Kaji Ulang Perempuan Sebagai Pemimpin dalam Perspektif Hukum Islam

23 Mei 2009

Kaji Ulang Perempuan Sebagai Pemimpin dalam Perspektif Hukum Islam

La Jamaa*

Pendahuluan

Seirama dengan perkembangan zaman, wanita telah berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kaitan ini telah banyak wanita yang berhasil meraih jabatan- mulai dari yang rendah sampai posisi puncak dalam suatu lembaga atau negara. Bahkan sejarah telah mencatat beberapa wanita yang jaya di panggung politik dan menduduki jabatan menteri, wakil presiden hingga presiden atau perdana menteri.

Dari realitas tersebut telah muncul polemik di kalangan umat Islam, khususnya para ulama, berkiatan dengan pandangan Islam terhadap keberadaan wanita dalam jabatan-jabatan strategis di sektor publik itu. Polemik ini berawal dari pandangan tentang perbedaan struktur biologis antara laki-laki dan wanita yang berimplikasi pada peran yang diembannya dalam masyarakat. Dari struktur anatomi biologis, wanita dianggap memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan laki-laki.

Jelasnya, bahwa anatomi biologi laki-laki sangat memungkinkan menjalankan sejumlah peran utama dalam masyarakat (sektor publik) karena dianggap lebih potensial, lebih kuat dan lebih produktif. Organ reproduksi dinilai membatasi ruang gerak wanita, karena secara kodrati mereka akan hamil, melahirkan dan menyusui. Sedangkan laki-laki secara kodrati tidak memiliki fungsi reproduksi tersebut. Perbedaan itu melahirkan pemisahan fungsi dan peran serta tanggung jawab antara laki-laki dengan wanita. Dalam hal ini laki-laki dipandang cocok berperan di sektor publik sedangkan wanita dipandang cocok berperan di sektor domestik (rumah tangga).

Bahkan kata “wanita” itu sendiri dalam bahasa Arab mempunyai konotasi inferior (lemah lembut, pelupa, penghibur, akalnya kurang) berlawanan dengan “laki-laki” yang dalam bahasa Arab berkonotasi superior (cerdas, berpikir, dan kuat).1

Tampaknya pandangan tersebut didukung oleh tekstual QS. Al-Nisa (4): 34 bahwa:

عَلَى النِّسَاءِ الرِّجَالُ قَوَّامُونَ

Terjemahnya:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…’2

Terhadap ayat ini ada yang memahaminya secara zahir (tekstual), yang seakan-akan menunjukkan bahwa yang layak menjadi pemimpin hanyalah laki-laki. Sebaliknya wanita hanya layak dipimpin oleh laki-laki. Pemahaman seperti ini diklaim mencakup segala aspek kehidupan dan peran sosial masyarakat. Dengan pemahaman ini, maka wanita tidak bisa menjadi pemimpin apalagi pemimpin pada posisi puncak dalam sektor publik. Wanita hanya cocok berperan di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga.

Pemahaman tersebut mendasarkan argumentasinya pada sabda Nabi saw:

3 لا يفلح قوم و لوا أمر هم إمرأة (رواه البخارى عن أبى بكرى )

Artinya:

Tidak akan beruntung (sukses) suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.’ (HR Bukhari dari Abu Bakrah)

Namun masalahnya adalah apakah memang demikian makna ayat 3 surat al-Nisa di atas? Jelasnya, apakah teks QS. Al-Nisa; 34 mengandung makna bahwa hanya laki-laki saja yang dianggap memiliki kualifikasi (keahlian) sebagai pemimpin, baik sebagai kepala rumah tangga (sektor publik), maupun dalam kehidupan sosial masyarakat (sektor publik)? Kalau memang demikian pemahamannya, maka apakah tidak akan melahirkan image bahwa al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam telah melakukan diskriminasi terhadap peran sosial antara laki-laki dengan perempuan? Pertanyaan ini perlu didiskusikan lebih lanjut.

Berdasarkan asumsi di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis tentang perempuan yang menduduki jabatan kepala dalam perspektif hukum Islam.

Perempuan Sebagai Pemimpin dalam Islam

Secara biologis laki-laki dan perempuan memang memiliki anatomi yang berbeda. Dari sudut genetika, laki-laki dan perempuan memiliki kromosom seksual yang berbeda. Perempuan memiliki dua kromosom yang sejenis, ykni XX, sehingga disebut homogametics seks. Sedangkan laki-laki memiliki dua kromosom yang berbeda, satu di antaranya X sama dengan perempuan, dan lainnya Y, khususnya bagi laki-laki. Kromosom laki-laki disebut heterogametics seks, karena ia memiliki dua jenis kromosom yang berbeda yaitu XY.4

Dalam proses pembentukan embrio (zygota/janin) manusia, jenis kelamin anak menjadi laki-laki atau perempuan sejak ditentukan oleh kromosom ayah (laki-laki). Apabila sel sperma yang membuahi ovum (sel telur) perempuan pada saat konsepsi memuat kromosom Y, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki. Sebaliknya, apabila sel sperma itu memuat kromosom X, maka anak yang akan lahir adalah seorang perempuan.

Di samping itu secara genetika, komposisi kimia tubuh laki-laki lebih komplek daripada perempuan. Kehadiran kromosom Y memungkinkan terjadinya tambahan kontrol pada berbagai jaringan sel dalam tubuh laki-laki. Kekhususan ini dijadikan alasan di kalangan ilmuan untuk menyatakan bahwa “laki-laki secara biologis memiliki kekhususan-kekhususan dan sekaligus memberikan pengaruh secara psikologis dan sosiologis.”5

Perbedaan anatomis tubuh dan genetika antara laki-laki ternyata didramatisir terlalu jauh sehingga seolah-olah secara substansial perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Padahal anggapan laki-laki lebih kuat, lebih cerdas dan lebih stabil, sedangkan perempuan itu lemah, kurang cerdas, dan emosinya kurang stabil, hanyalah persepsi steriotyp terhadap jenis kelamin.

Jelasnya, bahwa kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh minimal tiga macam kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.6 Tentang tingkat kecerdasan seseorang, sejauh yang diketahui tidak ada dua orang yang memiliki otak yang mirip. Bahkan, antara dua belahan otak pada seorang manusia sekalipun. Lekukan dan alur-alur yang terbentuk di antara keduanya sangat berbeda. Perbedaan itu akan menyebabkan perbedaan fungsi yang diperankan. Potensi dan fungsi otak tersebut dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaan otak bukan terletak pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi antara satu orang dengan orang lain secara umum. Siapa pun berpeluang menjadi cerdas.

Karena perkembangan kesdaran dan kecerdasan manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetik, akan tetapi ditentukan oleh faktor lingkungan dan kesempatan. Artinya, jika perempuan diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya, maka dia dapat meraih sukses seperti pemikir diperankan oleh Aisah-ummul mu’minin, Rabi’atul Adawiyah (guru para sufi) Sufyan al-Sauri, Sakinah binti Husain bin Ali, Syaikhah Syuhrah (guru Imam Syafi’i). Bahkan tuga nama perempuan yang menjadi guru tokoh mazhab yaitu Mu’nisat al-Ayyubiyah binti al-Malik al-Adil, Syamiat al-Taimiyah dan Zainab binti Abd. Katif al-Bagdadi, al-Syifa Kepala Pasar Kota Madinah, Khadijah binti Khuwailid, isteri pertama Nabi saw yang sukses di bidang bisnis serta masi banyak lagi yang lainnya.8 Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin itu telah melahirkan dua teori besar yaitu teori nature dan teori nurture.

Teori nature menganggap perbedaan peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati (nature=alam). Laki-laki memerankan peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, lebih kuat dan lebih produktif sedangkan peran sosial perempuan terhambat oleh organ reproduksinya, sehingga hanya diberi peran di sektor domestik.

Sedangkan teori nurture beranggapan, bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan kontsruksi masyarakat. Jelasnya, peran sosial yang selama ini dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin keagaamn yang absolut, sebenarnya bukanlah kehendak Tuhan dan juga bukan sebagai produk determinasi biologis sebagai produk konstruksi sosial masyarakat. 9

Dengan demikian kedua teori tersebut tidak identik sebagai ajaran agama yang bersifat mutlak kebenarannya. Justru sebaliknya penerapannya bersifat flesibel dalam kehidupan masyarakat.

Sebelumnya perlu disajikan beberapa prinsip kesetaraan laki-laki dan wanita. Dalam kaitan ini menurut Nasaruddin Umar, kesetaraan alaki-laki dan wanita, antara lain:

1) Laki-laki dan wanita sama-sama sebagai hamba Allah (‘abid)

2) Laki-laki dan wanita sebagai khalifah di bumi

3) Laki-laki dan wanita menerima perjanjian primordial

4) Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis

5) Laki-laki dan wanita berpotensi meraih prestasi.10

Maksudnya, bahwa dalam kapasitas manusia sebagai seorang hamba, laki-laki dan wanita berpotensi dan berpeluang yang sama untuk menjadi hamba ideal (orang bertakwa), sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Hujurat (49): 13. Di samping kapasitasnya sebagai hamba, manusia adalah khalifah di bumi. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya laki-laki dan perempuan harus bertanggungjawab sebagai hamba Tuhan.

Begitu pula laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanat dan menerima perjanjian primordial dengan Allah (QS. Al-A’raf (7): 172). Menurut Fakhru al-Razi, bahwa tak seorang pun anak manusia yang lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar tentang ekstensi Tuhan.11 Ini berarti, bahwa dari aspek penerimaan perjanjian primordial itu, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Semua ayat yang mengisahkan drama kosmis, yaitu cerita tentang keberadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan damir (kata ganti orang) untuk dua orang (huma) yang merujuk kepada Adam dan Hawa secara bersamaan. Penjelasan lebih rinci dikemukakan dalam QS. Al-Baqarah (2): 35, al-A’raf (7): 20, 22, 23 serta al-Baqarah (2): 187.

Dalam meraih prestasi maksimal pun, laki-laki dan perempuan mempunyai potensi yang sama sesuai dengan QS. Al-Nisa (4): 124

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

Terjemahnya:

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.’12

Dari ayat di atas dapat dikemukakan bahwa al-Qur’an telah mengakui kemitrasejajaran peran laki-laki dan perempuan. Bahkan secara substansial Rasulullah saw menegaskan:

13 إنما النساء شقا ئق الرجال (رواه أبو داود عن عائشة)

Artinya:

Sesungguhnya perempuan itu adalah belahan (mitra) laki-laki.’ (HR Abu Daud dari Aisyah)

Karena itu pemahaman terhadap ayat dan hadis yang berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan perlu diadakan reinterpretasi, termasuk fiqh. Dalam kaitan ini Amir Syarifuddin- salah seorang pakar ushul fiqh di Indonesia- mengatakan bahwa karena fiqh merupakan hasil pemikiran ulama mujtahid yang menurut dasarnya dapat mengalami perubahan/reformulasi dengan cara mengadakan reinterpretasi terhadap dalil yang menjadi sandaran bagi pemikiran tersebut. Walaupun memang tidak melakukan reformulasi secara keseluruhannya.

Dengan demikian seandainya potensi perempuan selama ini dianggap kurang berkembang yang menyebabkan kekurangberdayaannya dalam kehidupan masyarakat banyak disebabkan oleh budaya masyarakat yang mengitarinya dan bukan disebabkan oleh ajaran agama yang berdasarkan wahyu dan petunjuk Nabi dalam sunnahnya. Dalil-dalil yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam interaksi sosial bukanlah harga mati, mengingat tampilnya Siti Aisyah dalam kehidupan sosial dan politik dengan seizin Nabi dan begitu pula para sahabat Nabi belakangan tidak pula menghalanginya.14

Bahkan al-Qur’an mengabadikan citra perempuan ideal yang mempunyai kemandirian politik, seperti sosok Ratu Balqis, penguasan perempuan yang mempunyai kekuasaan besar (super power), yang dikisahkan dalam QS. Al-Naml (27): 23:

إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

Terjemahnya:

Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.’15

Diabadikannya kisah Ratu Balqis (penguasan kerajaan Saba pada masa Nabi Sulaiman) ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an sumber pokok hukum Islam sejak dini telah mengakui keberadaan perempuan yang menduduki puncak kepemimpinan di sektor publik. Dengan kata lain, ayat ini secara tersirat membolehkan perempuan menjadi pemimpin, termasuk sebagai kepala negara sekalipun.

