SEJARAH PARTAI PARTAI ISLAM DI INDONESIA

SEJARAH PARTAI PARTAI ISLAM
DI INDONESIA
Mhd. Saleh Umarella
Pendahuluan
Membincangkan tentang Islam di Indonesia tidak akan habis dengan tulisan beberapa halaman saja. Islam di Indonesia memang sangat komplek. Hal ini karena umat Islam di negeri ini adalah umat yang mayoritas, sehingga tidak mungkin tidak melibatkan umat Islam dalam setiap hal dan peristiwa yang terjadi di negeri ini. Tak terkecuali dalam hal-hal yang terkait dengan permasalahan politik, atau hubungan antara umat Islam dengan negara.
Sejak lama para pemimpin Islam di negeri ini berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar umatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Sesudah lama terkunkung oleh kebijaksanaan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memang memberi peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun sampai lebih dari lima puluh tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, citra tentang kemisknan dan keterbelakangan itu masih juga belum terhapus. Sebagian besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal: pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materil kurang menguntungkan, skor kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial ekonomi yang juga rendah.
Sejak awal, para pemimpin dan aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu. memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya memperoleh kekuasaan. Sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tindakan dan pikiran orang lain dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik, kekuasaan sangat penting. Apa pun tujuan ahir yang hendak diperjuangkan, setiap aktivis harus mencapai tujuan antara, memperoleh kemampuan mempengaruhi orang dan proses kebijakan. Dengan kata lain, harus memperoleh kekuasaan. Tujuan akhir seperti mengurangi kemiskinan rakyat pasti memerlukan kemampuan mempengaruhi proses kebijakan publik.
Sejarah Partai-partai Islam
a. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia berhadapan bukan saja dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang Cina. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam, SI tahun 1912) mulanya diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya ke segenap penjuru tanah air pada waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan penduduk dari bawah sampai atas, lebih karena didorong oleh perasaan seagama.
Akan tetapi dalam lapangan politik, kalangan Islam tidak berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam ke dalam dua kelompok, tradisionalis dan modernis mulai berkembang pada masa ini. Dan dalam bidang politik kalangan tradisionalis belum menjadi penting sehingga kalangan pembaharulah yang lebih banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu, perbedaan dalam politik di zaman Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis sendiri dengan kalangan tradisionalis, melainkan antara kalangan modernis sendiri. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama.
Dalam bidang sosial, partai-partai Islam dapat bekerja sama sesamanya dan dengan organisasi sosial Islam dalam fedrasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1935, tetapi dalam bidang politik, masing-masing kelihatan bergerak sendiri-sendiri. Ketika Gabungan Politik Indonesia (Gapi) didirikan pada tahun 1939, PSII (partai Syarekat Islam Indonesia) hanya bersedia masuk di dalamnya setelah mendapat jaminan bahwa kelompok Salim (Anggota yang sudah dipecat) tidak akan diajak. Sedangkan Komite Kebenaran dari Kartosuwirya berada di luar Gapi dan MIAI.
Pada masa pendudukan Jepang, MIAI kembali didirikan di Jakarta tanggal 5 September 1942, federasi ini kemudian diubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi) pada akhir tahun 1943. namun baik MIAI maupun Masjumi pada zaman jepang ini tidak meliputi organisasi-organisasi di Luar Jawa karena pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu. Anggota anggota MIAI di Jawa pun terbatas pada organisasi-organisasi Islam yang diakui.
Satu perkembangan menarik pada masa ini adalah peluang yang diberikan Jepang terhadap ulama untuk berkiprah dalam bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi agama yang berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama mulai tertarik untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat negatifnya adalah berkurangnya jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada usaha menjaga keperluan rohani umat karena pindah ke kota-kota.
b. Kelahiran Partai Politik Islam
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada sejak zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut organisasi-organisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu tepat, sebab kala itu negara Indonesia belum merdeka.
Sesaat setelah kemerdekaan, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan partai. Meskipun pada awalnya, kalangan Islam menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah persatuan rakyat lahir batin seteguh-teguhnya, dan pendirian partai-partai dapat memecah belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat menerima alasan pemerintah bahwa dengan berdirinya partai-partai maka berbagai aliran dalam masyarakat mendapat penyaluran dan dapat dipinpin ke jalan yang teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik.
1. Masjumi
Atas dasar itu, diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7 – 8 November 1945 yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan untuk mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia, Masjumi, yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya, hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Muhammadiyah termasuk pembaru (modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya bersifat tradisional dalam sosal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam soal-soal dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun 1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatu an Umat Islam Indonesia.
