensi perdagangan Mekah berarti malah memperkuat jaringan ekonomi Yahudi.
Alasan terakhir ini tampak agak paradoks memang, akan tetapi kekhawatiran Muhammad saw ternyata lebih beralasan. Setelah kekuatan kaum Quraisy beserta sekutunya telah dipropagandakan pada perang Khandaq (tahun 5 H), mereka bukanlah lagi musuh yang tangguh bagi kaum muslimin. Nabi saw amat menyadari bahwa penaklukan Mekah adalah soal waktu saja. Akan tetapi beliau sendiri sadar betul akan potensi perdagangan Mekah berikut skill warganya dalam berniaga. Sehingga tatkala Muhammad saw. beserta kaum Muslimin memasuki Mekah (Fath Makkah) pada tahun ke 8 H, beliau tak ingin menaklukkannya dengan kekerasan agar dapat memulihkan kembali kota perdagangan yang telah berantakan itu dan memanfaatkan kemampuan warganya.
Penutup.
Sebagai catatan akhir, penulis perlu menyampaikan beberapa kesimpulan dari uraian di atas. Pertama, Nabi Muhammad saw menjadi kepala negara di Madinah dengan memperoleh legitimasi kekuasaan politik dari akumulasi beberapa peristiwa politik seperti bai’at Aqabah dan kedudukan beliau sebagai abritrator dalam piagam Madinah. Di samping itu, fakta historis menunjukan bahwa beliau selama sepuluh tahun di kota Madinah berada di posisi puncak kepemimpinan politik negara Madinah, sebagai konsekuensi logis dari kemenangan diplomatis maupun militer. Kedua starategi dan kebijakan pemerintahan yang beliau jalankan di Madinah lebih beriorentasi pada poembangunan sosial ekonomi politik. Pembangunan di sektor tersebut berhasil mempersiapkan Madinah sebagai pusat kekuasaan yang meluaskan ekspansi dakwah Islam ke seluruh Jazirah Arab. Bahkan lebih dari itu menjadi embrio bagi lahirnya imperium dan peradaban Islam pada beberapa abad mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual AL-Quran; Sebuah Kerangka Konseptual
Hitti, Philip K. History of The Arabs, Britain: The Macmillan Press Ltd, 1974
M.A., Shaban, Islam ic History A.D. 600 – 750 A.H. 130) : A New Interpretation. Diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Sejarah Islam dari Tahun 600 – 750 Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993
Ma’ruf, Anas. Sejarah Ringkas Islam Sejak Kelahirannya sampai Perkembangannya Pada Pertengahan Pertama Abad 20 Jakarta: Djambatan, 1994
Pulungan, J. Suyuthi. “Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan AL-Qur’an”, Disertasi Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1993
Rahman, Afzalur. Muhammad Saw Encyclopedia of Seerah London: The Muslim Schools Trust, 1981
Syarif, Ahmad Ibrahim. Daulat al-Rasul fi al-Madinah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1972
Zubaedi, “Pelajaran dari Peristiwa Hijrah Nabi”, dalam Harian Umum Suara Merdeka, Sabtu, 21 Pebruari 2004
Muslim ibn al-Jajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, juz I Beirut: Dar al-Fikr, 1987
Jamjam Ahmad Yusepa, “Era Baru Kebangkitan Islam” dalam Harian Pikiran Rakyat, Jumat, 04 Pebruari, 2005
Ulil Abshar Abdalla, “Muhammad: Nabi dan Politikus” dalam http://www.mediaindo.co.id. 14 Mei 2004

Tinggalkan komentar