Karena itu pula ayat dan hadis yang secara zahirnya melarang perempuan menjadi pemimpin, perlu dikaji. Ayat tersebut di antaranya adalah QS. Al-Nisa (4): 34

عَلَى النِّسَاء الرِّجَالُ قَوَّامُونَ

Terjemahnya:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan…’16

Ayat ini harus dipahami secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong sebab dalam ayat ini ada kalimat lanjutannya, yakni “karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,” (بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah “kepemimpinan dalam keluarga (rumah tangga), dan itulah derajat yang diberikan kepada laki-laki.”17 Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah (2): 228

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ …

Terjemahnya:

… dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya…’18

Ayat di atas menurut Rasyid Rida merupakan kaidah umum yang berbicara tentang kedudukan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, kecuali dalam masalah kepemimpinan dalam rumah tangga.20

Penempatan laki-laki (suami) sebagai kepala rumah tangga itu sebenarnya merupakan respon terhadap kondisi sosial masrakat Arab menjelang dan ketika al-Qur’an diturunkan. Dalam hal ini peran laki-laki mendominasi berbagai bidang kehidupan termasuk dalam sistem keluarga. Dalam masyarakat Arab, laki-laki bertugas membela dan mempertahankan seluruh anggota keluarga, bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga. Konsekuensinya, laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan.

Di samping itu ayat di atas secara tersirat menunjukkan bahwa secara kodrati, laki-laki “cenderung ingin melindungi perempuan (nature).”21 Dengan kata lain, bahwa makna kata قَوَّامُونَ sangat beragam, antara lain pelindung, pembimbing, pengayom, maupun pembimbing. Tampaknya, para mufasir dan fuqaha klasik lebih cenderung mengartikan قَوَّامُونَ sebagai pemimpin ketimbang makna-makna lainnya. Bahkan menganggap “ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik perempuan, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Perempuan berkewajiban menaati dan melaksanakan perintah laki-laki selama itu bukan perintah maksiat.”22

Namun sekian banyak mufasir dan pemikir Islam kontemporer memandang bahwa ayat 34 surat al-Nisa tidak dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan rumah tangga. Menurut Quraish Shihab, bahwa kata al-rijal dalam ayat al-rijal qawwamuna ‘alan nisa, bukan berarti laki-laki secara umum, tetapi adalah “suami” karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk isteri-isteri mereka. Jika yang dimaksud dengan kata “laki-laki” adalah kaum laki-laki secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian. Apalagi lanjutan ayat itu secara tegas berbicara tentang para isteri dan kehidupan rumah tangga.23

Alasan kedua yang dijadikan dalil agama yang melarang perempuan menjadi pemimpin adalah hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah, bahwa “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” Dalam hal ini hampir seluruh ahli fiqh yang melarang keterlibatan perempuan sebagai pemimpin menggunakan hadis ini sebagai dalil. Belakangan mereka memberikan argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang kurang akalnya dan labil mentalnya. Sehingga tertutup peluang bagi perempuan untuk menempati jabatan pimpinan pada segala bidang yang mengurusi urusan orang banyak.24

Menyangkut hadis di atas, Hibbah Rauf Izzat mengatakan bahwa sesungguhnya hadis ini harus dipahami dan dikonfirmasikan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra. Karena hadis ini disabdakan oleh Nabi saw dalam konteks peristiwa tertentu, yaitu orang-orang Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja mereka.24

Statemen Rasulullah saw mengenai kehancuran yang akan dialami kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan yang diungkapkan dalam hadis tersebut sejalan dengan realitas sejarah. Karena secara historis tercatat bahwa setelah Kisra menyerahkan kekuasaan kepada putranya, maka anaknya itu membunuh ayah dan saudara-saudara laki-lakinya. Setelah anak itu wafat, maka kekuasaan beralih ke tangan putri Kisra yang bernama Bavaran binti Syirawiyah bin Kisra, dimana di masa pemerintahannyalah kerajan Persia itu hancur.25

Dari asbab al-wurudnya dapat diungkapkan bahwa hadis ini khusus berkaitan dengan kasus kerajaan Persia. Kalau pun ingin dipandang berlaku umum, maka hadis ini berkaitan dengan kekuasaan umum yang dipegang oleh seorang penguasa yang umum berlaku dalam negara-negara kerajaan (monarki). Dalam tradisi kerajaan yang menggunakan sistem monarki, raja memiliki otoritas penuh (kekuasaan absolut) dan menangani semua masalah kenegaraan, baik militer, pemerintahan (eksekutif), legislatif maupun pengadilan (yudikatif). Sehingga tidak ada sistem pembagian kekuasaan sebagaimana terjadi dalam sistem pemerintahan modern dewasa ini.

Dalam kondisi sosial politik di negara mana pun dewasa ini, hampir tidak ada sebuah jabatan apa pun yang memiliki otoritas penuh untuk membuat keputusan (legislatif), melaksanakannya (eksekutif), dan sekaligus mengontrolnya (yudikatif). Sebagaimana konsep kekhalifahan yang menempatkan khalifah sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama yang memiliki otoritas yang sangat besar. Konteks hadis Abi Bakrah di atas, menunjukkan bahwa putri kaisar Persia diserahi segala urusan dalam posisinya sebagai ratu, seperti yang ditunjukkan oleh kata “wallau” (memberikan kekuasaan). Inilah yang tidak disetujui Nabi saw. Hadis di atas berlaku secara khusus. Sehingga jika ada seorang perempuan memiliki kemampuan (keahlian/kecakapan) untuk menjabat pimpinan, maka di pos kepemimpinan mana pun dibolehkan oleh hukum Islam.26

Dengan demikian dalalah hadis Abu Bakrah harus digunakan kaidah: al’’ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafzi (yang dilihat adalah kekhusan sebab, bukan keumuman lafaz).27 Qurasih Shihab pun memandang hadis ini bersifat khusus. Hadis tersebut ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.28

Dari segi dalil, hadis Abu Bakrah tidak cukup syarat untuk dijadikan pelarangan keterlibatan perempuan sebagai pemimpin. Karena menurut ushul fiqh, sebuah nash, baru dapat dikatakan menunjukkan larangan (pengharaman) jika memuat setidaknya hal-hal berikut:

(1) secara redaksional, nash dengan tegas mengatakan haram.

(2) nash dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahi

(3) nash diiringi oleh ancaman

(4) menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab menunjukkan tuntutan harus dilaksanakan.29

Dengan demikian hadis di atas tidak melarang secara tegas perempuan menjabat tugas kepemimpinan. Tegasnya, bahwa kehancuran kerajaan Persia saat dipimpin oleh putri Kaisar bukan karena dia seorang perempuan namun lebih disebabkan oleh kecakapan atau keahliannya sebagai kepala negara. Sebab keahlian dalam kepemimpinan tidak semata-mata berkaitan dengan kodratnya, sebagai laki-laki atau perempuan. Tetapi lebih dipengaruhi oleh lingkungan dan kesempatan seseorang dalam mengakses informasi ilmu pengetahuan. Tingkat keahlian dalam memimpin justru lebih logis dilihat dari sudut sosiologis, bahkan secara tekstual ada hadis yang mengkaitkan kegagalan suatu urusan yang dipercayakan kepada orang yang tidak ahli (profesional). Dalam hal ini Nabi saw bersabda:

30 إذا و سد الأمر إلى غير أهله فا نتظر الساعة (رواه البخارى عن أبي هر يرة)

Artinya:

Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka waspadalah terhadap datangnya kehancuran.’ (HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Kata kehancuran (al-sa’ah) dalam hadis di atas berarti kebinasaan atau kehancuran, baik kehancuran kehidupan dunia pada hari kiamat maupun kehancuran di dunia ini akan dialami oleh kaum atau bangsa yang menyerahkan urusan umum (apalagi urusan kenegaraan) kepada orang yang tidak ahli.

Dengan demikian hadis Abu Bakrah berkaitan dengan ketidakcakapan putri Kaisar sebagai ratu (kepala negara) Persia dalam memimpin negaranya. Hal ini terjadi karena secara kultural di negara Persia, yang dididik untuk menggantikan raja adalah laki-laki sedangkan anak perempuan tidak diberi kesempatan mendapatkan pendidikan yang memadai. Jadi, bukan karena kodratnya sebagai perempuan yang menjadi pemicu negara Persia hancur di masa pemerintahannya. Kalau saja sang putri Kaisar mempunyai keahlian dalam memimpin negara Persia, maka kehancuran itu belum tentu terjadi.

Dalam konteks kepemimpinan putri kaisar Persia itulah pendapat Yusuf Qardawi sangat tepat. Menurut pendapat Yusuf Qardawi, bahwa perempuan dilarang menjadi kepala negara karena potensi perempuan biasanya tidak tahan untuk menghadapi situasi konfrontansi yang mengandung resiko berat.31 Karena model kepemimpinan kepala negara zaman klasik memang mengurus semua hal termasuk dalam masalah pertahanan negara sedangkan dalam sistem pemerintahan sekarang telah terjadi pembagian kekuasaan. Kepala negara tidak harus terjun langsung dalam masalah-masalah yang memang telah menjadi kewenangan bawahannya.

Berdasar pada asumsi keahlian dalam memimpin suatu urusan itu, maka perempuan boleh menjadi pemimpin. Bukan saja dalam tingkatan yang rendah, tetapi boleh menduduki jabatan publik di posisi puncak. Bukan saja sebagai hakim seperti pendapat Abu Hanifah, tetapi bisa menjadi kepala negara sekalipun. Tegasnya, bahwa perempuan boleh menjadi kepala negara, asalkan dia profesional atau cakap dalam memimpin negara.

Penutup

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan, bahwa:

1. Ketentuan ayat al-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa berlaku khusus dalam kehidupan rumah tangga, yakni suami sebagai kepala keluarga, apapun status sosial atau jabatan isteri dalam sektor publik walau presiden sekalipun seperti ibu Megawati tetap sebagai isteri, tidak bisa berubah status menjadi suami.

2. Hadis tentang berita kehancuran kerajaan Persia karena dipimpin oleh seorang perempuan, adalah berlaku khusus untuk kondisi zaman itu dan realitas sosial kerajaan Persia serta ketidakmampuan Putri Kaisar sebagai kepala negara.

3. Perempuan yang memiliki keahlian atau kompetensi memimpin negara, boleh menjadi kepala negara dalam konteks masyarakat modern karena sistem pemerintahan modern tidak sama dengan sistem monarki yang berlaku di masa klasik dimana kepala negara harus mengendalikan semua urusan kenegaraan.

Daftar PUSTAKA

Anees, Munawar Ahmad. Islam and Biological Futures: Ethics, Gender and Technolog, Diterjemahkan oleh Rahmani Astauti dengan judul Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia: Etika, Gender dan Teknologi Cet. III; Bandung: Mizan, 1993.

al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Juz VIII. Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim. Sahih al-Bukhari, Juz V. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.

——-. Sahih al-Bukhari, Juz I. Semarang: Toha Putra, [t.th.].

Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: CV Indah Press, 2002.

Izzat, Hibbah Rauf. al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah Islamiyyah. Diterjemahkan oleh Baharuddin al-Fanani dengan judul Wanita dan Politik Pandangan Islam. Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.

al-Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilm al-Usul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Falah, 1987.

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relas Gender. Cet. I; Bandung: Mizan, 1999.

Pasiak, Taufik. Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al-Quran. Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.

Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Cet. II; Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996.

——-. Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Allazi Nansyuduhu. Diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan judul Anatomi Masyarakat Muslim. Cet. II; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000.

al-Qurtubi. Fi Zilal al-Qur’an, Juz II. Bayrut: Dar al-Tiras li al-‘Arabi, 1990.

Al-Razi, Fakhru al-Din. al-Tafsir al-Kabir, Jilid XV. Bayrut: Dar al-Ihya al-Tiras al-‘Arabi, 1990.

Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar, Juz II. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XVI; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.