Organisasi-organisasi Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan kembali. Di Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah dan al-Ittihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara Yogyakarta dan Sumatera Utara secara politis pulih.
Keanggotaan dalam Masjumi ada dua macam: perorangan dan organisasi. Anggota perorangan minimun berumur 18 tahun atau sudah kawin; ia tidak dibenarkan merangkap keanggotaan partai lain, dan mereka mempunyai hak suara, sedangkan anggota organisasi (disebut anggota istimewa) mempunyai hak untuk memberikan nasehat atau saran. Suatu organisasi dapat menjadi anggota Masjumi jika disetujui oleh lebih dari separuh anggota istimewa yang sudah ada.
Betapapun inginnya orang bergabung, tetapi akhirnya semua anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan partai. Ini terjadi pada puncak perpecahan antara Soekarno dan Masjumi. Sekurang-kurangnya pada saat ketidak percayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya ketidak percayaan Masjumi atas Soekarno, meningkat. Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi Partai Komunis Indonesia.
Pimpinan partai, setelah bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa, melepaskan ikatan antara anggota istrimewa dan Masjumi (8 September 1959). Kebijaksanaan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasibersangkutan sekiranya Masjumi sendiri mendapat hambatan dalam geraknya. Memang, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa bubar oleh perintah Soekarno.
2. Perti.
Partai Politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirika di suatu Pesantren di Candung, dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng pertahanan golongan tradisionalis terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran dan gerakan modern.
Pada masa pendudukan Jepang, Perti banyak terlibat dalam bidang pendidikan dan sosial. Pada tahun 1944, Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam di seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Sehubungan dengan pengumuman pemerintah agar rakyat mendirikan partai politik, pimpinan Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka suatu partai politik tersendiri. Keputusan ini diamil pada tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22 – 24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan sendiri adalah : pertama, kelihatannya mereka tidak cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk menjadi partai politik) dan kemudian dengan Masjumi (sebagai transformasi dari MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para pemimpin Perti cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan ini menurut mereka lebih pula mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi partai daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.
Dalam perkembangannya, Perti memperlihatkan kegigihan dalam hubungan dengan mazhab Syafii. Anggaran Dasar Partai tahun 1953 menekankan kelanjutan hidup partai. Partai “tidak boleh dibubarkan”; partai “harus hidup dari abad ke abad sebagai Benteng pertahanan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bermazhab Syafii”.
3. Partai Syarikat Islam Indonesia.
Partai Syarikat Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia, karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat Islam (SI, 1912). Tetapi sebab langsung partai tersebut didirikan kembali padahal sebelumnya telah ada kebiulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagai satu-satunya partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin membentuk kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi ditolak oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin; mereka bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.
Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak mempunyai perikatan dengan Masjumi. PSII masuk kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara yang sedang menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga partai merasa perlu menanggulanginya. Suatu konperensi mewajibkan pimpinan partai menghubungi Masjumi guna mencari penyelesaian dalam kelangsungan hidup bernegara, persatuan Islam dan umumnya orang Indonesia. Tetapi sampai Masjumi dibubarkan pada tahun 1960 hubungan seperti itu tidak pernah dilakukan.
4. Nahdatul Ulama
Organisasi ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air, serta uaha mempertahankan ajaran tradisional dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul Aziz ibn Saud.
Perhatian NU dalam bidang politik terlihat kentara pada masa revolusi. Organisasi ini mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kekurangserasiannya dalam Masjumi. Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU, Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan sebagai badan legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja. Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil pedoman agama.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU (tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak disetujui oleh pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan partai politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada kongresnya di Palembang akhir April 1952.
Pada Pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai Nasional Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%). Partai-partai Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara.
Dekrit presiden 5 Juli 1959 menandai berakhirnya era demokrasi parlementer dan dimulainya suatu tatanan politik yang disebut era Demokrasi terpimpin. Dekrit ini pada gilirannyamemberikan peluang terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soekarno.
Menyikapi sistem demokrasi terpimpin ini, kekuatan politik Islam terpilah ke dalam dua kelompok; kelompok pertama, Masjumi, menilai bahwa sistem demokrasi terpimpin otoriter, sitem demikian merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, NU, PSII dan Perti yang tergabung dalam Liga Muslimin menilai dukungan terhadap sistem ini sebagai sikap yang realistik dan pragmatik.
Pada periode antara tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang sengit dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih agresif dalam mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.
c. Masa Orde Baru.