Al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as. Sunan Abi Daud, Juz III. Bayrut: Dar al-Fikr, 1990.

Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 1999.

Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer Indonesia. Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iah Situbondo, Fiqh Rakyat Pertautan dengan Kekuasaan. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2000.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta; Paramadina, 1999.

al-Zuhaili, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I. Bayrut: Dar al-Fikr, 1989.

*Penulis adalah dosen pada Jurusan Syariah STAIN Ambon; Memperoleh gelar Magister Hukum Islam (M.H.I) dari Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar; Saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Jurusan Syariah STAIN Ambon.

1 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 18-19.

2 Departemen Agama R.I, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h. 123.

3 Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 160.

4 Munawar Ahmad Anees, Islam and Biological Futures: Ethics, Gender and Technology, diterjemahkan oleh Rahmani Astauti dengan judul Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia: Etika, Gender dan Teknologi (Cet. III; Bandung: Mizan, 1993), h. 200.

5 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta; Paramadina, 1999), h.

6 Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al-Quran (Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 15-17.

8 Zaitunah Subhan, op.cit., h. 57.

9 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relas Gender (Cet. I; Bandung: Mizan, 1999), 93.

10 Nasaruddin Umar, op,cit., h. 248-263.

11 Fakhru al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Jilid XV (Bayrut: Dar al-Ihya al-Tiras al-‘Arabi, 1990), h. 402.

12 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 142.

13 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz III (Bayrut: Dar al-Fikr, 1990), h. 120.

14 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer Indonesia (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 179.

15 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 596.

16 Ibid., h. 123.

17 Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2 (Cet. II; Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996), h. 528.

18 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 55.

20 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Juz II (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h.

21 Ratna Megawangi, op.cit., h. 195.

22 M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XVI; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 314. Lihat pula al-Qurtubi, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, Juz II (Bayrut: Dar al-Tiras li al-‘Arabi, 1990), h.

23 M. Quraish Shihab, loc.cit.

24 Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iah Situbondo, Fiqh Rakyat Pertautan dengan Kekuasaan (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 73.

24 Hibbah Rauf Izzat, al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah Islamiyyah, diterjemahkan oleh Baharuddin al-Fanani dengan judul Wanita dan Politik Pandangan Islam (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 108.

25 Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Juz VIII (Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), h. 160.

26 Tim Redaksi Tanwirul Afkar, op.cit., h. 76-77.

27 Ibid., h. 76.

28 M. Quraish Shihab, op.cit., h. 314.

29 Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1989), h. 46. Lihat pula Abdul Wahab al-Khallaf, ‘Ilm al-Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Falah, 1987), h. 113.

30 al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz I (Semarang: Toha Putra, [t.th.]), h. 21.

31 Yusuf Qardawi, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Allazi Nansyuduhu, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan judul Anatomi Masyarakat Muslim (Cet. II; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 299.


Demokrasi dan Stabilitas Nasional dalam Dinamika Perubahan

23 Mei 2009

Demokrasi dan Stabilitas Nasional

dalam Dinamika Perubahan

Zainal Abidin R. *

Pendahuluan

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini? Kesemuanya berpangkal pada perumusan UUD pada pertengahan 1945 di jalan Imam Bonjol. UUD yang bersifat fleksibel itu memungkinkan generasi-generasi berikutnya menjalankannya pada kondisi yang telah berkembang sesuai perkembangan dunia. Pada dekade 90-an sebagai awal terjadinya gerakan reformasi, bangsa Indonesia mengalami berbagai gejolak, mulai dari gejolak politik, sosial, ekonomi, budaya maupun gerakan separatisme yang menginginkan kemerdekaan.

Hal ini dapat menimbulkan instabilitas bagi bentuk negara kesatuan. Sebagai solusinya adalah terciptanya ketahanan nasional yang dilakukan secara dinamis, komprehensif, integral melalui seluruh aspek TANNAS dilaksanakan secara bersama, terbuka dan seimbang, sehingga gejala aspirasi yang lebih bernuansa ketidak-puasan terhadap kebijakan selama masa pemerintahan Orde Baru (baca: Soeharto) yang telah merekayasa Pemilu selama lima kali masa Pemilihan Umum, sehingga selalu menghasilkan Golkar sebagai mayoritas tunggal. Implikasinya berakibat pada tuntutan sebagian wilayah seperti Aceh untuk merdeka melalui referendum dapat diselesaikan dengan adil dan melalui mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat dimungkinkan karena dalam UUD Pasal 28 menyatakan bahwa: kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

Fleksibilitas dari UUD merupakan cerminan dari sebuah bentuk negara yang demokratis, karena pada hakekatnya, negara demokrasi akan mendelegasikan kewenangan atau meletakkan rakyat sebagai sumber kedaulatan dan penyelenggaraan kedaulatan, juga sekaligus pengawas terhadap kedaulatan. Esensinya “kedaulatan ada di tangan rakyat”. Pada tahun 1983, mekanisme menyampaikan aspirasi melalui referendum telah ditetapkan oleh MPR sebagai alat yang boleh digunakan untuk menyikapi perbedaan pendapat dan atau bahkan menjembatani aspirasi masyarakat seperti keinginan merdeka dari wilayah tertentu, sungguhpun kemudian dipertegas kembali pada tahun 1985. apakah mekanisme referendum yang akan digunakan oleh rakyat Aceh untuk menentukan merdeka, dapat dibenarkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kini meliputi 33 provinsi. Lebih lanjut akan dibahas pada bagian pembahasan berikutnya.

Rumusan masalah di sini mengacu pada metode penulisan sebagaimana terdapat pada tulisan Abdulkadir Besar, yang dimuat pada jurnal Ketahanan Nasional edisi Desember 1998 yaitu dengan membuat sejumlah proposisi yang kemudian dianalisis untuk memperoleh kesimpulan. Rumusan proposisi tersebut sebagai berikut: proposisi pertama; tiap pembentukan negara baru yang demokratis sebagai perspektif keinginan sebagian masyarakat di wilayah tertentu dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang menginginkan merdeka seperti rakyat Aceh dan Papua yang ingin menggunakan institusi referendum, merupakan fenomena di era reformasi, maka rakyatlah yang menentukan. Proposisi kedua; setiap pembentukan negara baru yang masih dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, maka akan menimbulkan gangguan pada stabilitas nasional dan merupakan tindakan inkonstitusional. Proposisi ketiga; dalam menegakkan demokrasi, maka derajat keseimbangan yang termanifestasi dalam sistem ketahanan nasional menjadi sangat menentukan.

Kajian Terhadap proposisi

Dalam menjabarkan proposisi pertama terdapat tiga aspek atau kategori yang diidentifikasi untuk dikaji dan dianalisis. Pertama; tentang pembentukan negara baru. Dalam kategori ini akan dibahas legalisasi Pancasila dan UUD 1945 sebagai sebuah sistem politik nasional Indonesia dalam keadaan diam dan dinamis bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum yakni tiap kebijakan (policy) maupun tingkah laku pemerintah termasuk para individu pejabatnya harus didasarkan pada hukum demi terlindunginya rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan.1 Pengertian tentang negara menurut Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul “Pengertian Tentang Negara Hukum” mengemukakan :

Negara hukum yang modern dianggap mempunyai kewajiban yang luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan senjata yang harus dikejar. Kemakmuran seluruh lapisan masyarakat yang harus dicapai. Berdasarkan tugas pemerintah ini, maka penguasa zaman sekarang turut serta dengan aktif dalam mengatur pergaulan hidup rakyat ramai. Lapangan kerja penguasa pada waktu ini jauh lebih besar daripada pemerintah model kuno”.2

Dalam pengertian negara berdasarkan hukum inilah, maka segala sesuatu yang bertautan dengan penyelenggaraan negara harus dikembalikan pada landasan atau dasar negara. Ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 sebagal dasar negara yang pembahasannya berlangsung dalam forum politik, dengan mengemukakan tesis-tesis ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah mencapai kliinaksnya pada tanggal 17 Agustus 1945 menunjukkan bahwa Pancasila merupakan political konsensus yang menjanjikan suatu komitmen untuk bersatu dalam sikap dan pandangan menuju hari depan yang lebih cerah yang dicita-citakan.

Mengapa komitmen bersatu dalam sikap dan pandangan merupakan penekanan daripada nilai-nilai Pancasila. Oleh karena pandangan filsafat dari ideologi Pancasila mengenai manusia seperti yang diutarakan oleh Abdulkadir Besar dalam merefleksikan sila kedua mengatakan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab adalah abstraksi dari kondisi konkrit manusia yang dalam realitasnya terus-menerus dalam keadaan keberagamaan dengan manusia lain. Pengertian adil sebagaimana tafsirannya ialah manusia yang berdimensional yang terdiri dari makhluk individu yang ada dalam diri manusia dan pengertian beradab adalah menunjukkan pada kemakhlukan sosialnya. Selanjutnya kehidupan antar manusia yang teranyami oleh hubungan ketergantungan dan interaksi saling memberi menunjukkan bahwa ideologi Pancasila memandang manusia adalah terbuka bagi pengaruh dari luar dirinya dan juga berdaya mempengaruhi lingkungannya.3

Dengan demikian ajaran epistemologi dari ideologi Pancasila mengenai masyarakat ialah: kebersamaan hidup antar sejumlah manusia yang terselenggara melalui interaksi saling memberi, sehingga konsep masyarakat ideal dari ideologi Pancasila ialah kebersamaan hidup yang berkeadilan sosial, yang terselenggara melalui interaksi saling memberi antar segenap warganya itulah masyarakat yang bersifat terbuka.

Pancasila dan UUD 1945 yang ditetapkan sebagai dasar negara yang bersifat terbuka dan lahirnya undang-undang atau peraturan lain sebagai sistem ketatanegaraan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 merupakan sebuah sistem politik nasional dalam keadaan diam, pengertiannya adalah hukum tata negara mempelajari negara dalam keadaan “diam” yakni mempelajari susunan organisasi dari suatu negara, yang menyangkut tugas, wewenang dan kewajibannya. Sedangkan hukum administrasi negara mempelajari negara dalam keadaan “bergerak” yaitu mempelajari bagaimana prinsip-prinsip hukum mengenai pelaksa-naan dari tugas, wewenang dan kewajiban negara tersebut, dimana lembaga yang merupakan institusi negara mempunyai hubungan kekuasaan antar lembaga yang outputnya memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditegaskan juga oleh Abdulkadir Besar bahwa negara sebagai suatu struktur, bereksistensi dalam keadaan diam. Negara menjadi hidup berkat digerakkan oleh manusia yang dalam khasanah istilah Indonesia dikenal dengan sebutan penyelenggaraan”.4

Integrasi budaya dari Sabang sampai Merauke menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang bersifat supraetnik yang akhir­-akhir ini menyebabkan tabrakan dengan latar belakang tradisi, agama dan etnis. Hal ini pula yang menyebabkan negara kehilangan daya dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Di pihak lain ketidakmampuan negara dalam mendistribusikan aset daerah secara merata ke seluruh daerah secara berimbang. Persoalan ini berlaku umum, maka konsekuensinya bagaimana negara Indonesia dapat diterima oleh rakyat. Gejala semacam ini apabila dibiarkan terus berlanjut, maka apa yang disinyalir oleh Anne Booth:

“Over time, growing rural population in many parts of the outer islands will be trapped in technologically stagnant agriculture, producing the same type of agricultural involution as characterized rural Java in the half century or so frorl 1920 to 1970 under these circumstances it is probable that a widening gap between Java and many parts of the outer island. To the extent that this gap is accompanied by contint.ing centralization of natural resources, the potential for growing resentment and unrest is obvious”.5

Pandangan di atas dikomentari oleh Fachri Ali bahwa sekiranya apa yang disinyalir oleh Anne Booth menjadi nyata dan berlaku umum di seluruh Indonesia, maka akan terjadi penolakan terus-menerus dari daerah-daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat yang mengakibatkan secara ideologis dan politik pemerintah pusat akan kembali memaksakan kekuasaannya untuk membuat daerah-daerah tidak berdaya. Inilah sebuah penyelewengan besar dimana negara tidak lagi berjalan di atas atau berdasarkan hukum akan tetapi hanya berdasarkan atas kekuasaan.6

Jika sekiranya ide pembentukan regara baru, misalnya, oleh masyarakat Aceh hanya didasarkan pada ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, maka pemecahan masalahnya adalah bukan pada pembentukan negara baru akan tetapi bagaimana kebijakan pemerintah mampu menjabarkan fleksibilitas Pancasila yang menjamin semua hak hidup warga negara baik secara individu maupun sosial untuk mencapai atau memperoleh rasa keadilan itu. Sebab bagaimanapun pembentukan negara baru dengan ideologi baru belum tentu memberikan jaminan rasa keadilan, hal itu tergantung pelaksanaan di lapangan nanti, dalam arti piranti hukum didudukkan pada posisi yang sebenarnya.

Adapun setiap usaha atau keinginan pembentukan negara baru yang masih dalam lingkup negara kesatuan berimplikasi, “mengubuh dasar negara dan membuyarkan komitmen bersatu” yang merupakan konsensus bersama yang telah diproklamirkan. Sedangkan untuk mengubah dasar negara merupakan wewenang MPR. Kewenangan MPR itu antara lain didasarkan pada :

1. Pasal I ayat (2) UUD 1945 menyatakan MPR adalah pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat.

2. Pasal 3 UUD 1945 menyatakan, MPR menetapkan UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN .

3. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.

4. Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, untuk mengubah UUD 1945 sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir, dan dalam ayat (2) menyatakan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.

Khusus dalam pembahasan yang berkaitan dengan keinginan masyarakat Aceh untuk merdeka atau mengubah UUD, maka dalam teori Hukum Tata Negara mengenal empat cara.7 Salah satu cara sebagaimana tuntutan masyarakat Aceh adalah melalui referendum.

Kategori kedua : Keinginan merdeka melalui referendum. Menurut Abdulkadir Besar, referendum ialah “suatu institusi yang dengannya suatu keputusan yang telah diambil atau sedang dipertimbangkan oleh suatu lembaga negara, dijadikan obyek untuk mendapatkan pendapat langsung rakyat.8

Menurut K.C. Wheare, prosedur referendum dilakukan dengan cara-­cara sebagai berikut :(1). Apabila ada kehendak untuk mengubah UUD, maka lembaga negara yang diberi wewenang untuk mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam suatu referendum. (2). Usul perubahan yang dimaksud disiapkan terlebih dahulu oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. (3). Dalam referendum, rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka. (4). Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur dalam UUD.9

Penggunaan istilah referendum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Soehardjo mengatakan referendum mempunyai posisi yang sangat unik, karena ia merupakan tahap akhir dan rangkaian ketentuan konstitusional yang telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sejak Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1976.10 Pada tahun 1983 Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Tap No. IV/MPR/1983 menetapkan undang-undang referendum yang bertujuan memproduksi penggunaan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Konsideran ketetapan itu antara lain :

l. UUD bahwa UUD 1945 yang merupakan UUD Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sesuai dengan kepribadian Indonesia yang memuat aturan-aturan yang paling mendasar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia serta dapat menjawab tantangan­-tantangan zaman dan mampu menjamin terciptanya cita-cita kemerdekaan nasional.

2. Bahwa oleh karena itu rakyat Indonesia menyatakan kebulatan tekadnya untuk mempertahankan dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

3. Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia, kedaulatan adalah di tangan dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4. Bahwa dalam rangka mempertahankan dan mengamankan Pancasila dan UUD 1945 telal dicapai konsensus nasional Orde Baru tentang pengangkatan sepertiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

5. Bahwa dalam rangka makin menumbuhkan kehidupan demokrasi Pancasila dan keinginan untuk meninjau ketentuan pengangkatan sepertiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, perlu ditemukan jalan konstitusional agar Pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk mengubah UUD 1945.

6. Bahwa oleh karena itu, perlu ada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang referendum.

Substansi daripada UU referendum 1983 ini memberikan sebuah penegasan terhadap kekuatan Pancasila dan UUD 1945 untuk tetap dipertahankan, namun demikian dalam rumwan UU tersebut dundangkan juga rumusan Bab dan pasal-pasalnya tentang kemungkinan perubahan UUD sebagaimana diatur dalam Bab XIV Pasal 104 sampai dengan Pasal 109 tentang Perubahan UUD. Petikan beberapa pasal dari pasal-pasal tersebut antara lain :

Pasal 105

(1) Apabila ada kehendak anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk mengajukan usul perubahan UUD 1945, maka usul tersebut harus diajukan oleh sekurang­-kurangnya empat fraksi seutuhrya dengan daftar nama dan tanda tangan seluruh anggotanya.

(2) Untuk mengambil keputusan secara mufakat terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan UUD 1945, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ayat (1) pasal ini, maka sekurang-kurangnya dua-pertiga dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang terdiri dari seluruh fraksi harus hadir.

Pasal 106

Apabila kehendak untuk mengusulkan perubahan UUD Republik Indonesia 1945 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 105 disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menugaskan Presiden/Mandataris untuk melaksanakan referendum sesuai dengan undang-undangnya.11

Sebagai tindak lanjut dari undang-undang referendum 1983 maka pada tahun 1985 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui Tap MPR No. 5 mengatur secara rinci tentang referendum. Dalam Bab I ketentuan umum Pasal 1 menyatakan:

a. Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.

b. Pendapat rakyat adalah pernyataan oleh pemberi pendapat rakyat.

c. Pemberi pendapat rakyat adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini.12

Dalam undang-undang referendum tahun 1985 ini, rakyat akan diminta pendapatnya secara langsung terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengrubah Undang-undang Dasar 1945. Nuansa referendum dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia sejak 1976, 1983 maupun 1985 pada dasarnya masih dalam masalah yang sama yakni ingin tetap memperrtahankan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Referendum belum menyentuh hal-hal lain seperti keinginan merdeka dan lain sebagainya. Akan tetapi pada prinsipnya referendum sudah diakui sebagai bagian dari konstitusi demokrasi Pancasila. Kalau dalam ketetapan MPR 1976, 1983 dan 1985 hanya mengenai perubahan Undang­-undang Dasar dan masih terbatas atas usul dan kehendak Majelis Pennusyawaratan Rakyat, pada waktu akan datang, terlebih dalam era retormasi dan untuk menuju sistem demokrasi yang melihat semua pendapat rakyat sebagai bagian dari komponen bangsa untuk diakomodasi, maka perlu memperluas substansi masalah sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat tanpa kecuali keinginan merdeka dari daerah-daerah seperti Aceh untuk diadakan referendum, bail secara langsung pada rakyat atau hanya melalui mekanisme Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai representasi rakyat.

Sekarang timbul pertanyaan. Apakah mekanisme referendum boleh digunakan untuk merespon gejala aspirasi rakyat Aceh yang menginginkan merdeka?. Jawabannya bisa ya dan bisa tidak, tergantung konteksnya. Kalau aspirasi ketidakpuasan itu dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial dan perlakuan tidak adil maka bukan pada gugatan terhadap Pancasila, akan tetapi lebih ditujukan pada kebijakan, sehingga tingkat penyelesaiannya adalah pemberdayaan atau difungsikannya kembali seluruh lembaga yang merupakan sistem politik ketatanegaraan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya. Lain halnya dengan keinginan mereka dengan alasan institusi ideologi Pancasila sebagaimana sekarang menjadi tuntutan untuk diberlakukannya syariat Islam di Aceh dan tampaknya telah direspon positif oleh lembaga tertinggi dan tinggi negara yakni MPR, DPR maupun pemerintah pusat, telah mendorong lembag, legislatif, eksekutif dan yudikatif daerah tingkat I Aceh, sehingga sudah disusun rancangan undang­-undang yang didasarkan atas syariat Islam yang disebut dengan “Nangro Aceh Darussalam”. Dalam pada itu usulan tersebut akan diteruskan kepada pemerintah pusat untuk diajukan kepada MPR; untuk diputuskan sesuai dengan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia tentang boleh atau tidaknya pemberlakuan undang-umdang terbatas tersebut. Di samping itu siapa saja atau rakyat mana yang akan dimintai pendapatnya berkaitan dengan gejala keinginan masyarakat Aceh untuk merdeka ? Pembahasannya pada kategori ketiga.

Kategori ketiga; Rakyatlah yang menentukan. Sebagai acuan dalam pembahasan kategori ketiga ini akan dibuka lembaran konstitusi Indonesia tentang apa itu demokrasi Pancasila. Dalam sistem politik, bangsa Indonesia pernah mengenal dan menganut tiga sistem demokrasi yaitu demokrasi Parlementer, demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila. Dengan hanya mengkhususkan pada uraian demokrasi Pancasila, maka pengaitan sistem politik dengan demokrasi merupakan cerminan dari kesadaran para politisi akan kemungkinan bahwa sistein politik yang dapat diterima oleh rakyat adalah sistem yang sesuai dengan nilai-nilai yang, dimiliki oleh rakyat. Kalau diamati secara rasional, demokrasi Pancasila bergerak di antara demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin. Hal ini semata-mata bukan hanya karena makna demokrasi secara umum adalah pengakuan terhadap hak-hak rakvat, akan tetapi demokrasi Pancasila telah memiliki ciri yang mengakar pada kehidupan masyarakat kita yakni “nilai-nilai masyarakat/mufakat” yang telah terlembaga dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Soemitro, (mantan Pangkopkantib) mengatakan, ideologi Pancasila yang bernafas modernistik, idealistik dan spiritualistik membuat bangsa Indonesia dinamis, haus akan kemajuan dan pembaharuan, dilandasi keimanan yang kuat, humanis dan mendambakan masyarakat demokratis baik politik maupun ekonomi. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang di dalamnya terkandung nilai-­nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.13

Mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka Pancasila diakui sebagai pandangan hidup bangsa yang tercermin dalam sikap gotong-royong, musyawarah, kekeluargaan, kebersamaan dan kebhinekaan yang kemudian terintegrasi dalam satu wadah yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau disimak sidang-sidang BPUPKI dalam menyiapkan kemerdekaan Republik Indonesia, maka pada masa sidang pertama (bulan Mei) tanggal 31 Mei 1945 BPUPKI bertempat di gedung Tyuuoo Sang-in (sekarang Dep. Luar Negeri ) dengan pokok acara pembahasan tentang Dasar Negara Indonesia (lanjutan) dan pembicaraan tentang daerah negara dan kebangsaan Indonesia (lanjutan) di situ telah dipetakan wiiayah Republik Indonesia dari Sabang sampal Merauke, menjadi delapan wilayah yang disebut dengan “Tumpah Darah Nusantura (Indonesia) atau Daerah Yang Delapan “, terdiri dari “seluruh Jawa meliputi Madura dan Galiyao (Kangean), seluruh Sumatera (Melayu), seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara). seluruh semenanjung Melayu (Malaka), seluruh Nusa Tenggara, seluruh Sulawesi, seluruh Maluku dan seluruh Papua (Irian Barat),14 menunjukkan komitmen kerakyatan dan kebersamaan yang ingin menyatakan keinginan bersama dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.

Kebersamaan ini pula yang akan dilibatkan dalam seluruh pengambilan keputusan mengenai bersatu atau bercerainya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis memang demikian karena latar belakang berdirinya bangsa Indonesia bukan berdasarkan atas saling intervensi atau saling menaklukan, akan tetapi atas permusyawaratan rakyat seluruh Indonesia melalui wakil-wakilnya. Lebih jelasnya dalam konstitusi dijelaskan bahwa sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar sebagai berikut :

l. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat).

2. Sistem konstitusional; pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (die gesamte Staatsgewalt lieg allein bei der Majelis). Pengertiannya adalah kedaulatan rakyat dipegang oleh yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat” sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

3. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di baxvah Majelis. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung-jawab adalah di tangan Presiden.

4. Presiden tidak bertanggung-jawah pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi dalam membuat undang-undang harus mendapat persetujuan DPR.