Pada periode awal pemerintahan orde Baru, kekuatan partai Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969 partai-partai Islam mensponsori program-program “hari peringatan Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan Masyumi), yang kedudukannya sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional dan midernis yang sebelumnya mengalami keretakan.
Namun, keinginan para pemimpin partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai mengambang setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai usaha dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi partai Islam. Namun mereka mulai merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Keadaan itu tentu saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan aktifis politik Islam, karena berbagai tekanan dan larangan itu justru berasal dari pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah mereka bantu dalam masa penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan kenyataan yang mereka hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi kekuatan politik Islam dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.
Sebagai bagian dari desain restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu meneruskan pengendalian partai politik melalui penyederhanaan jumlah partai politik yang ada. Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok sritual-material; kedua, kelompok material spritual; dan ketiga adalah kelompok karya.
Setelah sempat mendapat ganjalan karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk dalam kelompok sprituil, akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua koalisi di DPR. Pertama, kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik, dan kedua, kelompok sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Setelah melalui serangkaian perundingan dan musyawarah, pada tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta berhasil disepakati pendirian partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam “konfederasi” partai-partai Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi maksimal dari unsur-unsur yang berfusi yang ditandai dengan upaya pengalokasian kekuasaan partai berdasarkan perolehan suara pada pemilu 1971.
Pada awal dekade 1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama kalinya mengemukakan gagasannya untuk menerappkan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.
Muncul reaksi yang beragam dari berbagai kalangan umat Islam atas rencana tersebut. PB HMI pada awalnya melakukan penolakan, namun akhirnya akhirnya melunak setelah KAHMI yang kontrol oleh Nurkholis Majid dkk mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan dengan masyarakat dan pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU Parpol dan Ormas disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa “Pancasila bukan Agama dan Agama tidak diPancasilakan”. Sementara reaksi penolakan muncul dari pemimpin-peminpin masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Tragedi Tanjung Priok yang hingga kini belum dapat diselesaikan secara penuh merupakan ekses dari penolakan ini.
Di tengah meluasnya keragua-raguan dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan dengan menerima azas tunggalpaling dahulu. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan ini. Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah merembet ke tubuh NU hingga masing-masing faksi yang bertikai saling memperebutkan dukungan pemerintah. Kedua, munculnya tantangan yang luas di masyarakat terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan kelompok mana yang lebih dulu menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti merupakan kesempatan gerakan “pemikiran baru” di NU untuk memperoleh kepercayaan kembali negara terhadap NU.
Akhirnya, munas NU di Situbondo berhasil mengambil keputusan strategis menyangkut kembalinya NU sebagai organisasi sosial secara penuh yang berarti melepaskan dirinya secara organisatosri dengan PPP. Langkah ini kemudian dikenal sebagai kembali ke Khittah 1926. Dengan diterimanya Pancasila sebagai azas tunggal oleh partai-partai politik Islam, maka dapat dikatakan parta-partai Islam sudah tidak ada lagi sejak saat itu.
Penutup
Salah satu isu menarik dalam perkembangan Islam di Indonesia di masa modern adalah kembali berkiprahnya partai-partai politik Islam dalam pemilihan umum. Ada dua macam partai yang dapat disebut sebagai partai Islam, yaitu; pertama, partai yang berazaskan Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Nahdatul Ummah (PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia, PPNUI), kedua, partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.
Fenomena munculnya kembali partai-partai politik Islam ini menarik sebab hampir selama masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi oleh pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan pengawasan ketat terhadap pergerakan dan partai politik muslim.
Fenomena munculnya kembali partai-partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi justru menjadi pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam dua kali pemilihan umum terakhir, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu menjadi milik partai-partai Islam, pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat Nurwahid dari PKS. Kita tentu masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan dilakukan oleh partai-partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah partai-partai ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di negeri ini, ataukah partai-partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di kancah perpolitikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Andree Fielard, Islam et Armee Dans L Indonesie Contemporaine de La Tradition, diterjemahkan oleh Aminuddin dengan judul Nu-Vis a Vis Negara, Yogayakarta : LKiS, 1999
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafiri Pers, 1987.
Ira M. Lopudus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Mohtar Masoed, dalam Aminuddin, Kekuatan islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah RuntuhnyaRezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Sahar L. Hassan, Kuat Sukardiono, Dadi M. H. Basri, Memilih Partai Islam, Visi, Misi, dan persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998

Tinggalkan komentar