5. Menteri negara ialah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.

6. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Bukan berarti diktator melainkan tidak bertanggung-jawab kepada DPR akan tetapi hanya bertanggung jawab kepada MPR.15

Dalam sistem pemerintahan seperti yang disebutkan di atas, maka wujud dari demokrasi politik berdasarkan Pancasila sebagaimana yang ditegaskan dalam GBHN tahun 1993 adalah Demokrasi politik Pancasila pada hakekatnya adalah wujud kedaulatan di tangan rakyat yang diselenggarakan melalui musyawarah/perwakilan, berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Demokrasi Pancasila mengandung makna bahwa dalam menyelesaikan masalah nasional yang perikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berncgara sejauh mungkin ditempuh jalan musyawarah untuk mencapai mufakat bagi kepentingan rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara resmi, tetap menganut pembagian kekuasaan berdasarkan paham kekeluargaan. Dalam demokrasi Pancasila yang menganut paham kekeluargaan tidak dikenal bentuk-bentuk oposisi, diktator mayoritas, dan tirani minoritas. Hubungan antar lembaga pemerintahan dan antar lembaga pemerintahan dengan lembaga negara lainnya senantiasa dilandasi semangat kebersamaan, keterpaduan dan keterbukaan yang bertanggung jawab”.16

Jika memperhatikan bentuk negara yang dibahas dalam sidang­-sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 31 Mei 1945, pemetaan wilayah, dan sistem pemerintahan serta wujud kedaulatan yang menjunjung tinggi hak-hak rakyat, maka untuk memecahkan masalah Aceh apakah itu melalui referendum atau mekanisme lain, menurut tatanan politik dan sistem ketatanegaraan adalah mengandung arti bahwa “Setiap kehendak yang berkaitan dengan keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus melibatkan seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian apabila mekanisme referendum menjadi alternatif pengumpulan pendapat dari masyarakat secara langsung, maka konsekuensinya adalah seluruh rakyal Indonesia akan dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut. Jadi bukan hanya penjajakan pendapat terbatas di lingkungan atau wilayah dimana daerah yang bermasalah tersebut. Asumsi ini didasarkan atas sistem vang berlaku pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak mengenal sistem federalisme

Referendum juga bisa dilakukan dengan cara, pengumpulan pendapat melalui mekanisme sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena MPR berkedaulatan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebag,ai representasi rakyat seluruh Indonesia, berarti keputusan yang diambil oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan jelmaan dari seluruh keinginan rakyat Indonesia. Jika dalam pengumpulan pendapat tersebut apakah langsung kepada rakyat atau hanya oleh Majelis Pennusyawaratan Rakyat dalam menentukan hasil, apapun hasilnya harus diakui dan dijunjung tinggi oleh semua kalangan. Dengan mengemukakan alasan-alasan di atas, maka terjawab sudah kategori ketiga yakni “seluruh rakyat Indonesia berhak untuk menentukan pendapatnya atas keinginan merdeka masyarakat Aceh. Dengan kata lain apabila referendum dilaksanakan untuk meminta pendapat rakyat, maka bukan saja rakyat Aceh, akan tetapi meliputi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini bukan karena pendiskreditan terhadap rakyat Aceh, inilah sebuah penafsiran terhadap konstitusi yang berlaku di negara Kesatuan Republik Indonesia. dimana semua komponen bangsa harus mentaatinya.

Proposisi kedua berbunyi Setiap pembentukan negara baru yang masih dalam hukum wilayah Negara Kesatuar Republik Indonesia, maka akan menimbulkan gangguan pada stabilitas nasional (Instabilltas) dan merupakan tindakan inkonstitusional”.

Runtuhnya Orde Baru oleh gerakan reformasi merupakan angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia. Betapa tidak, selama 32 tahun masa kepemimpinan Orde Baru, seluruh aspirasi rakyat dipasung. Gerakan reformasi merupakan suatu antitesa terhadap Orde Baru. maka implikasinya tiada lain “membangun demokratisasi”. Itulah yang diharapkan banyak kalangan, terutama mereka yang, sangat konsern dengan wajah Indonesia baru dalam membangun sebuah masyarakat beradab (masyarakat madani). Opini masyarakat mulai dibentuk dalam kesadaran berbangsa dan bernegara yang benar, adil dan demokratis. Momentumnya bisa dilihat dari pelaksanaan Pemilu 1999 yang telah diakui keabsahannya terutama aspek “demokratis” walaupun masih dalam tanda petik.

Rakyat Indonesia telah lama dininabobokkan, sehingga George Mc. Turnan dalam karya klasiknya “National ard Revolution in Indonesia” sebaiaimana yang dikutip oleh Eep Syaefullah Fatah dalam bukunya ” Membangun Oposisi” menyatakan bahwa kendala besar bagi demokrasi di Indonesia sebagai negara baru dalam demokrasi adalah tabiat rakyatnya yang selalu menunggu arahan dari atas. Apakah tabiat rakyat yang demikian itu karena dominasi faktor feodalisme atau karena rekayasa politik oleh penguasa untuk mempertahan-kan hegemoni kekuasaannya dengan menginjak hak-hak rakyat yang berakibat pada perlawanan sporadis dari daerah-daerah yang pada hakekatnva salah dalam mengkonstruksi masalah dengan menuntut merdeka yang jelas jelas bertentangan dengan konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah pada akhirnya memicu terjadinya kekacauan dimana-mana. Kedongkolan rakyat terhadap kesalahan kebijakan selama Orde Baru perlu diselesaikan tanpa harus mengganggu substansi ideologi dan bentuk negara.

Negara memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan tegas kepada seluruh gerakan separatisme yang hendak mendirikan negara dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Tindakan yang diambil oleh pemerintah yang menjalankan konstitusi dengan sah dan legal terhadap setiap usaha-usaha yang ingin merongrong keutuhan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dapat dibenarkan. Karena pembenaran konstitusi sebagai alasan dasar, maka negara berhak mengambil tindakan sesuai dengan aturan-aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Gejala instabilitas Indonesia akhil-akhir ini sebenarnya bukan semata-mata alasan separatisme. Sebenarnya gejala aspirasi yang berkembang direspon secara wajar dan adil saja, Indonesia tidak separah yang sekarang ini. Robert A. Dahl dalam “Democracy and its Critic” (1989). Menyatakan pemberian kebebasan untuk berbeda pendapat dan pendirian; pengembangan martabat manusia dengan otonomi menentukan nasib sendiri yang disertai otonomi moral untuk bertanggung-jawab; serta kepastian untuk melindungi dan memajukan kepentingan tiap-tiap orang dilaksanakan, sudah cukup untuk menjamin terselenggaranya sebuah demokrasi yang sehat. Tesis ini sebenarnya lebih pada pembenaran terhadap pendapat yang ditulis oleh Abdulkadir. Dalam “Pendidikin Pancasila Dasar Negara”, yang menyatakan bahwa tiap sistem yang dikelola oleh manusia perlu dilindungi oleh kaidah moral. Tanpa perlindungan moral, sistem tidak terjamin keberhasilannya dalam mewujudkan tujuan.17

Angin segar dari gerakan reformasi pada esensinya membawa juga perubahan-perubahan konstruktif dengan lahirnya UU no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU no. 25 tahun1999 tentang pembagian keuangan pusat dan daerah adalah suatu keputusan yang sangat demokratis dan adil, hal ini sesuai dengan esensi UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasal oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Untuk menjawab proposisi kedua yang akan ditindaklanjuti pada pemhahasan proposisi ketiga ialah bahwa jika strategi demokrasi Pancasila dilaksanakan secara benar dan konsekuen, kesempatan terjadi gejolak pasti akan dapat dihindari, minimal akan berkurang secara signifikan tekanan-­tekanan dari daerah yang gencar menuntut pemerintah yang sekarang sehingga pemerintah dapat berkonsentrasi dalam melaksanakan pembangunan secara merata ke seluruh Indonesia sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat Indonesia. Dan sekaligus menekan usaha-usaha dari gerakan separatisme yang ingin merdeka. Dengan demikian stabilitas negara dan keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dalam keadaan aman dan terkendali. Jikalau diperhatikan makna yang terkandung dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Indonesia, ternyata bahwa dalam pasal 28, 29 ayat I dan 34 mempunyai makna yang amat dalam dan kontekstual, karena memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.

Dalam konteks di atas bila dikaitkan dengan pemikiran Mohammad Hatta, yakni penduduk Indonesia merdeka untuk berkumpul, berserikat, berpikir dan mengeluarkan pendapat supaya negara tidak menjadi negara kekuasaan. Dengan kata lain menjadi lebih demokratis, menjamin kebebasan berpolitik dan menyatakan pendapat mengenai pelaksanaan negara, sebenarnya bangsa Indonesia telah memposisikan diri sebagai bangsa yang demokratis dan modern, sama dengan bangsa-bangsa lain yang notabene demokratis tersebut. Pada prinsipnya stabilitas nasional suatu negara sangat tergantung pada pengaruh internal dan eksternal. Pengaruh internal yang sangat membahayakan seperti penyelenggaraan hak azasi, hak-hak politik rakyat dan pembangunan yang tidak merata ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sedangkan pengaruh eksternal berupa intervensi negara luar seperti yang diperlihatkan oleh Australia dalam keberpihakannya pada kasus Timor-Timur beberapa waktu lalu, disamping pengaruh di bidang ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.

Proposisi ketiga berbunyi “Dalam menegakkan demokrasi dan stabilitas nasional, maka derajat keseimbangan yang termanifestasi dalam sistem ketahanan nasional menjadi sangat menentukan” Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aspirasi masyarakat, kepentingan golongan diakomodasi dan diolah oleh suprastruktur dengan mengacu pada landasan idiil (Pancasila) dan landasan konstitusional (Undang-Undang Dasar 1945) serta landasan konsepsional (Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional). Para penggagas ketahanan nasional, berhasil menerjemahkan sistem politik nasional secara riil. Dimensi ketahanan nasional meliputi seluruh aspek bernegara dan bermasyarakat. Pengertian ketahanan nasional yang telah mengalami redefinisi oleh Abdulkadir Besar dapat dilihat dari dua sisi, yaitu definisi nominal dan definisi riil.

Dari sisi definisi nominal, ketahanan nasional merupakan kondisi dinamika suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman hambatan serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan : integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya”.18 Sedangkan dari sisi definisi riil Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamik suatu banggsa, berisi keuletan clan ketaagguhan, yang mengandung kemampuan mengemhangkan kekuatan nasional melalui pengelolaan integrasi gatra alamiah dan gatra sosial di bawah kendali gatra ideologi dan penetapan pendekatan jamak: kesejahteraan, keamanan, demokratik, dan kultural, dalam memajukan kesejahteraan bangsa dan mengatasi tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integrasi, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara”19

Dari pengertian ketahanan nasional yang telah dirumuskan oleh Abdulkadir Besar, baik yang bersifat nominal maupun riil telah melingkupi seluruh aktivitas masyarakat, dan menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia. Dalam defenisi nominal disebutkan bangsa yang kuat, ulet dan tangguh adalah bangsa yang mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam tantangan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Sedangkan defenisi riil, pengertian ulet dan tangguh melalui pengolahan gatra alamiah gatra sosial dalam bingkai gatra ideologi, demi tercapai kesejahteraan, keamanan, demokrasi dan kultur yang pada akhirnya dapat membatasi tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik dari dalam maupum dari luar.

Pertanyaan yang mendasar yang harus direspon agar supaya gejala aspirasi yang muncul dalam era reformasi ini dapat diselesaikan dengan baik, sehingga tercipta sistem ketahanan nasional Indonesia {sistem politik nasional Indonesia dalam kadaan dinamis) menjadi memadai bagi terselenggaranya kehidupan nasional yang tentram sekaligus sejahtera, dapat ditemukan dalam penjabaran seluruh gatra tanpa mengesampingkan salah satu perannya.

Dalam tulisan Abdulkadir besar tentang “Redefinisi pengertian Ketahanan Nasional, suatu usulan konstruktif’ terlihat bahwa seluruh gatra yang ada, dijelaskan, baik secara konsepsional filosofi maupun bentuk penjabarannya secara riil. Hal ini nampak pada sub judul “Nilai Kedudukan Antar Kedelapan Gatra”, yang tidak akan mungkin dapat dicapai secara penuh tanpa adanya pengakuan bahwa kedelapan aspek kehidupan nasional itu berperan sama pentingnva dan harus berperan secara integratif.20 Hakikat kehidupan nasional seluruhnya tercakup dalam delapan gatra, oleh karena itu apabila salah satunya tidak mendapat akses yang sama dengan gatra lain, maka menyebabkan kehidupan nasional terganggu. Contoh, terjadinya gejolak dimana-mana akibat kondisi kehidupan ekonomi yang tidak merata dapat mempengaruhi kondisi keamanan menjadi terganggu.

Cara yang baik dalam menangani gejala aspirasi masyarakat yang akhir-akhir ini intensitasnya semakin tinggi adalah dengan merealisasikan konsep ketahanan nasional secara integral dan merata ke seluruh wilayah Republik Indonesia. Mengapa demikian, karena ketahanan nasional tidak lain ialah kondisi dinamik yang meliputi segala aspek kehidupan yang terintegrasi dari bangsa dan negara Indonesia. Isi ketahanan nasional mengandung dua aspek: (1). Kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survival), identitas dan integritas bangsa dan negara. (2). Kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan kehidupan bernegara dan berbangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Adalah merupakan suatu yang jelas dan nyata bahwa inti dari ketahanan nasional ialah manusia Indonesia yang berbudaya (Civilized Indonesia Human Being). Hanya manusia Indonesia yang berbudaya memiliki kemampuan dan kekuatan untuk survive dan sekaligus berkembang yang berarti dapat hidup secara wajar, sejahtera dan bersaing dengan bangsa-­bangsa yang lain.

Menyadari gejolak yang terjadi di Aceh, sebetulnva hanyalah sebuah tuntutan terhadap sistem politik nasional yang berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain kedelapan gatra selama pemerintahan Orde Baru juga Orde Lama belum terrealisasi secara integral. Contohnya, pada saat pemenntahan Orde Lama, Aceh diberikan Daerah Istimewa, namun tidak pernah memperoleh keistimewaan tersebut. Begitu juga pada masa Orde Baru, pengakuan terhadap daerah istimewa hanyalah semboyan tanpa terrealisasi. Mencermati gejala tersebut, maka sistem pemerintah yang bersifat sentralistik harus diganti dengan desentralistik, agar supaya setiap daerah mampu mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memberi jaminan kehidupan kesejahteraan yang nyata dan memadai, sekaligus dapat meredam potensi konflik antara pemerintah pusat dengan daerah, sehingga terjalin hubungan sinergi yang akan menghasilkan kekuatan, baik secara ekonomi, politik, budaya maupun pertahanan keamanan.

Penutup

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari rangkaian pembahasan dalam tulisan ini secara keseluruhan meliputi ketiga proposisi dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjamin adanya suatu perkembangan yang wajar dan teratur, sebaiknya sistem politik jangan sampai mengalami penibahan yang mendasar secara mendadak, karena perubahan yang bersifat radikal, substansial yang tergesa-gesa akan mempengaruhi kondisi masyarakat menjadi terkooptasi oleh perubahan tersebut yang pada akhirnya mendorong berbagai keinginan yang saling bersinggungan dengan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seperti halnya dengan keinginan masyarakat Aceh untuk merdeka, walaupun diakomodir oleh konstitusi melalui referendum akan tetapi biarlah disikapi secara perlahan-lahan dan sepenuhnya diserahkan keputusannya kepada rakyat seluruh Indonesia untuk menentukan sikap.

2. Tidak ada toleransi bagi setiap gerakan sepratisme untuk mendirikan negara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan sebagai konsekuensinya, pemerintah atas nama negara berhak mengambil tindakan atas segala bentuk kegiatan _yang merongrong kedaulatan negara.

3. Menyadari gejala aspirasi masyarakat yang merupakan tuntutan terhadap kehidupan yang lebih manusiawi dan sejahtera, maka sistem politik nasional yang terrealisasi dalam konsep ketahanan rasional yang terdiri dari delapan gatra harus dilaksanakan secara integral dan komprehensif.

Daftar Pustaka

Besar, Abdulkadir, Pendidikan Pancasila Dasar Negara, Jakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Jakarta, 1998

Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum Bandung: Alumni, 1983

Armawi, Armaidy, Regionalisme, Nasionalisme dan Ketahanan Nasional (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1998

Wheare, K.C. Modern Contitution, London, Oxford University Press, 1996

Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia Jakarta: PT Pustaka Cidesindo, 1998

PPKI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jakarta: Sekertriat Negara, 1995

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

Chaidir Basrie, (ed.), Pemantapan Pembangunan MelaluiPendekatan Ketahanan Nasional, Jakarta: Program Magister Ketahanan Nasional UI, 1994

* Dosen Jurusan Ushuluddin STAIN Ambon; Memperoleh gelar Magister (M.Si.) dari Program Pascasarjana UGM Yogyakarta; dan sedang menempuh pendidikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Saat ini menduduki jabatan sebagai Pembantu Ketua II STAIN Ambon.

1 AbdulKadir Besar, Pendidikan Pancasila Dasar Negara, Jakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Jakarta, 1998), h. 1

2 Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983), h.

3 Abdulkadir Besar, op. cit., h. 18

4 Ibid., h. 41

5 Armaidy Armawi, Regionalisme, Nasionalisme dan Ketahanan Nasional (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1998), h. 125

6 Ibid.

7 K.C. Wheare, Modern Contitution, (London, Oxford University Press, 1996).

8 Abdulkadir Besar, loc. cit.

9 K.C. Wheare, loc. cit.

10 Soehiono, op. cit., h. 42.

11 Ibid., h. 38-39

12 Ibid., h. 9

13 Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Cidesindo, 1998), h. 26

14 PPKI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), (Jakarta: Sekertriat Negara, 1995), h. 59-60

15 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 181-182

16 Ibid., h. 174

17 Abdul Kadir Besar, op. cit., h. 41

18 Chaidir Basrie, (ed.), Pemantapan Pembangunan MelaluiPendekatan Ketahanan Nasional (Jakarta: Program Magister Ketahanan Nasional UI, 1994), h. 76

19 Ibid.

20 Ibid., h. 5


Membangun Demokrasi Melalui Penegakan Hukum

23 Mei 2009

Membangun Demokrasi Melalui

Penegakan Hukum

Husin Wattimena*

Pendahuluan

Kondisi sistem hukum dan penerapannya di masa Orde Lama maupun Orde Baru pada semua aspek kehidupan, hasilnya dengan jelas bukan masyarakat yang sadar hukum’ akan tetapi sebaliknya menimbulkan penghianatan hukum yang telah merajalela di dalamnya, Hal ini terjadi disebabkan adanya kepentingan politik disertai alasan sikap patriotisme yang tidak jelas dalam membela kepentingan bangsa, yang ada bukan kepentingan bangsa yang diperjuangkan akan tetapi kepentingan kelompok, ras, agama dan golongan yang diperjuangkan.

Pernyataan sebagaimana di atas memiliki relevansi dengan pendekatan Ernest Gellner tentang primordialisme yang cenderung ke sektarianisme yang melihat transformasi sosial yang ada adalah perubahan transisi dari dunia lama penuh keragaman budaya secara tidak langsung terikat pada tatanan politik tertentu ke dunia baru yang ditandai dengan masyarakat anonim, sangat dinamis, tetapi keluar tertutup karena sangat diwarnai kultus kekerabatan1.

Pemikiran Ernest tersebut, sejalan dengan sistem Caturtunggal Demokrasi Terpimpin di tahun 1960-an masa kepemimpinan Presiden Soekarno, di zaman orde lama, saat dimunculkan hakim, jaksa, dan polisi bekerjasama dengan birokrasi lokal dan militer untuk menjamin control Negara, yang dengan mudah menjelma menjadi Negara intelejen besar-besaran pada lingkup terdekat di sekeliling Soekarno, dimana saat itu dibentuk kopkamtib, intelejen keadaan perang, yang mendapatkan kekuasaan dan membinasakan aliran kiri pada pertengahan tahun 1960-an, dan sistem administrasi saat itu, secara resmi pada pengadilan didasarkan Undang-undang No.14/1970, keadaan ini mencerminkan penurunan status pengadilan sejak masa itu, yang menetapkan kembalinya para hakim sebagai fungsionaris Negara pada awal tahun 1960-an2, tidak terelakan hal ini membuat peradilan tunduk hampir mutlak pada kebijakan eksekutif, dengan demikian hukum dianggap lemah dan tak berdaya ketimbang eksekutif, padahal seharusnya hukum yang semestinya menguasai dan mengatur eksekutif, dalam arti eksekutif bekerja berdasarkan atas hukum yang berlaku.

Sederetan keputusan pengadilan di masa Orde Soeharto yang menonjol pada tahun 1990-an, sejauh itu menunjukan pengadilan tidak mampu bertindak melawan kehendak para eksekutif (kroni Soeharto/mereka yang ada di sekeliling lingkungan Soeharto atau orang terdekatnya), dengan kepiawaiannya, keputusan-keputusan yang ditempuh terhadap kasus seperti kedung Ombo, majalah tempo, dan kasus Marsinah, tidak menghasilkan tanggapan yang berarti bagi suatu proses hukum, dengan demikian upaya yang ditempuh oleh pihak pemerintah saat itu membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM ) untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut, akan tetapi pada setiap penyelesaian kasus tersebut, hasil akhirnya tetap tidak berdampak perubahan, walaupun terdapat kritik yang tersebar luas, baik secara domestik maupun internasional, pemerintahan saat itu dengan angkuh tetap mematahkan proses hukumnya, politisasi hukum berjalan, bahkan sampai tidak dimunculkan ke permukaan sebagai suatu legitimasi pembenaran hukum terhadap hal-hal tersebut.

Hal ini menunjukan pengadilan secara politis telah ditundukan oleh eksekutif, akibatnya kedudukan hakim saat itu tidak berperan dengan semaksimalnya, dan mereka para hakim hanya sebagai oknom yang dijadikan sebagai alat politik.3

Sekelumit ungkapan Adi Andoyo di atas merupakan fenomena kehidupan sistem hukum yang disalah gunakan oleh pemerintahan masa orde baru, atau masa Soeharto, merupakan fenomena kehidupan berdemokrasi, hal mana menjadi perhatian terhadap kita bahwa kondisi ini merupakan peran birokrasi pemerintahan yang rapuh dalam pengelolaan sisitim berdemokrasi di Indonesia. Dengan demikian dianggap merupakan praktek penyalagunaan wewenang berdemokrasi yang baik dan berkeadilan bagi bangsa ini, termasuk penyalagunaan wewenang hukum terhadap masyarakat.

Moral Hukum Penguasa

Era pasca orde baru, masa reformasi saat ini muncul model kehidupan hukum yang dipraktekkan hampir sejalan dengan masa Orde lama dan orde baru, dalam rangka memperdayakan prangkat dan institusi hukum itu secara transparan serta legitimasi hukum itu secara menyeluruh dan terbuka ke semua strata kehidupan birokrasi pemerintahan daerah, dimunculkan sistem pemerintahan daerah melalui Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagai jawaban dalam memberikan legitimasi penuh kepada daerah, guna pengelolaan pemerintahan secara baik dan menunjang kepentingan pembangunan secara nasional dan menyeluruh, termasuk memberikan legitimasi khusus kepada daerah untuk memberdayakan potensi wilayahnya bagi kelangsungan pembangunan di daerah secara berkesinam-bungan, sebagaimana yang diatur berdasarkan kepada Bab I pasal 1 ayat 2 bahwa :

Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan di daerah, dan bersama DPRD berdasarkan atas asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar negara RI tahun 19454.

Berdasarkan ayat 2, pada pasal 1 di atas menjadi sumber hukum bagi pemerintah daerah menyelenggarakan roda pemerintahan daerah. Lebih jauh dijelaskan pada ayat 3, bahwa pemerintahan yang dimaksud adalah Gubernur selaku kepala daerah provinsi, Bupati atau Walikota selaku kepala daerah pada tingkat Kabupaten dan kota, disertai perangkatnya selaku unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Disamping itu, unsur yang dimaksud pada pasal tersebut yakni yang didasarkan kepada ayat 4, bahwa DPRD disebutkan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah, sekaligus sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah.5

Acuan hukum tersebut, menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan atas legitimasi hukum tersebut kewenangan dimaksud dilaksanakan sesuai prosedur dan mekanisme yang diatur berdasarkan aturan-aturan yang diberlakukan secara tekhnis mengenai pengelolaan roda organisasi pemerintahan tersebut, dan kiranya tidak akan terjadi pelanggaran yang dapat merugikan masyarakat secara umum dan Negara secara khusus termasuk daerah itu sendiri. Oleh karenanya sistem manajemen yang menjadi penopang terselenggaranya sistem birokrasi yang tertata secara baik itu, didasarkan atas mekanisme yang ditempuh dengan pertimbangan, dapat memberikan kontribusi positif kepada semua pihak, dan diharapkan terarah sesuai aturan-aturan tersebut, termasuk tidak mengabaikan aturan yang berlaku secara nasional, karena pada prinsipnya akan berdampak kepada kelangsungan hidup masyarakat secara umum.

Polemik sekitar kasus PILKADA pada Kabupaten SBB, yang dilansir berbagai media cetak dan elektronik, akibat pemalsuan ijazah oleh salah seorang kandidat calon Bupati telah berakibat hukum dalam penyelesaiannya, hal mana format hukum yang digunakan adalah Undang-undang No.32 tahun 2004, pada pasal-pasalnya tidak mengatur tentang persoalan tersebut dan dianggap undang-undang tersebut tidak mengakomodir suatu prangkat hukum yang jelas untuk mengatur penyelesaiannya, dengan demikian, terhadap kasus ini dianggap terjadi kekosongan hukum, akibatnya mengundang berbagai polemik dalam penafsiran hukum terhadap penyelesaian masalah tersebut. Kondisi ini mengundang berbagai kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk penyelesaian kasus dimaksud, termasuk negosiasi Gubernur selaku yang mewakili pemerintah pusat di daerah, telah bersama KPUD di daerah berkoordinasi dengan pihak Mendagri dan merumuskan beberapa opsi penyelesaiannya, akan tetapi penyelesaian dimaksud menimbulkan tanggapan yang bervariasi, sehingga muncul gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatas namakan kelompok Aliansi Peduli PILKADA Bersih yang dimotori oleh Abd.Hamid Rahayaan, lewat tabloid Ekspresi edisi 89 tahun 2006, telah menyampaikan sepuluh butir tuntutan, dimana tuntutannya sengaja memprovakasi masyarakat ikut terlibat dalam gerakan tersebut.

Hal ini mengundang tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Maluku, Said Mudzakir Assagaf, yang meminta Gubernur Maluku Karel A. Ralahalu untuk bersikap tegas dan berani memberikan pernyataan bahwa tidak ada lagi pelantikan pasangan Bob Putilehalat-La Kadir dan meminta pemerintah pusat memutuskan salah satu dari dua opsi yang pernah ditawarkan gubernur kepada Mendagri sebelumnya. Lebih jauh Assagaf mengemukakan, jika gubernur Maluku tidak bersikap tegas dan adil dalam penyelesaian kasus ini, dikuatirkan akan memicu terjadinya instabilitas sosial baru di tengah masyarakat Maluku, dan jika tidak ada ketegasannya, dikuatirkan akan terjadi instabilitas sosial khususnya di kabupaten SBB, termasuk membuka ruang opini yang lebih besar di tengah masyarakat6

Sehubungan dengan kasus di atas, Keputusan KPUD MTB yang mensahkan dukungan dewan pimpinan Cabang (DPC) Patriot Pancasila versi Timotius Futwembun, yang telah demisionir kepengurusannya sejak tanggal 15 Desember 2003, membuktikan betapa lembaga penyelenggara PILKADA itu tidak professional, dalam melaksanakan proses demokrasi di MTB, kepengurusan saudara Futwembun dinyatakan demisioner menyusul SK NO.1.16/DPW /PATRIOT/SI/ IX/2005 jo SK NO.1.003/DPW/PATRIOT/SIII/2006, dengan demikian tidak ada keputusan ganda dalam tubuh patriot pancasila kabupaten MTB. Ditambahkan bahwa pengurus yang sah adalah berdasarkan SK.NO.1.003/2006, tidak pernah memberikan rekomendasi maupun menandatangani segala surat yang berhubungan dengan pengusungan S.J Oratmangun, dan Ronald Miron Go sebagai Calon bupati dan calon Wakil bupati dari partai Patriot. Demikian dikemukakan oleh DPC.Partai Patriot Pancasila MTB.

Ketua DPC. Arnold L. Ludarmase dan Philipus Luturmas (sekretaris), terkait dengan itu pihak mereka telah menyampaikan somasi kepada KPUD MTB, tanggal 24-8-2006, menuntut ketua KPUD MTB, karena dengan sengaja melanggar undang-undang No.32 tahun 2004 dan PP.No.6 tahun 2005 serta aturan-aturan dalam proses PILKADA, dan telah melaporkan kepada KPUD Maluku untuk segerah membatalkan hasil penetapan KPUD MTB atas pasangan Oratmangun-Ronald Miron7

Kasus yang dikemukakan di atas , menjadi asumsi bagi kita bahwa saat ini pada daerah Maluku, masih terdapat sikap-sikap yang tidak menghargai etika hukum yang berdemokrasi, dan bila dikaji lebih jauh, kasus tersebut menunjukan kelemahan aparatur hukum yang ada di daerah, kasus tersebut sengaja menciptakan kesenjangan sosial di tengah masyarakat, dimana tentunya kondisi ini sangat memberi dampak negatif bagi percepatan proses demokrasi di daerah tersebut. Mungkin saja terdapat indikasi kolusi dan nepotisme yang dipraktekkan oleh pihak terkait dengan kepentingan di antara pihak-pihak yang saling memiliki keberpihakan terhadap kelompok yang didukung, untuk itu bagi penulis, terciptanya suatu demokrasi yang baik adalah demokrasi yang didasarkan atas aturan-aturan hukum yang diberlakukan bagi mekanisme PILKADA tersebut, tanpa disertai kesengajaan yang sifatnya administratif belaka, tetapi diciptakan untuk saling melemahkan diantara para kandidat yang ikut dalam PILKADA tersebut.

Terkait dengan kedua kasus yang penulis kemukakan di atas, bagi Simon Fisher mengemukakan bahwa’ jika terdapat perbedaan pendapat di antara dua orang atau lebih terhadap suatu kepentingan yang sama, akan melahirkan sikap antipati di antara mereka, dan sikap itu akan dijadikan sebagai landasan awal sebuah konflik, selanjutnya jika ada hal lain yang dimunculkan sebagai pemicunya, bisa saja akan terakumulasi dalam berbagai bentuk sikap antipati yang termanifes dalam bentuk kekerasan terbuka’ 8

Pemikiran yang dikemukakan oleh oleh Simon Fisher tersebut, merupakan suatu analisa yang menjadi perhatian kita, terkait dengan persoalan demokrasi yang dijalankan, baik yang menyangkut PILKADA itu sendiri, maupun aspek lainnya dalam wacana demokrasi, untuk itu semestinya dihindari munculnya konflik diantara stek holder, atau masyarakat, dan antara masyarakat dengan pihak pemerintah, termasuk konstitusi lainnya seperti KPUD, dalam menjalankan kewenangan dimaksud, agar tidak menimbulkan krisis demokrasi di tengah masyarakat secara umum.

Transformasi Demokrasi Bagi Penegakan Hukum

Keinginan kita sebagai masyarakat hanyalah suatu model kepemimpinan yang demokratis dan berwibawa, yang berarti keberadaannya akan membentuk suatu mekanisme kepemimpinan yang mengayomi semua pihak, serta mengedepankan kepentingan bersama ketimbang kepentingan individu. Jika sebuah demokrasi dimainkan hanya untuk menggulingkan sebuah kelompok kekuatan demokrasi yang bermoral ataupun yang elegan, akan melahirkan sebuah konfigurasi demokrasi bangsa yang tidak elegan pula, sebaliknya berdemokrasi dengan menghargai nilai-nilai luhur demokrasi itu, berarti mengandung nilai-nilai etika dalam berdemokrasi.

Demokrasi itu juga memerlukan etika, dan etika yang dilandasi pada norma kepribadian sebagai bangsa yang religius, karenanya demokrasi juga tidak boleh menghianati kebenaran, karena kepentingan sesaat9 Selanjutnya Paul Ricoeur termasuk Eric Weil berpendapat, Etika berdemokrasi adalah kehendak membidik kehidupan yang baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan institusi-institusi yang lebih adil. Lebih jauh dikemukakan Eric Weil bahwa ‘mengikut sertakan sekaligus dimensi moral perilaku dan institusi serta memperhitungkan kedua demensi etika dimaksud, merupakan faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku, sedangkan institusi menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku, maka etika berdemokrasi dapat merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial dan institusi yang adil10

Dalam teori Etis, dikemukakan oleh Van Kan, disebutkan bahwa ‘hukum itu dibuat untuk menjaga kepentingan tiap-tiap individu ( manusia ), agar kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden) dengan kata lain hukum dibuat untuk menjaga dan sekaligus memulihkan keseimbangan sosial, untuk hal-hal yang merusak dan merawankan struktur sosial harus diberantas dengan kekuatan hukum. Hukum harus mengendalikan elit structural, hukum tidak boleh terelinasikan dan dimarjinalkan dari kehidupan masyarakat dan pembangunan, sebab bilamana hukum sampai di luar pergulatan hidup manusia, maka akibatnya masyarakat akan menjadi persemayan kegiatan fulgar dan arogan, masing-masing individu ingin tampil menjadi yang terkuat dan tak terkalahkan, serba bisa dan bangga menjadikan orang lain sebagai ’bemper’ (korban ), sementara kita menginginkan kehidupan masyarakat selalu terjaga keharmonisan, kesejahteraan dan hak-haknya.11

Sehubungan dengan hal yang dikemukakan di atas, oleh Paul Ricoeur juga mengemukakan bahwa “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki moral atau etika yang dilandasi oleh aturan hukum, dan untuk menghubungkan keduanya12, oleh Jean Ladriere berpendapat’ ada tiga pola yang menjadi landasan kepemimpinan tersebut, yakni :

  1. Moral dipahami sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama dan keadilan sosial, yang berarti upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apapun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal tersebut.

  2. Perwujudan cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi atau dalam bentuk gagasan semata, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, dengan begitu dapat dibangun realitas moral.

  3. Moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik, dan satu-satu cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkrit adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni, seakan-akan kehendak adalah identik dengan tindakan13.

Bila dikaitkan dengan landasan Negara kita yang ada, Ketiga pola sebagaimana yang dikemukakan oleh Jean tersebut, seharusnya diberlakukan manajemen kepemimpinan yang disenerjikan sesuai nilai-nilai moral yang pancasilais serta dinamis, bukan format manajemen kepemimpinan lembaga yang rapuh dan bersifat statis, manajemen yang dimaksudkan itu adalah sistem lembaga birokrasi yang penuh nuansa pluralis dan bernilaikan demokratis, berwibawah penuh santun dan elegan, sehingga dapat menjadi kekuatan hukum bagi tegakknya keadilan.

Paul Recor juga telah menekankan bahwa moralitas seorang pemimpin dalam kepemimpinannya sangat penting dibutuhkan bagi terselenggaranya suatu pemerintahan yang baik dan ideal, karena dengan modal moral tersebut, menjadi dasar melakukan tindakan atau kebijakan yang akan dilakukan.

Kehendak berdemokrasi di Indonesia adalah kebutuhan penting bagi terlaksananya sistem ketata pemerintahan yang baik, selanjutnya dapat berakses kepada mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang bernilai demokrasi dan berdasarkan pancasila sebagai landasan idiologi dan UUD 45 sebagai landasan konstitusi Negara.

Kelembagaan Negara yang baik adalah lembaga yang terlepaskan dari kepentingan-kepentingan sepihak, sebaliknya kelembagaan itu diarahkan untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang bermuara kepada keberpihakannya terhadap rakyat, agar sejalan dengan makna demokrasi yang ada, dimana prinsip dasar demokrasi itu adalah bertujuan membangun ketata laksanaan sistem pemerintahan yang mengayomi kepentingan rakyat banyak dan berorientasi kepada memperjuangkan hak-hak rakyat, tanpa bersikap parsial, dalam arti ( mendominankan satu kelompok dari kelompok yang lain ) dalam segala aspek kehidupan, selanjutnya prinsip mendasar yang dianut oleh demokrasi tersebut adalah mengedepankan kebersamaan, dimana mengandung unsur musyawarah dalam bertindak maupun melakukan suatu kebijakan termasuk putusan yang hendak ditempuh.

Meskipun hak otoritas kekuasaan yang ada pada pemerintah bersama kelembagaan Negara yang lain, seperti DPR,MPR dan MA, bersama prangkat dibawahnya, akan tetapi seharusnya kebijakan itu selamnya ditempuh dengan mempertimbangkan hak-hak suara rakyat selaku stik holder sekaligus sebagai warga negara, yang perlu dilindungi oleh hukum atas hak-hak tersebut, dan dalam kaitan itulah, Menurut O.Notohamidjojo bahwa, ada empat norma bagi penegakan hukum tersebut antara lain :

  1. Norma Kemanusiaan, menuntut agar penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia sebab ia memiliki keluhuran pribadi

  2. Norma keadilan, adalah kehendak yang langgeng dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya

  3. Norma kepatutan, atau equity, adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.

  4. Norma kejujuran, pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani ‘justitiable’ yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan atau dengan kata lain, setiap yurits diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara. 14

Keempat norma sebagaimana yang dikemukakan oleh Notohamidjojo di atas menjadi aturan-aturan dasar bagi manusia, yang mana norma itu dapat digunakan sebagai pertimbangan hukum yang diperlukan bagi penegakan hukum, sehingga hukum itu dapat dianggap melindungi masyarakat secara menyeluruh. Dikatakan demikian karena empat norma hukum tersebut mengandung empat makna yang mendasar bagi manusia, sesuai landasan hukum yang dianut oleh Negara kita, bahwa dalam perlakuan suatu hukum dibutuhkan adanya keadilan, kejujuran, kepatutan, atau equity, yang berasaskan kemanusiaan, dalam arti segala hal yang dilakukan harus sesuai norma-norma hukum tersebut.

Pemikiran Notohamidjojo yang disebutkan di atas mestinya menjadi landasan prilaku kita selaku warga Negara yang baik, terlepas dari pemikirannya, oleh Sulastomo mengemukakan bahwa demokrasi, ternyata mempunyai esensi yang bermakna luhur dan bernilai positif, bagaimana tidak, semua Negara merasa tidak nyaman jika Negaranya dikatakan sebagai Negara yang tidak berdemokratis, untuk itu Negara yang tidak demokratis dan bahkan otoriterpun menyebut dirinya sebagai Negara demokrasi, padahal Negara tersebut tidak ada demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya, bagaimana dikatakan sebagai Negara yang demokratis, sementara tidak mempunyai akses informasi yang berbeda dan bahkan control terhadap informasi yang berjalan begitu ketat15

Sehubungan dengan pernyataan Sulastomo tersebut oleh Pendapat J.E Sahetapy, menyatakan bahwa kondisi penyelenggaraan hukum di Indonesia sedang menyidik “pembusukan hukum” artinya hukum tidak lagi berlaku sebagaimana yang terumus dalam pasal-pasal perundang-undangan. Dimana-mana terjadi pengebiran, pemolitisiran atau ‘pemanipulasian penegakan hukum yang mencita-citakan terwujudnya pengayoman terhadap para pencari keadilan ( Justiabelen), antara hukum yang tertulis (law inbook) dengan hukum dalam prakteknya (law inaction), terjadi ketidak pastian dan sarat oleh kebijakan yang menyimpang dan tidak bijak ( impolicy ), suatu hal yang dalam konstelasi kehidupan bangsa Indonesia dan pembangunan memiliki tempat dan peran strategis sungguh menjadi memperhatinkan.

Siapapun mengakui bahwa kaedah hukum itu memiliki daya manfaat cukup tinggi dalam pergumulan hidup manusia, seperti pola interaksi sosial, kepentingan yang diperjuangkan, peradaban yang dibangun, orientasi politik, target kebutuhan perekonomian yang dikejar dan lainnya, dapat memperoleh pengayoman yuridis, bisa berkompetisi secara sehat, tidak terseret melakukan tindak kriminalitas atau tidak menkontruksi pola hidup yang semau gue, atau homo-homini lopus (siap mengorbankan siapa atau menerkam siapa/manusia menjadi serigala antar sesamanya.16

Terkait dengan proses PILKADA yang bermasalah, dari sisi lain pelayanan public yang dipraktekkan oleh sejumlah kalangan birokrasi pemerintahan di daerah, menimbulkan berbagai kasus penyalagunaan wewenang yang dilakukan oleh pihak aparaturnya, seperti yang terjadi pada kantor kecamatan Baguala, beras khusus ( raskin ) yang semestinya diperuntukan kepada masyarakat berekonomi lemah disalahgunakan dengan dijual tidak sesuai harga patokan pemerintah, dari seribu rupiah dijual seharga Rp.4.200 per-kilo gram, adalah perbuatan yang tidak bermoral. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh L. Kajobo, warga masyarakat miskin RT.001RW.06 Desa Batumerah17, pada Harian Ambon Ekspres tertanggal 1 Maret 2006, menunjukan sikap aparatur pemerintah yang tidak jujur dan berwibawah, karena tindakannya merupakan penyalagunaan wewenang yang dilimpahkan kepadanya selaku aparatur pemerintah, sementara warga yang bersangkutan adalah salah satu anggota masyarakat yang dikategori sebagai keluarga miskin dan berhak menerima bantuan tersebut.

Hal yang demikian telah mencerminkan moral aparatur Negara yang bersikap elegal dan tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang layak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Recour, bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat, sesuai kapasitas yang dimiliki selaku aparatur Negara.

Dengan demikian, untuk dapat terlaksanya suatu sistem hukum yang baik dan bermoral sehingga terbentuk sistem demokrasi yang berwibawah, maka selayaknya diciptakan sistem birokrasi pemerintahan yang baik, mengacu kepada prinsip-prinsip birokrasi yang bermoral, bukan yang elegan, seperti yang kita maknai dengan manipulasi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh suatu birokrasi. Praktek keseharian kita dalam suatu birokrasi yang diselimuti oleh sikap yang demikian, akan melahirkan ketidak adilan dalam suatu kehidupan berdemokrasi termasuk terbentuknya sistem hukum yang baik, dan selamanya mengedepankan kejujuran, keadilan dalam segala aktifitas kesehariannya.

Pemikiran yang dikemukakan oleh J.E Sahetapy tersebut sangatlah relevan sebagaimana yang dikemukakan oleh Laurence M. Friedman, mengemukakan bahwa ‘agar hukum (undang-undang) dapat bekerja dengan baik di tengah kehidupan masyarakat, maka harus didukung dengan aplikasinya hukum di tengah komonitas sosial yang tidak terlepas dari pengaruh struktur, substansi dan kondisi cultural masyarakat18 Dengan demikian dapat dikatakan hukum itu dibutuhkan oleh manusia dan berfungsi bagi kelangsungan hidup nya, seperti yang dikemukakan oleh, Sudikno Mertokusumo bahwa, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara tentram, damai, tetapi dapat terjadi juga pelanggaran terhadap hukum, dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan, melalui penegakan hukum. Lebih jauh menurut Sudikno Mertokusumo, dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (reachtssichherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)19.

Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Sudikno merupakan syarat bagi perlakuan suatu hukum, karena untuk tercapainya tujuan hukum itu sendiri ketiga unsur tersebut menjadi tolak ukur bagi penilaian atas berhasil tidaknya penerapan hukum di tengah masyarakat, lebih jelasnya, penerapan suatu hukum jika tidak memberi kepastian hukum terhadap suatu persoalan yang disengketakan, juga tidak memberi rasa keadilan terhadap mereka yang berperkara, itu berarti hukum tersebut tidak memberi manfaat kepada manusia.

Atas dasar pemikiran di atas, sebagai warga Negara yang baik semestinya dalam keseharian kita, selamanya dituntut untuk berprilaku dengan mempertimbangkan segala akibat hukum yang akan terjadi, baik terkait dengan urusan birokrasi yang kita jalani, maupun praktek berdemokrasi, seperti yang dipraktekkan melalui pelaksanaan PILKADA, mapun pelayanan birokrasi oleh pegawai kantor Kecamatan Baguala terhadap masyarakat, hendaknya tidak menyepelekan aspek-aspek hukum yang menjadi dasar hukumnya, agar tidak mudah terdapat penyalagunaan hukum di dalamnya, sehingga masyarakat dapat menganggap bahwa hukum itu bermanfaat bagi dirinya, dan melindungi hak-haknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, hukum memberi dampak positif bagi kehidupan manusia secara menyeluruh.

PENUTUP

  1. Prinsip dasar demokrasi itu adalah bertujuan membangun ketata laksanaan sistem pemerintahan yang mengayomi kepentingan rakyat banyak dan berorientasi kepada memperjuangkan hak-hak rakyat, tanpa bersikap parsial, dalam arti ( mendominankan satu kelompok dari kelompok yang lain) dalam segala aspek kehidupan

  2. Terlaksanya suatu sistem hukum yang baik dan bermoral akan terbentuk sistem demokrasi yang berwibawah, maka selayaknya penciptaan sistem birokrasi pemerintahan dalam arti berdemokrasi yang baik, harus berakses kepada terlaksananya ablikasi nilai hukum yang selaras dengan kehendak dari makna demokrasi.

  3. Hukum itu memiliki daya manfaat yang cukup tinggi dalam pergumulan hidup manusia, untuk itu aturan-aturan yang terkandung di dalamnya dapat memberi perubahan atau tranformasi nilai hukum kepada kehidupan demokrasi pada setiap tatanan hidup bernegara.

Daftar Pustaka

Gubernur diminta tegas soal kelanjutan pilkada di SBB”, dalam Ambon Ekspres, 28 Agustus 2006

KPUD MTB disomasi” dalam Ambon Ekspres, tanggal 28 Agustus 2006

Abdul Wahid, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, (Bandung: Tarsiti, 1997

Fisher, Simon, Manajemen Pengelolaan Konflik, (tampa data)

Hariatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003

Kilwouw, Menyetujui Hasil Tes SBT Identik Kezaliman, dalam Ambon Ekspres, tanggal 1 Maret 2006

Manning, Chris dan Van Diermen, Indonesia Di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi Dan Krisis, cet I, Yogyakarta: LKiS, 2000

Republik Indonesia, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Sumartana, Th. dan Elga Sarapung, Merajut Masa Depan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Sumaryono, E. Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Yuliyanto, Arif. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

* Dosen Jurusan Syariah STAIN Ambon; Memperoleh gelar Magister (M.Si) dari Program Pascasarjana UGM Yogyakarta.

1 Hariatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h. 168

2 Chris Manning dan Van Diermen, Indonesia Di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi Dan Krisis, (cet I, Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 348

3 Arif Yuliyanto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 604

4 Republik Indonesia, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

5 Ibid.

6  “Gubernur diminta tegas soal kelanjutan pilkada di SBB”, dalam Ambon Ekspres, 28 Agustus 2006, h. 16

7 “KPUD MTB disomasi” dalam Ambon Ekspres, tanggal 28 Agustus 2006, h. 3

8 Simon Fisher, Manajemen Pengelolaan Konflik, (tampa data), h. 8

9 Th. Sumartana dan Elga Sarapung, Merajut Masa Depan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 48-49

10 Hariatmoko, op. cit., h. 240

11 Abdul Wahid, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, (Bandung: Tarsiti, 1997), h. 158- 159

12 Hariatmoko, loc. cit.

13 Ibid., h. 192-193

14 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 115

15 Th. Sumartana dan Elga Sarapung, op. cit., h. 48-49

16 Ibid., h. 143-144

17 Kilwouw, Menyetujui Hasil Tes SBT Identik Kezaliman, dalam Ambon Ekspres, tanggal 1 Maret 2006

18 Ibid. h. 163

19 Abd wahid, op. cit., h. 183-184